Suara.com - “Sejak awal saya mengatakan para pelanggar HAM itu berlindung di ketiak Jokowi.”
Tidak ada nada bicara yang ragu dari mulut Maria Catarina Sumarsih mengatakan hal itu. Dia bicara menglir tanpa ada sedikit ekspresi meragu saat ditemui suara.com di rumahnya di kawasan Jakarta Selatan. Sumarsi adalah korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu, Tragedi Semanggi 1 dan 2.
Putra satu-satunya, Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan) ditembak mati oleh tentara di dada kiri saat berdemonstrasi pada 13 November 1998. Mahasiswa Universitas Atma Jaya itu bersama mahasiswa lain berdemonstrasi menolak Sidang Istimewa dan mendorong penghapusan dwifungsi ABRI.
Perempuan berbadan mungil dan berambut putih itu tengah menuntut keadilan Presiden Joko Widodo untuk mengadili pembunuh anaknya. Sebelum menuntut ke Jokowi, Sumarsih sudah menuntut ke Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi SBY tidak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu selama 10 tahun berkuasa.
Selama 10 tahun, Sumarsih berdiri di depan Istana Merdeka menagih janji-janji presiden terdahulu mulai sejak Soeharto lengser. Selama 10 tahun Aksi Kamisan dia sudah terbiasa mendapatkan intimidasi. Mulai dari dilarang berdemo, sampai ingin digotong dan di ancam.
Namun mantan pegawai Sekertariat Jenderal DPR yang mengurusi keuangan Fraksi Partai Golkar itu tetap berdiri di depan Istana Merdeka.
Protes Sumarsih beralasan, sampai kini berkas penyelidikan kasus HAM berat yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mandek di Kejaksaan Agung. Bahkan berkas itu bolak balik dengan berbagai alasan. Negara pun belum membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Sementara Sumarsih punya daftar nama penanggung jawab dan pelaku pelanggaran HAM berat itu.
Perjalanan Sumarsih mencari keadilan atas kasus pelanggaran HAM ditandai dengan diraihnya Yap Thiam Hien Award Tahun 2004 dan Tasrif Award 2017. Dua penghargaan ini diberikan oleh masyarakat sipil yang independen, seperi AJI Indonesia.
Kepada suara.com, Sumarsi panjang lebar bercerita perjalanannya berjuang dengan membuat Aksi Kamisan. Apakah dia masih yakin kasus pelanggaran HAM masa lalu tuntas di era Jokowi?
Berikut wawancara lengkapnya:
Anda menjadi inisiator Aksi Kamisan yang sudah mencapai 500 kali di lakukan di tahun ini. Bagaimana ide ada aksi itu?
Aksi Kamisan dimulai 18 Januari 2007. Sebelum itu, Agustus 2005 kami mendirikan sebuah paguyuban korban pelanggaran HAM, Jaringan Solidaritas Korban dan Keluarga Korban (JSKK). Kami lebih banyak membuat buku dan sosialisasi hak asasi manusia (HAM) ke masyarakat dan sekolah.
Saya pun bilang saat itu, jika hanya melakukan sosialisasi HAM saja, kapan mengadvokasi kasus? Bagaimana kalau membuat aksi rutin?
Aksi yang berhubungan dengan isu HAM sebenarnya sudah ada, seperti untuk advokasi kasus pembunuhan Munir, Konvoi Munir yang dilakukan Komite Solidaritas untuk Munir (Kasum). Tapi aksi itu kadang ada dan kadang tidak ada.
Akhirnya ide saya untuk melakukan aksi rutin untuk mengingatkan soal kasus pelanggaran HAM yang mandek didukung oleh Istri Munir, Suciwati dan Yati Andriyani dari Kontras (Koordinator Kontras). Kami membuat mekanisme aksi, dan aksi ini akan bubar jika hanya dihadiri 3 orang saja.
Mengapa aksi itu dilakukan hari Kamis?
Karena Senin sampai Rabu biasanya sibuk dan banyak kerjaan. Jumat juga tidak terlalu panjang harinya karena terpotong untuk ibadah salat Jumat.
Saat itu Kamis dinilai hari yang pas dan semua pendukung aksi ini bisa untuk hadir. Selain itu dilakukan sore setelah bekerja. Sementara maskot aksi ini adalah payung hitam, itu menandakan keteguhan dan kekuatan. Hitam juga menandakan duka cita, tapi duka cita saya ini untuk menegakan hukum dan HAM.
Sebab setelah Wawan meninggal, saya tidak hanya memperjuangkan kasus sendiri, tapi hampir semua kasus pelanggaran HAM. Saya tahu perkembangan kasus itu semua.
Pemilihan tempat aksi itu pun akhirnya diputuskan di depan Istana Merdeka, karena Istana Mereka sebagai pusat kekuasaan. Aksinya pun dilakukan dengan berdiam, berdiri.
Diam bukan berarti kalah karena tak bersuara. Suara kami dituliskan dalam spanduk.
Biaya untuk aksi itu patungan dengan korban-korban pelanggaran HAM lain. Saya juga selalu memberikan honor narasumber di media, dimasukan dalam tabungan Aksi Kamisan. Tabungan BCA itu sebelumnya milik Suciwati, yang lantas dipakai untuk menyimpan dana sumbangan untuk Aksi Kamisan.
Tapi dulu namanya bukan Aksi Kamisan, tapi aksi diam atau aksi damai. Jadi hanya berdiri dan diam. Bahkan orang lebih mengenal aksi itu sebagai aksi payung hitam.
Apa tantangan yang dihadapi dalam setiap Aksi Kamisan?
Kami berulang kali disuruh pindah dengan berbagai alasan. Misal kalau ada tamu negara, didorong-dorong disuruh mundur. Larangan itu bermacam-macam alasannya.
Terakhir kami berusaha dilarang dengan alasan melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat. Bahwa 100 meter di depan Istana Merdeka dilarang dipakai untuk demo.
Tapi jika disuruh menjauh, saya tidak mau, kalau disuruh lebih dekat saya mau.
Saya mengakui melanggar aturan dan undang-undang, tapi negara juga melanggar UU karena membunuh. Saya pernah mau diangkat dan digotong karena tidak mau menjauh dari tempat Aksi Kamisan.
Karena saya tidak ingin menjauh dari Istana, polisi mengatakan keselamatan saya tidak dijamin mereka. Tapi dijamin ‘baju hijau’, yaitu tentara.
Mengapa Anda masih bertahan melakukan aksi dan menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM?
Pijakan saya ke 6 agenda reformasi yang diperjuangkan para mahasiswa, termasuk anak saya, Wawan.
Apa gunanya Aksi Kamisan?
Ketika kami ini tidak mempunyai harapan dengan lembaga-lembaga di Indonesia, seperti DPR, Kejaksaan Agung, dan Komnas HAM juga kualitas anggotanya menurun.
Kami menyuarakan lewat di sana. Kami menolak penyelesaian pelanggaran HAM melalui jalur non yudisial.
Bagaimana Anda menjaga agar Aksi Kamisan itu tidak disusupi kepentingan politik dan pihak di luar korban pelanggaran HAM?
Setiap ada surat yang akan dikirimkan ke presiden, saya ikut mengedit. Bahkan tulisan spanduk pun begitu. Saya menjaga betul.
Aksi kamisan saat ini dibuat dengan populer, seperti menghadirkan musisi dan dihadiri oleh berbagai kalangan. Mengapa akhirnya Aksi Kamisan bukan lagi aksi diam?
Kami sudah menyadari, korban itu sudah tua-tua dan banyak yang meninggal. Kami berusaha harus ada regenerasi. Yang datang saat ini banyak sekali anak-anak muda dan mahasiswa.
Bahkan Aksi Kamisan ini dipakai untuk bahan pembuatan tesis dan disertasi. Bahkan banyak mahasiswa yang membuat tugas film dan fotografi di Aksi Kamisan. Saya senang, semakin banyak orang yang akan tahu fakta yang dilakukan negara selama ini.
Makanya saat aksi kamisan yang ke-500 pada 27 Juli 2017, sudah saatnya kami berkolaborasi dengan yang muda-muda dalam membuka fakta kebenaran. Bahkan Aksi Kamisan saat ini tidak hanya dilakukan di Jakarta, tapi di daerah lain juga.
Jadi Aksi Kamisan saat ini sudah dipakai sebagai ruang publik.
Aksi Kamisan sangat memberikan amunisi kepada para korban. Ketika kami berangkat dari rumah dalam keadaan sakit dan meriang, saat di lapangan kembali sehat. Aksi kKmisan ini kami pakai sebagai cara untuk membongkar kebenaran, mencari fakta keadilan, melawan impunitas.