Suara.com - Tidak banyak pegawai negeri sipil (PNS) seperti Mayu Fentami. Perempuan muda, idealis dan berjiwa sosial.
Mayu menjadi perawat di daerah terpencil dengan segala keterbatasan. Keterbatasan itu tidak membuat geraknya ‘stuck’.
Dara kelahiran tahun 1987 itu aktif di kegiatan sosial. Selain keluar masuk desa pedalaman di Kalimantan sebagai perawat, dia juga keluar masuk desa terpencil membawa ratusan judul buku untuk anak-anak di desa itu.
Mayu adalah perawat di Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu. Bunut Hilir adalah sebuah desa yang wilayaknya terpisah oleh sungai dan kawasan hutan. Keterbatasan akses informasi, diperparah dengan jarak yang begitu jauh antar-desa, telah berdampak pada kondisi lingkungan, ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat.
Tidak ada jalan beraspal dan supermarket mewah seperti di kota, Mayu saban hari menggunakan jalur sungai keluar masuk desa. Mayu datang ke desa itu 3 tahun lalu, kondisinya parah. Kesehatan masyarakat buruk dan perilaku hidup sehat memprihatinkan.
“Mereka tidak bisa buang air jika di WC, jika di sungai pasti bisa,” kata Mayu saat ditemui suara.com di sebuah hotel di Jakarta belum lama ini.
Di tengah permasalahan kesehatan dan minimnya fasilitas kesehatan yang ada, Mayu Fentami hadir. Sebagai perawat muda yang bertugas di Puskesmas Bunut Hilir. Dia harus bisa meretas kebekuan yang ada dengan berbagai inovasi.
Berada di kawasan serba terbatas, Mayu memanfaatkan sebuah radio komunitas untuk menyebarkan informasi tentang kesehatan ke masyarakat. Dia menjadi penyiar dadakan. Mayu pun merancang sebuah program kesehatan. Hasilnya masyarakat mendengat ‘ocehan’ Mayu, dan banyak perubahan yang terjadi di sana.
Baru-baru ini Mayu mendapatkan penghargaan SK Trimurti dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Penghargaan ini diberikan AJI dalam upaya mengenang dan menghormati perjuangan seorang perempuan pahlawan nasional, sekaligus jurnalis perempuan bangsa ini yakni Soerastri Karma Trimurti.
Sulitnya medan yang dilalui dalam perjuangannya, dan dedikasinya yang tinggi untuk membuka akses masyarakat Bunut Hilir - Kalimantan Barat terhadap informasi, membuat Dewan Juri menjatuhkan pilihan kepada Mayu Fentami.
Mayu banyak cerita tentang pekerjaannya di pedalaman Kalimantan yang luput dari sorotan media nasional. Berikut wawancara suara.com dengan Mayu:
Apa yang menjadi masalah di kawasan Sungai Kapuas, Kalimantan?
Saya fokus di bidang kesehatan dan betugas di Puskesmas Bunut Hilir, Kecamatan Bunut Hilir Kabupaten Kapuas Hulu. Sebagian besar aktivitas masyarakat di sana di sungai, mulai dari ekonomi, mata pencarian, transportasi, sampai urusan MCK. Sungai menjadi urat nadi kehidupan juga.
Masyarakat di sana banyak terjangkit penyakit diare, tapi sepertinya masyarakat sudah kebal karena sering terpapar penyakit itu. Masalahnya berawal dari pencemaran sungai, selain itu masalah perilaku hidup bersih masyarakat. Kebanyakan masyarakat di sana tidak punya WC, bahkan satu desa tidak punya WC.
Perilaku hidup tidak sehat di sana sudah terjadi sejak lama dan sudah menjadi kultur. Bahkan ada ungkapan, mereka tidak bisa buang air jika di WC, jika di sungai pasti bisa. Bahkan meski mereka mempunyai WC, mereka tetap buang air di sungai.
Sudah berapa lama Anda bertugas di sana?
Lebih dari 3 tahun. Saya PNS dan penugasan diputuskan oleh pemerintah.
Bagaimana hari pertama ketika Anda tugas di sana?
Bingung dan kaget, banyak masyarakat BAB di sungai di zaman yang sudah modern. Dari sisi ekonomi, padahal mereka mampu membuat WC.
Berapa jumlah tim yang terlibat di puskesmas?
Saya mengkoordinir para staf puskesmas. Pegawainya ada 35 orang, semua dibagi ke 11 desa. Ada juga desa yang belum mendapatkan layanan petugas medis. Sebab hanya ada 1 dokter bekerja untuk 11 desa itu.
Apa yang menjadi tantangan dalam Anda bertugas?
Daerah tempat tugas jauh dari kota, dan aksesnya semua lewat jalur air. Perjalanan antar 1 desa memakan waktu 1 jam. Kawasan di sana tanah gambut.
Transportasi di sana total melalui sungai…
Iya. Karena untuk transportasi darat terhalang medan.
Di sana lahan gambut yang mempunyai konstruksi daratan lentur. Jika menggunakan mobil atau motor, maka akan terperosok.
Di sana ingin dibangun jalan, tapi sudah bertahun-tahun belum jadi. Selama 3 tahun, saya menggunakan jalur sungai untuk bertugas.
Berapa waktu yang ditempuh dari desa ke desa?
Ada 5 desa terdekat, hanya ditempuh beberapa menit. Biasanya pakai sepeda, melintasi ‘gertak’ (jembatan kayu di atas lahan gambut dan bantaran sungai).
Desa terjauh harus pakai speed boat, lama perjalanan 2 jam. Jika pakai sampan biasa sampai 4 sampai 5 jam perjalanan. Jika air sungai menyusut, maka semakin lambat.
Itu sering terjadi.
Masing-masing desa berjarak jauh, bagaimana jika ada pasien yang membutuhkan penanganan serius?
Kami merujuknya ke kabupaten. Tapi setiap sebulan sekali, kami turun ke lapangan. Kami melakukan penyuluhan, dan memeriksa ibu hamil di desa tersebut.
Lalu dibentuk pengurus desa untuk pencegahan komplikasi kehamilan. Pengurus desa mencatat golongan darah semua penduduk di desanya. Jika ada penanganan persalinan dan membutuhkan darah cepat, bisa langsung diambil dari bank darah rumah sakit di kabupaten.
Bagaimana dengan fasilitas medis di sana?
Listrik di sana hanya menyala 12 jam. Di daerah pusat ibukota, dari pukul 17.00 WIB sampai pukul 05.00 WIB. Sementara siang hari tidak ada listrik.
Untuk di desa terpencil, hanya 3 jam ada listrik. Namun khusus di puskesmas, kami menggunakan genset dan harus memasok bahan bakar.
Tapi peralatan persalinan di puskesmas sudah lengkap, tapi jika diperlukan persalinan caesar harus dirujuk ke rumah sakit.
Banyak ibu-ibu gagal melahirkan dan anaknya meninggal karena jarak puskesmas dan rumah penduduk jauh…
Kembali ke masalah kultur kepercayaan di masyarakat. Mereka nyaman ditolong oleh dukun beranak dibanding petugas kesehatan.
Jika sudah terjadi pendarahan hebat, dukun beranak itu baru meminta tolong ke petugas kesehatan. Petugas kesehatan yang ingin menolong mendapatkan kendala dari pihak keluarga.
Tapi kami perlahan berikan pengetahuan, banyak juga yang sudah sadar.
Bagaimana caranya, hingga akhirnya mereka sadar?
Banyak cara untuk membuat mereka sadar dengan kesehatan. Sebulan sekali kami turun ke lapangan, tapi tidak sekali dua kali memberi tahu mereka. Butuh ekstra waktu, rutin mendekti langsung ke individu.
Bahkan memberi tahu ke suami sampai aparatur desa.
Kami kasih tahu risikonya jika tidak ditolong oleh petugas kesehatan, sampai keuntungan menggunakan tenaga medis. Meski bosan memberi tahu tentang itu, tapi itu harus dilakukan. Kalai sekali-dua kali bertemu, tidak akan dipedulikan.
Apakah kasus terberat yang pernah ditangani?
Saya pernah membawa pasien sudah meninggal. Meninggal di jalan dan meninggal di IGD, keduanya anak-anak. Mereka kejang dan demam. Kalau kejang penolongan harus cepat, tapi jarak desa ke puskesmas jauh sekali. Terlebih ke rumah sakit besar.
Selain menjadi perawat, apa yang Anda lakukan di sana?
Saya Relawan Rumah KaCa (Kapuas Membaca), Relawan Rakom Suara Suta Bunut Hilir, Pembina PMR SMAN 1 Bunut Hilir, dan Relawan Komunitas Motivasi (KomMo) Bunut Hilir.
Biasanya PNS sudah mempunyai catatan tugas, dan tugas itu saja yang dikerjakan. Lalu mengapa Anda juga melakukan banyak kerja sosial di sana?
Saja juga bersiaran di sebuah Radio Komunitas Suara Suta Bunut Hilir di program acara kesehatan. Saya bicara tentang reproduksi, karena di sana masalah pernikahan dini juga marak. Di usia 14 tahun mereka sudah nikah.
Saya kagum dengan kondisi desa seperti itu, ternyata ada radio komunitasnya. Saya berpikir, radio itu bisa dimanfaatkan untuk menyampaikan ilmu saya untuk masyarakat.
Prinsip saya, di mana pun berada, saya harus bermanfaat untuk orang lain. Saya juga merasa punya kewajiban melakukan itu.
Apa saja yang disampaikan di radio komunitas itu?
Semua masalah kesehatan. Tapi banyak yang terlibat, mulai dari ahli gizi dan kesehatan lingkungan.
Anda memberikan informasi tentang kesehatan di radio komunitas. Pendengar Anda adalah penduduk desa yang banyak tidak mendapatkan pendidikan cukup. Bagaimana cara Anda agar informasi dimengerti dan sampai ke mereka?
Saya menggunakan bahasa ringan. Saya mengistilakan bahasa medis menjadi bahasa daerah setempat. Misal istilah reproduksi diganti dengan kata proses mendapatkan keturunan.
Selain itu kata-kata organ tubuh diganti dengan istilah lokal daerah sana, meski kurang nyaman didengar oleh masyarakat perkotaan. Tapi bagi masyarakat sana itu sudah biasa dan tak masalah. Yang penting pesannya sampai.
Kalau penduduk bingung, mereka akan datang ke studio dan telepon langsung.
Saya siaran sepekan sekali dan hanya malam hari, karena ada listrik hanya malam hari.
Bagaimana untuk mengatur materi siaran?
Saya koordinasi dengan puskesmas untuk mengetahui masalah yang terjadi di sana. Sebab masalah kesehatan setiap bulan berbeda, seperti diare, komplikasi kehamilan, dan sosialisasi tentang penyakit kaki gajah. Dipilih isu mana yang banyak terjadi.
Anda sudah 3 tahun siaran, apa dampaknya?
Masyarakat jadi banyak yang tahu tentang kesehatan. Dulu siaran masalah kanker rahim, lalu ada pemeriksaan gratis. Informasi itu disiarkan lewat radio, dan masyarakat yang datang sangat banyak.
Dalam 2 tahun terakhir, ada 1 desa yang bebas jamban di sungai, tidak ada lagi yang BAB di sungai. Mereka membuat WC dengan pembuangan tinja komunal.
Selain menjadi tenaga medis, Anda mendirikan program baca di Kapuas…
Namanya Rumah KaCa atau Kapuas Membaca. Ini bagian dari radio komunitas itu, kami dapat bantuan buku. Bukunya masih tersimpan rapih saat itu. Sementara tidak ada tempat yang layak untuk perpustakaan.
Awalnya buku itu disimpan di tempat sewaan di pasar. Tapi karena keterbatasan biaya, kami stop. Akhirnya kami ‘jemput bola’ dengan datang ke desa-desa mengantarkan buku. Buku itu dipinjam.
Minat baca anak-anak di sana besar, mereka mencari buku. Jadi kami datang ke desa-desa untuk memberikan pinjaman buku itu. Buku itu dibawa dengan sampan, sampan itu tumpangan.
Kami membawa 100 judul buku tiap ke desa. Dibawa dengan tas ransel yang kami bawa dan box besar. Kami ke desa-desa sebulan 2 kali karena keterbatasan waktu bekerja.
Pasokan buku kami dapat dari perpustakaan daerah, dan teman-teman saya di Yogyakarta. Ada juga dari luar negeri. Jadi banyak sekali pasokannya.
Berapa jumlah relawan yang terlibat di Kapuas Membaca?
Ada 3 orang yang sering bergerak ke lapangan. Mereka berprofesi sebagai guru dan petugas kecamatan, sementara saya adalah bidan.
Apakah kegiatan itu dibiayai pemerintah?
Tidak, saya menggunakan uang sendiri. Teman-teman yang lain juga mengeluarkan uang untuk biaya logistik.
Tapi untuk menekan biaya, kami menumpang perahu. Misal aktivis WWF datang, kami akan menumpang perahu mereka untuk membawa buku. Kadang sekalian penyuluhan, saya juga membuka lapak buku itu.
Dari sekian banyak yang Anda lakukan di Kapuas, apa yang belum terwujud?
Saya ingin mempunyai perpustakaan yang menetap. Selain itu mempunyai tempat milik sendiri untuk radio. Karena radio komunitas itu ada di tempat tumpangan yang bisa diusir kapan pun. Radio itu menempati rumah sekertaris camat setempat.
Apakah perubahan yang paling terasa selama 3 tahun Anda mengabdi di sana?
Masyarakat jadi sadar dengan kesehatannya. Sekarang sudah mau memanggil petugas kesehatan, dibanding dukun beranak. Mereka sudah memanfaatkan puskesmas. Kami sering dipanggil ke rumah.
Apakah Anda akan terus berada di sana?
Pekan ini saya dimutasi ke Dinas Kesehatan Kabupaten.
Bagaimana Anda memastikan program di sana terus berjalan?
Saya akan menempati Dinas Kesehatan Kabupaten, sehingga akan menyangkup ke seluruh kecamatan. Jadi akan lebih luas.
Saya juga menempati bagian promosi kesehatan, akan banyak turun ke lapangan. Selain itu juga banyak bekerjasama dengan radio pemerintah.
Biografi singkat Mayu Fentami
Mayu Fentami lahir di Sintang, 17 Juni 1987. Dia adalah seorang bidan sekaligus perawat di Puskesmas Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu. Mayu besar di Sintang, lalu meneruskan kuliah di Ilmu keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan sekolah Profesi Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Mayu adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS). Sebelum jadi PNS, dia pernah bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Mitra medika Pontianak. Sejak tahun 2014 dia menjadi PNS dengan tugas pertama di Puskesmas Bunut Hilir.
Selain menjadi PNS, dia aktif di kegiatan sosial seperti menjadi Relawan Rumah KaCa (Kapuas Membaca), Relawan Rakom Suara Suta Bunut Hilir, Pembina PMR SMAN 1 Bunut Hilir, dan Relawan Komunitas Motivasi (KomMo) Bunut Hilir.