Mayu Fentami: Perawat Militan dan Langka di Pedalaman Kalimantan

Senin, 28 Agustus 2017 | 07:00 WIB
Mayu Fentami: Perawat Militan dan Langka di Pedalaman Kalimantan
Mayu Fentami. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tidak banyak pegawai negeri sipil (PNS) seperti Mayu Fentami. Perempuan muda, idealis dan berjiwa sosial.

Mayu menjadi perawat di daerah terpencil dengan segala keterbatasan. Keterbatasan itu tidak membuat geraknya ‘stuck’.

Dara kelahiran tahun 1987 itu aktif di kegiatan sosial. Selain keluar masuk desa pedalaman di Kalimantan sebagai perawat, dia juga keluar masuk desa terpencil membawa ratusan judul buku untuk anak-anak di desa itu.

Mayu adalah perawat di Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu. Bunut Hilir adalah sebuah desa yang wilayaknya terpisah oleh sungai dan kawasan hutan. Keterbatasan akses informasi, diperparah dengan jarak yang begitu jauh antar-desa, telah berdampak pada kondisi lingkungan, ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat.

Tidak ada jalan beraspal dan supermarket mewah seperti di kota, Mayu saban hari menggunakan jalur sungai keluar masuk desa. Mayu datang ke desa itu 3 tahun lalu, kondisinya parah. Kesehatan masyarakat buruk dan perilaku hidup sehat memprihatinkan.

“Mereka tidak bisa buang air jika di WC, jika di sungai pasti bisa,” kata Mayu saat ditemui suara.com di sebuah hotel di Jakarta belum lama ini.

Di tengah permasalahan kesehatan dan minimnya fasilitas kesehatan yang ada, Mayu Fentami hadir. Sebagai perawat muda yang bertugas di Puskesmas Bunut Hilir. Dia harus bisa meretas kebekuan yang ada dengan berbagai inovasi.

Berada di kawasan serba terbatas, Mayu memanfaatkan sebuah radio komunitas untuk menyebarkan informasi tentang kesehatan ke masyarakat. Dia menjadi penyiar dadakan. Mayu pun merancang sebuah program kesehatan. Hasilnya masyarakat mendengat ‘ocehan’ Mayu, dan banyak perubahan yang terjadi di sana.

Baru-baru ini Mayu mendapatkan penghargaan SK Trimurti dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Penghargaan ini diberikan AJI dalam upaya mengenang dan menghormati perjuangan seorang perempuan pahlawan nasional, sekaligus jurnalis perempuan bangsa ini yakni Soerastri Karma Trimurti.

Sulitnya medan yang dilalui dalam perjuangannya, dan dedikasinya yang tinggi untuk membuka akses masyarakat Bunut Hilir - Kalimantan Barat terhadap informasi, membuat Dewan Juri menjatuhkan pilihan kepada Mayu Fentami.

Mayu banyak cerita tentang pekerjaannya di pedalaman Kalimantan yang luput dari sorotan media nasional. Berikut wawancara suara.com dengan Mayu:

Apa yang menjadi masalah di kawasan Sungai Kapuas, Kalimantan?

Saya fokus di bidang kesehatan dan betugas di Puskesmas Bunut Hilir, Kecamatan Bunut Hilir Kabupaten Kapuas Hulu. Sebagian besar aktivitas masyarakat di sana di sungai, mulai dari ekonomi, mata pencarian, transportasi, sampai urusan MCK. Sungai menjadi urat nadi kehidupan juga.

Masyarakat di sana banyak terjangkit penyakit diare, tapi sepertinya masyarakat sudah kebal karena sering terpapar penyakit itu. Masalahnya berawal dari pencemaran sungai, selain itu masalah perilaku hidup bersih masyarakat. Kebanyakan masyarakat di sana tidak punya WC, bahkan satu desa tidak punya WC.

Perilaku hidup tidak sehat di sana sudah terjadi sejak lama dan sudah menjadi kultur. Bahkan ada ungkapan, mereka tidak bisa buang air jika di WC, jika di sungai pasti bisa. Bahkan meski mereka mempunyai WC, mereka tetap buang air di sungai.

Sudah berapa lama Anda bertugas di sana?

Lebih dari 3 tahun. Saya PNS dan penugasan diputuskan oleh pemerintah.

Bagaimana hari pertama ketika Anda tugas di sana?

Bingung dan kaget, banyak masyarakat BAB di sungai di zaman yang sudah modern. Dari sisi ekonomi, padahal mereka mampu membuat WC.

Berapa jumlah tim yang terlibat di puskesmas?

Saya mengkoordinir para staf puskesmas. Pegawainya ada 35 orang, semua dibagi ke 11 desa. Ada juga desa yang belum mendapatkan layanan petugas medis. Sebab hanya ada 1 dokter bekerja untuk 11 desa itu.

Apa yang menjadi tantangan dalam Anda bertugas?

Daerah tempat tugas jauh dari kota, dan aksesnya semua lewat jalur air. Perjalanan antar 1 desa memakan waktu 1 jam. Kawasan di sana tanah gambut.

Transportasi di sana total melalui sungai…

Iya. Karena untuk transportasi darat terhalang medan.

Di sana lahan gambut yang mempunyai konstruksi daratan lentur. Jika menggunakan mobil atau motor, maka akan terperosok.

Di sana ingin dibangun jalan, tapi sudah bertahun-tahun belum jadi. Selama 3 tahun, saya menggunakan jalur sungai untuk bertugas.

Berapa waktu yang ditempuh dari desa ke desa?

Ada 5 desa terdekat, hanya ditempuh beberapa menit. Biasanya pakai sepeda, melintasi ‘gertak’ (jembatan kayu di atas lahan gambut dan bantaran sungai).

Desa terjauh harus pakai speed boat, lama perjalanan 2 jam. Jika pakai sampan biasa sampai 4 sampai 5 jam perjalanan. Jika air sungai menyusut, maka semakin lambat.

Itu sering terjadi.

Masing-masing desa berjarak jauh, bagaimana jika ada pasien yang membutuhkan penanganan serius?

Kami merujuknya ke kabupaten. Tapi setiap sebulan sekali, kami turun ke lapangan. Kami melakukan penyuluhan, dan memeriksa ibu hamil di desa tersebut.

Lalu dibentuk pengurus desa untuk pencegahan komplikasi kehamilan. Pengurus desa mencatat golongan darah semua penduduk di desanya. Jika ada penanganan persalinan dan membutuhkan darah cepat, bisa langsung diambil dari bank darah rumah sakit di kabupaten.

Bagaimana dengan fasilitas medis di sana?

Listrik di sana hanya menyala 12 jam. Di daerah pusat ibukota, dari pukul 17.00 WIB sampai pukul 05.00 WIB. Sementara siang hari tidak ada listrik.

Untuk di desa terpencil, hanya 3 jam ada listrik. Namun khusus di puskesmas, kami menggunakan genset dan harus memasok bahan bakar.

Tapi peralatan persalinan di puskesmas sudah lengkap, tapi jika diperlukan persalinan caesar harus dirujuk ke rumah sakit.

Banyak ibu-ibu gagal melahirkan dan anaknya meninggal karena jarak puskesmas dan rumah penduduk jauh…

Kembali ke masalah kultur kepercayaan di masyarakat. Mereka nyaman ditolong oleh dukun beranak dibanding petugas kesehatan.

Jika sudah terjadi pendarahan hebat, dukun beranak itu baru meminta tolong ke petugas kesehatan. Petugas kesehatan yang ingin menolong mendapatkan kendala dari pihak keluarga.

Tapi kami perlahan berikan pengetahuan, banyak juga yang sudah sadar. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI