Suara.com - Nama Eva Susanti Hanafi Bande melambung di tengah publik nasional sebelum Presiden Joko Widodo terpilih menjadi presiden di tahun 2014. Eva Bande menjadi aktivis pertama yang diberikan grasi begitu Jokowi terpilih menjadi presiden Indonesia ke-7.
Dia dipenjara karena membela petani yang berjuang mempertahankan tanah adat dari kerusakan lingkungan di Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Perjuangan Eva bukan hanya itu, dia punya perjalanan panjang menjadi aktivis hak asasi manusia dan perempuan.
Eva ini, salah satu dari sangat sedikit perempuan yang berani bersuara tentang pengrusakan lingkungan di daerahnya. Selain Eva, ada Aleta Baun dari Mollo Nusa Tenggara Timur dan Gunarti, Sedulur Sikep dari Pati Jawa Tengah. Mereka bertiga adalah perempuan pejuang lingkungan. Suara.com pernah mewawancarai Aleta dan Gunarti.
Berbeda dengan Aleta dan Gunarti, Eva tidak hanya menjadi pembela petani dan aktivis lingkungan. Eva pun aktivis perempuan yang berjuang di konflik berbau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Eva melindungi perempuan yang mendapatkan kekerasan fisik sampai seksual saat itu.
Namun, konflik sumber daya alam setelah tahun 2010 sangat kuat terjadi di daerahnya. Eva memenegaskan, korban pertama kerusakan lingkungan dan konflik tanah adalah perempuan. Bagaimana itu terjadi? Eva banyak cerita.
Saat ini Eva bersama jaringan aktivis lingkungan dan Konsorsium Pembaruan Agraria tengah memperjuangkan pemberian sertifikat hak tanah adat di Luwuk.
Saat ini pemerintah juga menyiapkan 12,7 juta hektar redistribusi lahan kepada petani, kelompok masyarakat adat, maupun rakyat di sekitar hutan yang dilaksanakan dalam bentuk TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria) dan perhutanan sosial. Tahun 2025 ditargetkan semua tanah di Indonesia sudah bersertifikat. Ini untuk mengurangi konflik lahan.
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Eva Bande:
Sejauh mana potensi perempuan menjadi koban eksploitasi sumber daya alam?
Industri ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit, tambang, dan jenis lainnya adalah praktik kapitalisme yang berlangsung tanpa memandang jenis kelamin.
Apakah perempuan atau lelaki yang ‘dihabisi’ terlebih dahulu. Industri tambang ini merampas, menggusur dan mengusir petani. Itu lah yang terjadi. Terlebih dalam praktik di Indonesia, budaya patriarki masih sangat panjang dan itu terus berlangsung.
Ketika garapan dan areal kelola rakyat itu dirampas, rakyat kemudian tersingkirkan dari hidupnya. Kemudian laki-laki mau pun perempuan kehilangan sumber penghidupannya.
Maka ada keadaan di mana perempuan lagi-lagi masuk ke dalam kemiskinan, yang kemungkinan bisa terjadi kekerasan. Ketika keadaan ekonomi tertekan, maka perepuan mendapatkan kerasan itu.
Jadi ada mata rantainya, mereka kehilangan sumber kehidupan oleh ekspansi industri ekstraktif baik oleh perempuan dan lelaki, kemudian mereka mengalami tekanan ekonomi.
Namun perempuan pun mempunyai naluri mencari usaha ekonomi main yang bisa menambah, bahkan bisa menjadi sumber utama penghidupan keluarga. Misalnya, ketika mereka kehilangan tanah garapannya, perempuan itu bisa mencari sayur-sayuran yang ada di pinggiran dan itu bisa dijual di pasar. Atau dia juga jadi gembala sapi dan lainnya. Mereka mencari jalan ekonomi yang mengharuskan mereka memutar otak bagaiamana dapur tetap ngebul.
Jadi perempuan berlapis mengalami kekerasan dan penghidupannya di ambil, iya. Perempuan sudah didiskriminasi, kembali didiskriminasi kembali oleh industri ekstraktif.
Sementara ketika ada tanah garapan, yang menjaga pangan, pembibitannya, sampai penanaman, yang dominan adalah perempuan.
Perkebunan kelapa sawit misalnya, itu akan menyebabkan krisis ekologi. Hutan rusak dan krisis air, sementara perempuan paling banyak dan paling dekat menggunakan air. Jumlah air yang digunakan perempuan lebih banyak daripada lelaki.
Maka perempuan ini berpotensi menjadi pejuang tanah air, karena kelompok ini paling dekat dengan air.
Menjadi tantangan untuk menggerakan kelompok perempuan utuk menjadi garda terdepan memperjuangkan tanah air.
Mulai tahun 1990, Anda mengawal konflik lahan antara petani Toili perusahaan kelapa sawit di Luwuk, Sulawesi Tengah. Apa yang menjadi dampak yang paling terasa ketika lahan diambil?
Di sana ketika ada pengrusakan, akses masyarakat ke kebun terganggu dan alat produksi petani dirusak. Tapi masyarakatnya melawan. Perusahaannya dilindungi tentara dan polisi, rakyat memperjuangkan tanahnya dan melawan.
Bagaimana kronologinya? Bisa Anda ceritakan?
Konflik lahan antara petani Toili dan Toili Barat di Desa Piondo dan Desa Bukit dengan PT Kurnia Luwuk Sejati yang merupakai industri kelapa sawit mulai terjadi tahun 1990. Konflik lahan ini juga melibatkan PT Berkat Hutan Pusaka (HTI). Yang menjadi titik masalah terkait izin Hutan Tanaman Industri seluas 13.400 ha milik PT BHP dan konsesi Hak Guna Usaha (HGU) seluas 6.010 ha milik PT KLS.
Sementara masyarakat sudah di sana sejak lama menggunakan tanah itu untuk hidup dan dijadikan tanah adat. Kami merasa, tanah adat kami dirampas.
Di sana juga ada proyek transmigrasi dan menyebabkan kerusakan lingkungan karena ada penebangan hutan di Suaka margasatwa Bangkiriang.
Konflik secara langsung di tahun 2010 saat PT KLS menutup jalan menuju Desa Piondo yang merupakan jalan produksi petani. Lalu Mei 2010 ratusan warga demo pembukaan jalan itu. Saya yang memimpin demo itu.
Dalam demo itu, warga kesal karena tidak ditanggapi sehingga ada pengrusakan alat berat di sana seperti bulldozer, excavator, dan camp karyawan. Di hari yang sama, saya ditangkap dengan tuduhan menghasut massa, saya ditahan selama 5 bulan dan diputus 3 tahun 6 bulan penjara. Banding dan kasasi saya ditolak
Saya mendapatkan grasi dari Presiden Joko Widodo 19 Desember 2014 lalu.
Setelah bebas, bagaimana Anda menggerakan warga untuk lebih mengelola alamnya?
Saya mengorganisir mereka dalam satu organisasi, Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah. Saya koordinatornya. Tanah dipertahankan, ekologi tetap dijaga.
Saya beritahu, kalau alam rusak aka banyak yang terganggu. Sehingga mereka menjaga agar kebun tetap berjalan, sumber-sumber mata air tetap dijaga dengan menanam pohon di bantaran sungai. Itu juga untuk menghindari bencana alam. Sebab alam kita sudah tidak bisa ditebak.
Anda masih membela patani di sana, apakah masih mendapatkan ancaman?
Sampai saat ini belum ada.
Saat ini pemerintah Jokowi gecar menjalankan program Reforma Agraria dengan memberikan sertifikat tanah ke masyaraat adat. Bagaimana dengan di desa Anda?
Iya, saya dan kawan-kawan jaringan tengah mendesak pemerintah untuk memberikan sertifikat. Kan negara tengah melakukan reforma agraria, itu menjadi salah satu jalan keluar untuk menyelesaikan konfliknya. Sebab tujuan salah satu reforma agraria untuk menyelesaikan konflik, selain itu mengurangi ketimpangan pengusaha menguasai tanah.
Saat ini kami masih menunggu pemberian status area tanah di kawasan hutan, agar dikeluarkan dari kawasan hutan. Karena area itu produktif dikelola oleh masyarakat. Area itu seluas 750 hektar.
Sudah sampai mana pengurusan dokumen pertanahan adatnya?
Dari sisi dokumen sudah cukup, kami sendiri yang melakukan pemetaan. Subjek dan objeknya ditampilkan, begitu juga objek garapan tanah ditampilkan. Kami belum mendapatkan hal yang maju dalam proses itu.
Lagi-lagi pengawalannya yang harus dilakukan.
Dalam reforma agrarian, dilakukan penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah. Apakah perjalanan reforma agrarian saat ini sudah ideal menurut Anda?
Itu salah satu bagian dari reformasi agrarian, yaitu menegaskan hak rakyat. Akhirnya adalah sertifikasi. Setelah sertifikasi, ada kewajiban negara melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sehingga reformasi agrarian itu 1 paket.
Mulai dari produksinya dan pemberdayaaan ekonominya. Sehingga dia menjadi utuh. Apa yang dilakukan pemerintah Joko Widodo, satu langkah progresif dibanding rezim sebelumnya.
Tapi CSO, gerakan reforma agrarian, para pemerhati dan aktifis agraria untuk menyambutnya dan memastikan hak rakyat yang diperjuangkan selama ini masuk ke dalam rencana ini. Ruang politik terbuka untuk memastikan dan menegaskan hak rakyat.
Karena kita belum tahu rezim berikutnya seperti apa. Apakah memberikan ruang penegasan kepemilikan tanah ke rakyat atau memberikan ruang ke koorporasi?
Namun memang belum ideal apa yang dimaksudkan dengan reforma agraria. Seharusnya pelaksana reforma agraria itu harus langsung di bawah presiden. Institusi yang paling penting adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pertanahan Nasional.
Harus ada lembaga yang di bawah presiden yang memimpin reforma agraria. Itu yang masih kosong.
Dampaknya sampai saat ini masih ada ketidaksesuaian, apa yang saat ini rakyat butuhkan. Tanah-tanah yang mereka duduki belum ada kesesuaian dengan apa yang lagi dikerjakan pemerintah. Nah ini tantangan, bahwa bagaimana cara perkebunan aktif akan masuk ke dalam skema tersebut.
Jadi, bagaimana yang ideal untuk menjalankan reforma agrarian?
Reforma agraria harus dimulai dari bawah. Cuma tidak semua kesadaran rakyat itu penuh. Belum cukup banyak organisasi serikat petani. Sebab reforma agraria ini harus sesuai dengan kehendak rakyat. Rakyat harus ikut.
Jika masyarakat adat itu sudah mendapatkan sertifikat tanah, bagaimana anda memastikan tanah itu akan dikelola sendiri oleh rakyat dan tidak dijual?
Di tempat saya dibangun dengan satu organisasi yang progresif, dan punya aturan mainnya. Di antaranya menandatangani perjanjian jika areal itu akan dijaga dan tidak diperjualbelikan. Itu jadi kesepakatan kolektif. Saya tidak akan khawatir, tanah itu akan dijual.
Anda pernah menjadi bakal calon wakil bupati Kabupaten Banggai dari Golkar, memanfaatkan jalur politik untuk memperuangkan hak tanah adat itu…
Sekarang saya bukan politisi dari partai mana pun. Saat itu saya diminta oleh serikat tani mengambil ruang politik. Tapi tidak berhasil, karena lagi-lagi urusan politik adalah urusan ‘logistik’ dan uang.
Apakah dengan menjadi wakil bupati atau juga bupati, Anda yakin bisa memastikan tidak ada tanah adat yang dirampas pengusaha?
Kalau mau berlangsung memastikan tanah rakyat tidak terjualkan, dan urusan dasar rakyat bisa berlangsung, itu urusan politik. Sehingga ruang politik itu juga harus direbut.
Politik ini jalan salah satunya, bukan satu-satunya yang efektif. Pergerakan rakyat yang progresif dan kuat juga bisa mengubah keadaan. Parlemen dan non parlemen bisa digunakan.
Apakah Anda akan mencoba untuk mencalonkan diri kembali?
Belum memikirkan. Sekarang saya fokus mengurusi penggusuran pemukiman warga di Kabupaten Banggai. Ada 1.200 jiwa yang tergusur dari pemukimannya.
Saat ini juga lagi mendampingi kabupaten lainnya, seperti Kabupaten Sigi.
Mengapa Anda masih mau menjadi aktivis lingkungan?
Tanah itu penghidupan, semua akan kembali ke tanah. Saya memilih jalan ini. Kebahagiaan bagi saya, ketika orang lain tertawa dengan apa yang mereka seharunya punya.
Tuhan ini menciptaan semua di dunia ini gratis, termasuk tanah. Tapi ketika ada ketidakadilan dengan penguasaan tanah dengan rakus, ini tidak benar. Sehingga saya memilih jalan ini. Ketika tanah sudah dirusak, yang paling terdampak adalah rakyat terdekat. Sementara orang-orang kaya bisa tinggalkan tanah itu kapan saja dan ke mana saja.
Saya sudah 19 tahun memilih jalan ini. Saya akan menjalaninya sampai mati.
Saat ini seluas 750 hektar tanah adat di Luwuk sudah dikelola oleh penduduk adat. Apa saja yang dikelola?
Pengelolaan lahan ini juga bagian dari cara untuk melawan.
Setelah keluar penjara saya masih mendampingi mereka. Saat ini mereka punya tempat pendidikan, wilayah pertanian organik kolektif dan ramah dengan ekonomi. Selain itu punya apotik nutrisi. Jadi sekarang mereka menjadi sedikit tersenyum.
Saya juga mempunyai kelompok komunitas yang melakukan kegiatan pertanian organik. Kami tidak tergantung lagi dengan industri pupuk, tidak perlu memberikan ppuk kimia. Anda tidak perlu ke Transmart untuk membeli sayuran dan sebagainya.
Anda bisa menanam di situ. Ada 1.500 petani yang saya bina. Kami terbagi di beberapa desa, dua desa terdekat ada 600 orang mengembangkan beras organik. Jadi saya ini juga sekaligus penjual, penjual beras.
Di sana juga dibuat koperasi perempuan yang akan dikembangkkan menjadi koperasi usaha.
Semua pelan-pelan dibangun secara mandiri. Praktik kayak gini tidak dirasakan untuk saat ini, tapi nanti untuk keturunan berikutnya.
Biografi singkat Eva Bande
Eva Susanti Hanafi Bande adalah perempuan asli Luwuk, Sulawesi Tengah. Sampai kini dia memimpin Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah. Eva pun pendiri organisasi perempuan pertama di Kabupaten Poso pascakonflik tahun 2002-2003 yang tujuannya membela perjuangan hak-hak kaum perempuan korban kekerasan di Sulawesi Tengah.
Dia divonis 3 tahun 6 bulan penjara karena membela petani yang berjuang mempertahankan tanah adat dari kerusakan lingkungan. Ibu 3 anak ini merupakan lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Tadulako.
Eva pernah memperoleh penghargaan Anugerah Pahlawan untuk Indonesia dari perusahaan media MNC Media.
Eva menjadi salah satu Perempuan Pejuang Tanah Air bersama Aleta Baun dari Mollo Nusa Tenggara Timur dan Gunarti, Sedulur Sikep dari Pati Jawa Tengah. Perjuangan ketiga perempuan ini dinilai menginspirasi perempuan lain.