Dalam reforma agrarian, dilakukan penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah. Apakah perjalanan reforma agrarian saat ini sudah ideal menurut Anda?
Itu salah satu bagian dari reformasi agrarian, yaitu menegaskan hak rakyat. Akhirnya adalah sertifikasi. Setelah sertifikasi, ada kewajiban negara melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sehingga reformasi agrarian itu 1 paket.
Mulai dari produksinya dan pemberdayaaan ekonominya. Sehingga dia menjadi utuh. Apa yang dilakukan pemerintah Joko Widodo, satu langkah progresif dibanding rezim sebelumnya.
Tapi CSO, gerakan reforma agrarian, para pemerhati dan aktifis agraria untuk menyambutnya dan memastikan hak rakyat yang diperjuangkan selama ini masuk ke dalam rencana ini. Ruang politik terbuka untuk memastikan dan menegaskan hak rakyat.
Karena kita belum tahu rezim berikutnya seperti apa. Apakah memberikan ruang penegasan kepemilikan tanah ke rakyat atau memberikan ruang ke koorporasi?
Namun memang belum ideal apa yang dimaksudkan dengan reforma agraria. Seharusnya pelaksana reforma agraria itu harus langsung di bawah presiden. Institusi yang paling penting adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pertanahan Nasional.
Harus ada lembaga yang di bawah presiden yang memimpin reforma agraria. Itu yang masih kosong.
Dampaknya sampai saat ini masih ada ketidaksesuaian, apa yang saat ini rakyat butuhkan. Tanah-tanah yang mereka duduki belum ada kesesuaian dengan apa yang lagi dikerjakan pemerintah. Nah ini tantangan, bahwa bagaimana cara perkebunan aktif akan masuk ke dalam skema tersebut.
Jadi, bagaimana yang ideal untuk menjalankan reforma agrarian?
Reforma agraria harus dimulai dari bawah. Cuma tidak semua kesadaran rakyat itu penuh. Belum cukup banyak organisasi serikat petani. Sebab reforma agraria ini harus sesuai dengan kehendak rakyat. Rakyat harus ikut.
Jika masyarakat adat itu sudah mendapatkan sertifikat tanah, bagaimana anda memastikan tanah itu akan dikelola sendiri oleh rakyat dan tidak dijual?
Di tempat saya dibangun dengan satu organisasi yang progresif, dan punya aturan mainnya. Di antaranya menandatangani perjanjian jika areal itu akan dijaga dan tidak diperjualbelikan. Itu jadi kesepakatan kolektif. Saya tidak akan khawatir, tanah itu akan dijual.
Anda pernah menjadi bakal calon wakil bupati Kabupaten Banggai dari Golkar, memanfaatkan jalur politik untuk memperuangkan hak tanah adat itu…
Sekarang saya bukan politisi dari partai mana pun. Saat itu saya diminta oleh serikat tani mengambil ruang politik. Tapi tidak berhasil, karena lagi-lagi urusan politik adalah urusan ‘logistik’ dan uang.
Apakah dengan menjadi wakil bupati atau juga bupati, Anda yakin bisa memastikan tidak ada tanah adat yang dirampas pengusaha?
Kalau mau berlangsung memastikan tanah rakyat tidak terjualkan, dan urusan dasar rakyat bisa berlangsung, itu urusan politik. Sehingga ruang politik itu juga harus direbut.
Politik ini jalan salah satunya, bukan satu-satunya yang efektif. Pergerakan rakyat yang progresif dan kuat juga bisa mengubah keadaan. Parlemen dan non parlemen bisa digunakan.
Apakah Anda akan mencoba untuk mencalonkan diri kembali?
Belum memikirkan. Sekarang saya fokus mengurusi penggusuran pemukiman warga di Kabupaten Banggai. Ada 1.200 jiwa yang tergusur dari pemukimannya.
Saat ini juga lagi mendampingi kabupaten lainnya, seperti Kabupaten Sigi.
Mengapa Anda masih mau menjadi aktivis lingkungan?
Tanah itu penghidupan, semua akan kembali ke tanah. Saya memilih jalan ini. Kebahagiaan bagi saya, ketika orang lain tertawa dengan apa yang mereka seharunya punya.
Tuhan ini menciptaan semua di dunia ini gratis, termasuk tanah. Tapi ketika ada ketidakadilan dengan penguasaan tanah dengan rakus, ini tidak benar. Sehingga saya memilih jalan ini. Ketika tanah sudah dirusak, yang paling terdampak adalah rakyat terdekat. Sementara orang-orang kaya bisa tinggalkan tanah itu kapan saja dan ke mana saja.
Saya sudah 19 tahun memilih jalan ini. Saya akan menjalaninya sampai mati.
Saat ini seluas 750 hektar tanah adat di Luwuk sudah dikelola oleh penduduk adat. Apa saja yang dikelola?
Pengelolaan lahan ini juga bagian dari cara untuk melawan.
Setelah keluar penjara saya masih mendampingi mereka. Saat ini mereka punya tempat pendidikan, wilayah pertanian organik kolektif dan ramah dengan ekonomi. Selain itu punya apotik nutrisi. Jadi sekarang mereka menjadi sedikit tersenyum.
Saya juga mempunyai kelompok komunitas yang melakukan kegiatan pertanian organik. Kami tidak tergantung lagi dengan industri pupuk, tidak perlu memberikan ppuk kimia. Anda tidak perlu ke Transmart untuk membeli sayuran dan sebagainya.
Anda bisa menanam di situ. Ada 1.500 petani yang saya bina. Kami terbagi di beberapa desa, dua desa terdekat ada 600 orang mengembangkan beras organik. Jadi saya ini juga sekaligus penjual, penjual beras.
Di sana juga dibuat koperasi perempuan yang akan dikembangkkan menjadi koperasi usaha.
Semua pelan-pelan dibangun secara mandiri. Praktik kayak gini tidak dirasakan untuk saat ini, tapi nanti untuk keturunan berikutnya.
Biografi singkat Eva Bande
Eva Susanti Hanafi Bande adalah perempuan asli Luwuk, Sulawesi Tengah. Sampai kini dia memimpin Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah. Eva pun pendiri organisasi perempuan pertama di Kabupaten Poso pascakonflik tahun 2002-2003 yang tujuannya membela perjuangan hak-hak kaum perempuan korban kekerasan di Sulawesi Tengah.
Dia divonis 3 tahun 6 bulan penjara karena membela petani yang berjuang mempertahankan tanah adat dari kerusakan lingkungan. Ibu 3 anak ini merupakan lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Tadulako.
Eva pernah memperoleh penghargaan Anugerah Pahlawan untuk Indonesia dari perusahaan media MNC Media.
Eva menjadi salah satu Perempuan Pejuang Tanah Air bersama Aleta Baun dari Mollo Nusa Tenggara Timur dan Gunarti, Sedulur Sikep dari Pati Jawa Tengah. Perjuangan ketiga perempuan ini dinilai menginspirasi perempuan lain.