Eva Bande: Ubah Ketakutan Petani di Luwuk Jadi Kekuatan

Senin, 21 Agustus 2017 | 07:00 WIB
Eva Bande: Ubah Ketakutan Petani di Luwuk Jadi Kekuatan
Eva Susanti Hanafi Bande (dok pribadi Eva Bande)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nama Eva Susanti Hanafi Bande melambung di tengah publik nasional sebelum Presiden Joko Widodo terpilih menjadi presiden di tahun 2014. Eva Bande menjadi aktivis pertama yang diberikan grasi begitu Jokowi terpilih menjadi presiden Indonesia ke-7.

Dia dipenjara karena membela petani yang berjuang mempertahankan tanah adat dari kerusakan lingkungan di Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Perjuangan Eva bukan hanya itu, dia punya perjalanan panjang menjadi aktivis hak asasi manusia dan perempuan.

Eva ini, salah satu dari sangat sedikit perempuan yang berani bersuara tentang pengrusakan lingkungan di daerahnya. Selain Eva, ada Aleta Baun dari Mollo Nusa Tenggara Timur dan Gunarti, Sedulur Sikep dari Pati Jawa Tengah. Mereka bertiga adalah perempuan pejuang lingkungan. Suara.com pernah mewawancarai Aleta dan Gunarti.

Berbeda dengan Aleta dan Gunarti, Eva tidak hanya menjadi pembela petani dan aktivis lingkungan. Eva pun aktivis perempuan yang berjuang di konflik berbau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Eva melindungi perempuan yang mendapatkan kekerasan fisik sampai seksual saat itu.

Namun, konflik sumber daya alam setelah tahun 2010 sangat kuat terjadi di daerahnya. Eva memenegaskan, korban pertama kerusakan lingkungan dan konflik tanah adalah perempuan. Bagaimana itu terjadi? Eva banyak cerita.

Saat ini Eva bersama jaringan aktivis lingkungan dan Konsorsium Pembaruan Agraria tengah memperjuangkan pemberian sertifikat hak tanah adat di Luwuk.

Saat ini pemerintah juga menyiapkan 12,7 juta hektar redistribusi lahan kepada petani, kelompok masyarakat adat, maupun rakyat di sekitar hutan yang dilaksanakan dalam bentuk TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria) dan perhutanan sosial. Tahun 2025 ditargetkan semua tanah di Indonesia sudah bersertifikat. Ini untuk mengurangi konflik lahan.

Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Eva Bande:

Sejauh mana potensi perempuan menjadi koban eksploitasi sumber daya alam?

Industri ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit, tambang, dan jenis lainnya adalah praktik kapitalisme yang berlangsung tanpa memandang jenis kelamin.

Apakah perempuan atau lelaki yang ‘dihabisi’ terlebih dahulu. Industri tambang ini merampas, menggusur dan mengusir petani. Itu lah yang terjadi. Terlebih dalam praktik di Indonesia, budaya patriarki masih sangat panjang dan itu terus berlangsung.

Ketika garapan dan areal kelola rakyat itu dirampas, rakyat kemudian tersingkirkan dari hidupnya. Kemudian laki-laki mau pun perempuan kehilangan sumber penghidupannya.

Maka ada keadaan di mana perempuan lagi-lagi masuk ke dalam kemiskinan, yang kemungkinan bisa terjadi kekerasan. Ketika keadaan ekonomi tertekan, maka perepuan mendapatkan kerasan itu.

Jadi ada mata rantainya, mereka kehilangan sumber kehidupan oleh ekspansi industri ekstraktif baik oleh perempuan dan lelaki, kemudian mereka mengalami tekanan ekonomi.

Namun perempuan pun mempunyai naluri mencari usaha ekonomi main yang bisa menambah, bahkan bisa menjadi sumber utama penghidupan keluarga. Misalnya, ketika mereka kehilangan tanah garapannya, perempuan itu bisa mencari sayur-sayuran yang ada di pinggiran dan itu bisa dijual di pasar. Atau dia juga jadi gembala sapi dan lainnya. Mereka mencari jalan ekonomi yang mengharuskan mereka memutar otak bagaiamana dapur tetap ngebul.

Jadi perempuan berlapis mengalami kekerasan dan penghidupannya di ambil, iya. Perempuan sudah didiskriminasi, kembali didiskriminasi kembali oleh industri ekstraktif.

Sementara ketika ada tanah garapan, yang menjaga pangan, pembibitannya, sampai penanaman, yang dominan adalah perempuan.

Perkebunan kelapa sawit misalnya, itu akan menyebabkan krisis ekologi. Hutan rusak dan krisis air, sementara perempuan paling banyak dan paling dekat menggunakan air. Jumlah air yang digunakan perempuan lebih banyak daripada lelaki.

Maka perempuan ini berpotensi menjadi pejuang tanah air, karena kelompok ini paling dekat dengan air.

Menjadi tantangan untuk menggerakan kelompok perempuan utuk menjadi garda terdepan memperjuangkan tanah air.

Mulai tahun 1990, Anda mengawal konflik lahan antara petani Toili perusahaan kelapa sawit di Luwuk, Sulawesi Tengah. Apa yang menjadi dampak yang paling terasa ketika lahan diambil?

Di sana ketika ada pengrusakan, akses masyarakat ke kebun terganggu dan alat produksi petani dirusak. Tapi masyarakatnya melawan. Perusahaannya dilindungi tentara dan polisi, rakyat memperjuangkan tanahnya dan melawan.

Bagaimana kronologinya? Bisa Anda ceritakan?

Konflik lahan antara petani Toili dan Toili Barat di Desa Piondo dan Desa Bukit dengan PT Kurnia Luwuk Sejati yang merupakai industri kelapa sawit mulai terjadi tahun 1990. Konflik lahan ini juga melibatkan PT Berkat Hutan Pusaka (HTI). Yang menjadi titik masalah terkait izin Hutan Tanaman Industri seluas 13.400 ha milik PT BHP dan konsesi Hak Guna Usaha (HGU) seluas 6.010 ha milik PT KLS.

Sementara masyarakat sudah di sana sejak lama menggunakan tanah itu untuk hidup dan dijadikan tanah adat. Kami merasa, tanah adat kami dirampas.

Di sana juga ada proyek transmigrasi dan menyebabkan kerusakan lingkungan karena ada penebangan hutan di Suaka margasatwa Bangkiriang.

Konflik secara langsung di tahun 2010 saat PT KLS menutup jalan menuju Desa Piondo yang merupakan jalan produksi petani. Lalu Mei 2010 ratusan warga demo pembukaan jalan itu. Saya yang memimpin demo itu.

Dalam demo itu, warga kesal karena tidak ditanggapi sehingga ada pengrusakan alat berat di sana seperti bulldozer, excavator, dan camp karyawan. Di hari yang sama, saya ditangkap dengan tuduhan menghasut massa, saya ditahan selama 5 bulan dan diputus 3 tahun 6 bulan penjara. Banding dan kasasi saya ditolak

Saya mendapatkan grasi dari Presiden Joko Widodo 19 Desember 2014 lalu.

Setelah bebas, bagaimana Anda menggerakan warga untuk lebih mengelola alamnya?

Saya mengorganisir mereka dalam satu organisasi, Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah. Saya koordinatornya. Tanah dipertahankan, ekologi tetap dijaga.

Saya beritahu, kalau alam rusak aka banyak yang terganggu. Sehingga mereka menjaga agar kebun tetap berjalan, sumber-sumber mata air tetap dijaga dengan menanam pohon di bantaran sungai. Itu juga untuk menghindari bencana alam. Sebab alam kita sudah tidak bisa ditebak.

Anda masih membela patani di sana, apakah masih mendapatkan ancaman?

Sampai saat ini belum ada.

Saat ini pemerintah Jokowi gecar menjalankan program Reforma Agraria dengan memberikan sertifikat tanah ke masyaraat adat. Bagaimana dengan di desa Anda?

Iya, saya dan kawan-kawan jaringan tengah mendesak pemerintah untuk memberikan sertifikat. Kan negara tengah melakukan reforma agraria, itu menjadi salah satu jalan keluar untuk menyelesaikan konfliknya. Sebab tujuan salah satu reforma agraria untuk menyelesaikan konflik, selain itu mengurangi ketimpangan pengusaha  menguasai tanah.

Saat ini kami masih menunggu pemberian status area tanah di kawasan hutan, agar dikeluarkan dari kawasan hutan. Karena area itu produktif dikelola oleh masyarakat. Area itu seluas 750 hektar.

Sudah sampai mana pengurusan dokumen pertanahan adatnya?

Dari sisi dokumen sudah cukup, kami sendiri yang melakukan pemetaan. Subjek dan objeknya ditampilkan, begitu juga objek garapan tanah ditampilkan. Kami belum mendapatkan hal yang maju dalam proses itu.

Lagi-lagi pengawalannya yang harus dilakukan. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI