Jika pemerintah meratifikasi itu, apa yang harus dilakukan Indonesia?
Pemerintah harus membuat laporan ke sidang perburuhan internasional, sejauh mana konvensi itu diterapkan? Dan sejauh mana terjadi perubahan terhadap nasib PRT?
Jala PRT, harus mengumpulkan tenaga untuk mendorong itu. Sementara kami belum bisa mengandalkan dukungan publik. Harus PRT sendiri yang harus bersuara dan melakukan pengorganisasian.
Karena bagaimana pun perlu pengakuan menurut pemerintah. Sehingga kami berusaha membangun serikat-serikat PRT.
Sejak kapan Jala PRT berdiri?
Sejak 2004. Setelah kami melihat kebutuhan advokasi tidak bisa dilakukan di Yogyakarta saja, tapi harus nasional. Saya mengajak organisasi perempuan seperti KAPAL dan Komnas Perempuan untuk membentuk JALA PRT.
Jala mengorganisir PRT-PRT di 10 kota besar untuk mendirikan serikat dan sekolah PRT. Sampai sekarang lebih dari 4.000 PRT yang kami organisir dari 10 wilayah itu. Ada 6 sekolah PRT. Selain itu serikat PRT itu bisa bergabung menjadi sebuah federasi PRT untuk nasional.
Jala PRT, organisasi satu-satunya yang mengadvokasi isu-isu PRT….
Betul, karena untuk mengurus PRT tantangannya sangat besar. Karena ada konflik kepentingan semua orang, semua orang mempekerjakan PRT.
Dari mana sumber dana untuk membiayai organisasi ini?
Setiap orng punya keterbatasan. Dalam advokasi PRT ini adalah isu yang ‘sepi’, tidak selalu ada dukungan.
Awal mula Jala PRT ini berjalan dengan sumbangan pribadi. Kami tidak ada tujuan lain, selain membangun gerakan. Sehingga peran pendiri Jala PRT harus sukarela menyumbangkan dana.
Ada 20 orang yang membangun Jala PRT, dan mengeluarkan uang sendiri.
Lalu tak lama ada bantuan dana tidak tetap dari lembaga-lembaga seperti ILO. Kami baru ada dukungan dana tetap tahun 2010 setelah 6 tahun berdiri.
Sumber dana kami juga dari iuran anggota serikat-serikat JALA PRT, dan usaha-usaha koperasi anggota.
Berapa besaran iuran anggota?
Satu lembaga, Rp600 ribu pertahun, dan individu Rp300 ribu pertahun. Sementara kalau kerja-kerja pengorganisasian bersumber dari anggota PRT, besarannya besaram mulai dari Rp5.000 perbulan. Tergantung dari wilayah dan kelompok ekonomi.
Apakah Jala PRT pernah dianggap sebagai penyalur PRT?
Pernah dan sering. Tapi kami menjelaskan, karena banyak yang belum tahu. Tapi kalau ada yang membutuhkan PRT, mungkin dari individu anggota Jala PRT akan yang membantu. Tapi secara pribadi, kami bukan agen.
Mengapa Anda mau mengurusi PRT?
Ini persoalan yang harus diperjuangan. Semakin besar kesulitan dan tantangan, maka semakin jelas masalah nasib PRT ini besar. Saya harus membangun gerakan dan perubahan agar PRT menjadi pekerja yang layak.
Sampai sekarang nasib PRT semakin memburuk, ada perendahan dan pelecehan. Mereka belum bebas dari tindakan kekerasan. Mereka belum merdeka. Makanya konsistensi kami di Jala PRT ini diuji.
Memang, Indonesia dinilai terbelakang dalam mempromosikan HAM pekerja rumah tangga. HAM dipahami sebagai tataran di muka saja.
Bicara HAM harus mulai di dalam rumah. Mungkin Presiden Jokowi bicara soal HAM, tapi sejauh mana dia memenuhi hak PRT. Begitu juga DPR dan aktivis.
Anda pernah menjadi PRT?
Belum pernah. Tapi bapak ibu saya mempekerjakan PRT. Anak-anak mereka dididik mempunyai batasan dalam dilayani PRT. Anak-anaknya tidak punya hak untuk menyuruh PRT, karena hubungan kerjanya hanya dengan orangtua.
Latar belakang pendidikan Anda cukup bergengsi, Hubungan Internasional. Anda mendalami isu Timur Tengah. Sejauhmana latar belakang pendidikan Anda terpakai?
Dulu sempat menulis di harian lokal Yogyakarta. Secara luas, ilmu ini digunakan. Isu yang saya tangani terkait dengan globalisasi dan terkait dengan situasi internasional.
Kita berhadapan dengan situasi dunia yang tak berbatas lagi. Dalam ilmu hubungan internasional yang saya pelajari berkaitan dengan bagaimana peta politik internasional dan isu global yang muncul. Advokasi Jala PRT ini juga sampai ke isu internasional.
Dengan latar belakang pendidikan itu Anda bisa bekerja di lain bidang. Mengapa Anda masih menjadi aktivis?
Pernah saya bekerja di Bea Cukai selama 6 bulan tahun 1996. Tapi balik kembali lagi jadi aktivis. Kenapa balik lagi? Karena saya memang jiwanya ke sini dan ini gerakan yang dibutuhkan.
Sebagai feminis, saya butuh pekerjaan ini.
Apakah Anda pernah mengalami masa-masa sulit dalam menadvokasi isu-isu PRT?
Saat RUU PRT dihapus dari prolegnas. Bahkan saya sempat mogok makan. Perkembangannya makin buruk. Indonesia sebagai salah satu negera terbesar dalam mempromosikan HAM, tapi justru semakin manjauh dari UUD 45.
Di sana tercantum tentang keharusan memberikan pekerjaan yang layak. Pemerintah Joko Widodo seakan-akan tidak menganggap isu PRT ini sebagai isu yang penting.
Kasus kekerasan pekerja rumah tangga belum lama ini berhasil menyeret palaku majikan adalah kasus Ivan Safriansyah alias Ivan Haz yang merupakan anak mantan Wakil Presiden Hamza Haz. Apakah itu satu-satunya kasus yang berhasil menyeret pelaku?
Tidak, tapi ada kasus lain. Tapi kasus itu banyak menjadi perhatian. Itu tidak menjadi satu shock atau rasa malu dari DPR. Seharusnya DPR membuktikan bahwa DPR tidak seperti itu dan tidak menjadi bagian dari pelaku.
Berapa kasus kekerasan PRT yang Anda catat sejauh ini?
Ada 400 lebih kasus dari tahun 2012. tapi kasus yang tidak tercatat ribuan. Dari 400 kasus yang kami tangani, 90 persen berhenti di aparat kepolisian.
Lainnya sampai pengadilan, tapi putusannya sangat ringan. Sehingga pelaku tidak jera, mereka melakukannya berulang-ulang. Ada kasus yang kami tangani, dengan pelaku yang sama dan PRT yang menjadi korban berbeda.
Jala PRT juga membuat sekolah khusus pekerja rumah tangga...
Kami membangun dan mengembangkan peran-peran PRT dalam kerja pengorganisasian. Kami juga harus kaderisasi dan membuat pemimpin PRT baru.
Sekolah ini ada di 6 wilayah. Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Makassar dan di Lampung.
Pengajar di sekolah itu dari mulai dari PRT sampai teman-teman aktivis yang mengetahui soal hukum perburuhan. Di sana para PRT belajar negosiasi dan perundang-undangan.
Hasil dari sekolah itu, banyak PRT yang akhirnya mendapatkan penghasilan layak dan juga tunjangan kesehatan sampai pensiun. Dari negosiasi itu juga, ternyata kami menemukan banyak majikan yang tidak tahu soal hukum-hukum ketenagakerjaan. Mereka jadi sadar dan mau untuk memberikan hak PRT dengan layak.
Biografi singkat Lita Anggraini
Sejak di masa muda, Lita memutuskan menjadi aktivis perempuan dan pekerja rumah tangga. Perempuan kelahiran Semarang, 22 Oktober 1969 itu mendirikan organisasi pekerja rumah tangga pertama di Indonesia, Jaringan Advokasi Nasional-Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT). Sejak berdiri, Lita menjadi koordinantor Jala PRT.
Lina merupakan lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, lurusan Hubungan Internasional.
Di 2017 ini Lita baru saja mendapakan penghargaan dari salah satu media nasional, Koran Tempo sebagai Tokoh Metro. Lita dinilai sebagai soso yang memantik perbaikan di berbagai bidang kehidupan masyarakat Jakarta dan kota-kota sekitarnya. Lita dianggap kreatif membantu pemerintah mengatasi persoalan dan membuat wajah kota menjadi lebih ramah. Sebelumnya dia juga mendapatkan penghargaan dari Ashoka Fellowship tahun 2007.