Suara.com - Lita Anggraini memutuskan menjadi aktivis di isu yang ‘sepi’ dukungan. Sejak 1992, Lita membela hak-hak pekerja rumah tangga. Dia juga yang pendiri organisasi khusus perlindungan pekerja rumah tangga, Jala PRT.
Lita menganggap pekerja rumah tangga adalah kelompok yang rentan mengalami ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia, dan kekerasan. Sementara catatan organisasi buruh internasional, ILO mencatat jumlah PRT di Indonesia mencapat 3 hingga 4 juta orang. Kebanyakan PRT ada di Pulau Jawa, terutama di Jakarta.
Suara.com menemui Lita pekan lalu di ‘markas’ Jala PRT di dekat Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
“Kamu mau wawancara PRT pemimpin lain? Jangan Lita lagi Lita lagi,” kata Lita.
Lita pantas bicara seperti itu, sebab hanya organisasinya yang mengkhususkan pembelaan terhadap PRT. Lita banyak cerita tentang perjalanan advokasi terhadap pekerja rumah tangga. Dia memberikan alasan publik harus mendukung kerjanya.
“Ini sepi dari dukungan, bahkan sepi dukungan dari masyarakat juga. Karena urusan pekerja rumah tangga adalah kepentingan semua. Siapa yang ingin PRT sejahtera? Sementara kebanyakan masyarakat pekerjakan PRT, dan membayarnya dengan gaji rendah,” kata Lita.
Dimulai dari rancangan dalam Peraturan Daerah di Yogyakarta, Lita dan Jala PRT mengusulkan DPR dan pemerintah membuat Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Ini lah perjuangan Lita saat ini, sejak 2004, RUU ini belum jebol. Lita juga banyak cerita soal ini.
Di 2017 ini Lita baru saja mendapakan penghargaan dari salah satu media nasional, Koran Tempo sebagai Tokoh Metro. Lita dinilai sebagai sosok yang memantik perbaikan di berbagai bidang kehidupan masyarakat Jakarta dan kota-kota sekitarnya. Lita dianggap kreatif membantu pemerintah mengatasi persoalan dan membuat wajah kota menjadi lebih ramah.
Berikut wawancara lengkap dengan Lita:
Seperti apa awalnya Anda mengurusi organisasi PRT?
Tahun 1989, tergabung dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta, kelompok mahasiwa yang saat zaman orde baru melakukan perlawanan dan advokasi untuk isu hak asasi manusia. Lalu kaum perempuan di FKMY konsentrasi terhadap isu hak-hak perempuan atau feminisme. Kami melihat dari sekian pelanggaran HAM buruh, perempuan paling menjadi korbannya.
Sehingga kami sepakat mendalami isu hak perempuan. Akhirnya kami membentuk forum-forum diskusi perempuan Yogyakarta. Forum ini melakukan advokasi bersama, termasuk politik, HAM dan tahanan politik. Kemudian kekerasan pada buruh perempuan dan petani perempuan.
Tahun 1991, kami menerbitkan kalender Tanah untuk Rakyat bersama beberapa organisasi, termasuk Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Kalender itu menggambarkan Presiden Soeharto sedang main golf di atas tanah petani dan Ibu Tien Soeharto mengenakan bikini.
Otomatis kami semua diobrak-abrik. Lalu untu menyelamatkan diri, forum diskusi itu berganti nama menjadi Forum Perempuan atau Rumpun.
Lalu tahun 1992, kami mendapatkan berita ada kasus kekerasan pada PRT dari Ngawi, namanya Kamiatun. Dia bekerja di Gersik. Dari kasus Kamiatun kami merefleksikan diri, dari kekerasan segalam macam, PRT paling mengalami ketertindasan yang tak terorganisir. Tindakan kekerasan ini lebih parah di bandingkan kelompok lain seperti buruh.
Mengapa harus ada pembelaan terhadap PRT?
Saat itu, PRT tidak tersentuh karena ada di dalam rumah, status pekerjaan PRT juga belum diakui. Sementara PRT berhadapan dengan semua kalangan masyarakat. Bahkan buruh itu sendiri menggunakan jasa PRT.
Sehingga ada anggapan, jika PRT diakui sebagai pekerjaan resmi, maka dia harus mendapatkan hak-hak seperti pekerja. Gaji PRT harus masuk ke dalam pertimbangan struktur upah dalam penggajian perusahaan.
Saat itu kami melihat persoalan PRT ini menjadi masalah kompleksitas mulai dari bias ras, bias gender, feodalisme, perbudakan, bahkan perdagangan manusia. Di sisi lain, negara dan kelompok masyarakat menganggap masalah PRT itu hal yang wajar-wajar saja.
Sehingga kita memutuskan mengambil PRT menjadi isu utama yang harus diadvokasi, dan menjadi kelompok PRT sebagai buruh yang harus terorganisir.
Antara tahun 1992 -1994, kami banyak kerja riset dan mengumpulkan data tentang isu PRT. Setelah itu mendirikan Yayasan Rumpun Tjoet Njak Dien tahun 1995. Kami mulai melakukan advokasi untuk perlindungan PRT, yaitu dalam bentuk undang-undang.
Lalu mengorganisir PRT dan membangun keahlian mereka dalam kerja-kerja advokasi, sampai membentuk kader-kader pemimpin PRT. Kita mulai itu semua tahun 1998, saat itu dimulai dengan advokasi peraturan daerah (perda).
Lalu tahun 2000 mengembangkan pengorganisasian di daerah Yogyakarta dengan membentuk organisasi pekerja rumah tangga (operata) di komunitas di desa-desa. Para PRT di sana membentuk serikat tahun 2003, dan 2004 terdaftar sebagai serikat pekerja rumah tangga di Yogyakarta. Tunas Mulia ini serikat pekerja rumah tangga pertama di Indonesia.
Mulai tahun 2003 juga, kami mendirikan sekolah PRT di Yogyakarta.
Di dalam proses advokasi itu, kami mengalami banyak kendala Karena situasi Yogyakarta yang sangat kental suasana feodal karena dipimpin oleh raja. Di lain hal Yogyakarta menjadi relatif baik karena ada respon dari DPRD dan Gubernur.
Gubernur menerbitkan surat edaran agar pemerintah kota dan kabupaten membahas tentang kebetuhan perda perlindungan pekerja rumah tangga.
Di tahun 2009, lahir Perda Ketenagakkerjaan, di salah satu BAB-nya menyebut PRT adalah salah satu bagian yang diatur. Ini satu langkah lebih maju di bandingkan nasional.
Tapi perda ini dianulir oleh pemerintah provinsi, gubernur membatalkan pasal soal PRT karena dianggap tidak berdasar pada perda tingkat provinsi dan undang-undang soal pengakuan PRT.
Kami curiga ada kekhawatiran relasi antara keraton dengan abdi dalem.
Anda bersama Jala PRT menginisiasi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga...
Kami merasa, advokasi tentang PRT ini tidak bisa dilakukan hanya di Yogyakarta, tapi secara nasional. Dari sana muncul gagasan untuk mengusulkan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Tahun 2004, kami usulkan RUU PRT ini ke DPR dan pemerintah untuk dibahas.
DPR menerima sebagai prioritas nasional, tapi bukan prioritas tahunan. RUU itu tidak pernah dibatas sampai 2009, tapi RUU ini menjadi agenda salah satu fraksi, yaitu PDI Perjuangan, melalui politisinya Rieke Diah Pitaloka.
Sejak 2009, Jala PRT beberapa kali melakukan aksi untuk menuntut agar RUU PRT dijadikan prioritas tahunan dan segera dibahas. Baru tahun 2011 RUU PRT ini mulai dibahas, dan Komisi IX membentuk panja dan memiliki draf RUU.
Bahkan DPR sudah melakukan studi banding ke luar negeri dan melakukan uji publik. RUU ini hampir diharmonisasikan ke Badan Legislasi, dan tinggal diajukan ke Paripurna untuk disahkan. Tapi selesai masa jabatan DPR 2014, tidak disahkan.
Sekarang, justru di rezim DPRD dan pemerintahan Joko Widodo, menghapus RUU PRT dari program legislasi tahunan, artinya kembali tidak jadi prioritas.
Isu krusial RUU PRT yang menjadi penolakan anggota dewan adalah soal upah. Besaran upah harus dibuat minimal seperti Upah Minimum Provinsi (UMP).
Tapi karena PRT ini juga dipekerjakan juga oleh kalangan buruh, kami diskusi bersama untuk mendapat win-win solution. Agar upah ini bisa diterima berdasarkan tingkatan kota/kabupaten, provinsi dan nasional. Jadi tidak langsung pada UMR, tapi perlu dilakukan bertahap.
Selama ini upah PRT ditentukan oleh majikan dengan mengacu pada upah pasaran secara umum. Makanya PRT akan terus dieksploitasi dan tidak upah dengan layak. Jika itu terus terjadi, negara melakukan pembiaran.
Sehingga, sampai kini saya merasa PRT sebagai isu yang paling sulit dan terus diadvokasi. Dalam mempromosikan HAM, Indonesia jangan sebatas menangani buruh migrant yang mayoritas adalah PRT.
Pemerintah harus lebih masuk ke dalam, dan konsisten membela buruh migrant sebagai PRT.
Pemerintah sampai kini belum meratifikasi Konvensi ILO 189. Apakah ada progres di pemerintahan Joko Widodo?
Tahun 2012, kami bersama ILO dan jaringan internasinal mengadvokasi Konvensi ILO 189 tentang pekerja layak. Sementara di tahun itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan Indonesia akan menjadikan Konvensi ILO 189 itu sebagai acuan dalam menyusun RUU PRT dan Revisi UU Pekerja Migrant.
Tapi sampai sekarang belum terjadi. Meski dalam Nawacita-nya Jokowi menyebutkan PRT menjadi bagian. Saya sempat bertemu Jokowi 1 Mei 2014, dia menyampaikan “apa yang bisa dilakukan untuk RUU PRT?” Tapi sampai sekarang belum dilaksanakan janji itu, bahan dihindari untuk dibicarakan. Bahan Kemenaker menolak untuk meratifikasi.