Suara.com - Tidak banyak kepala daerah yang berhasil berbuat adil sesuai undang-undang kepada kelompok minoritas dan melindungi mereka dari tindakan intoleransi. Salah satu kepala daerah yang berbuat adil adalah Bupati Bondowoso, Amin Said Husni.
Di saat Syiah mendapat penolakan di berbagai daerah oleh kelompok intoleransi, di Bondowoso tidak. Syiah bebas menjalankan ibadahnya, meski dengan keterbatasan ruang.
Selama Amin menjadi bupati, penolakan eksistensi Syiah sangat kuat. Namun dengan ‘tangan dingin’ Amin, penolakan itu berhasil diredam. Bahkan sejak tahun 2016, hampir tidak ada penolakan terhadap komunitas syiah di sana. Amin menerapkan aturan main dengan berpatokan ke UU dan konstitusi.
Tidak hanya menjadi daerah toleran, hampir 10 tahun di tangan Amin, Bondowoso menjadi kawasan unggulan di bidang pertanian. Bondowoso mendapat penghargaan karena meningkatkan produksi beras di atas 5 persen. Dia menerapkan Gerakan Botanik yang mewajibkan para petani di sana menggunakan pupuk organik. Petani Bondowoso melepas ketergantungan pupuk kimia.
Suara.com menemui Amin saat berunjung ke Jakarta belum lama ini. Amin berbagi cerita sukses menjadikan Bondowoso sebagai salah satu kawasan paling toleran dengan kelompok minoritas. Selain itu Amin pun cerita tentang kopi, sebagai komoditas unggulan Bondowoso.
Berikut wawancara lengkapnya:
Anda sudah hampir 10 tahun memimpin Bondowoso, target apa yang Anda merasa belum tercapai?
Banyak yang sudah tercapai. Bondowoso ini daerah agraris. Kami mengembangkan kopi sebagai produk unggulan. Bondowoso disebut sebagai republik kopi karena Bondowoso mengembangkan pertanian rakyat.
Rakyat diberdayakan dengan berbagai pihak, perhutani. Pembinaan petani juga lewat pusat pembinaan kopi dan kakau. Mereka dilatih dan dibina, diberikan alat dan diberikan permodalan sampai dicarikan pasarnya.
Sekarang berkembang menjadi penghasil kopi terbaik di dunia dan sudah diekspor ke Swiss. Kemarin juga ada perwakilan dari Eropa datang ke Bondowoso untuk lihat ke kebun.
Kedua, Bondowoso juga menghasilkan beras organik yang sudah siap diekspor.
Sebetulnya saya masih berharap, hilirisasi industri pertanian bisa lebih dikembangkan. Selama ini hanya di Hulu dan di tengah, artinya ke argo industri belum maksimal.
Ini harus jadi program pemerintahan berikutnya. Bagaimaa meciptakan industri pertanian. Sehingga bisa menjadi nilai tambah.
Bondowoso pernah diguncang konlik SARA antara kempok Sunni dan Syiah. Apa yang Anda lalukan saat itu?
Sebetulnya di Jawa Timur punya 4 kabupaten yang punya kerawanan konflik hubungan Sunni dan Syiah, selain Bondowoso. Di antaranya di Pasuruan, Sampang, dan Jember. Di Kecamatan Puger di Jember sempat terjadi pecah konflik dan memakan korban.
Di Bodowoso, eksistensi Syah sudah sejak lama, di sana ada banyak etnik. Di antaranya etnik Madura, Jawa, Arab, Cina. Khusus etnis Arab, di sana lah sebenarnya basis Syiah. Di Bondowoso ada Kampung Arab. Syiah pada awalnya keturunan Arab di kampung Arab itu.
Kalau melihat peta ‘aliran’ Islam di Bondowoso, banyak Nahdlatul Ulama. Karena masyarakat Bondowoso pada umumnya masyarakat Madura. Ada Muhammdiyah, tapi jumlahnya kecil. Termasuk Syiah, jumlahnya sekitar 1.500-an orang. Itu hanya terkonsentrasi hanya di Kampung Arab.
Kemudian mulai tahun 2003 ada perkembangan baru. Selain di Kampung Arab, ada desa yang menjadi tempat pertumbuhan Syiah, yaitu di Desa Jambusari.
Bagaimana awalnya terjadi ketegangan antara kedua kelompok ini di Bondowoso?
Ada konflik laten atau konflik lama antara Sunni dan Syiah. Sunni yang dominan berusaha menghabsi Syiah, sedangkan Syiah berusaha menyelamatkan dirinya karena Taqiyah. Syiah sejak dulu eksis karena Taqiyah, dia tidak menampakan diri sebagai Syiah.
Syiah baru menampakan diri sekitar tahun 2005-an ketika mereka meresmikan organisasi IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia). Tahun 2006 diresmikan kepengurusan Syiah di Bondowoso.
Saat pelantikan pengurus IJABI itu, ada reaksi keras dari masyarakat NU. Bahkan nyaris terjadi sesuatu yang sangat mengerikan, mengarah ke anarki dan konflik sosial. Ketika itu saya belum mejadi bupati, masih jadi Anggota DPR. Itu ada konflik pertama saat peresmian IJABI.
Kemudian resistensi berikutnya muncul ketika masyarakat Syiah Bondowoso mau melaksanakan kegiatan dalam bentuk perayaan. Tahun 2010, mereka ingin muncul ke permukaan dengan merayakan Milad Fatimah. Saat perayaan kecil-kecilan, tidak terlalu terekspose dan tidak mendapatkan reaksi dari masyarakat.
Sebetulnya ada 3 perayaan dari kelompok Syiah yang menimbulkan kerawanan. Di antaranya Milad Fatimah, Asyura, dan Idul Ghadir. Yang paling besar, Milad Fatimah di Bondowoso.
Penolakan Syiah semakin keras dan cenderung meruncing ketika tahun 2015 Syiah memasang baliho untuk kegiatan Milad Fatimah, dan memberikan pengumuman acara itu akan dihadiri oleh Jalaluddin Rakhmat dan lain-lain.
Sehingga ada penolakan yang semakin keras, bahkan mengkristal sampai terbentuk satu kelempok Sunni, Fokus (Forum Komunikasi Ulama Sunni). Fokus ini secara keras berupaya menggagalkan Milad Fatimah itu.
Apakah alasan kelompok Sunni untuk menggagalkan hal itu?
Saya berulang kali ditekan oleh Fokus, dan meminta dialog. Mereka membandingkan penolakan Syiah di Bogor. Mereka mengatakan perayaan Syiah di Bogor bisa digagalkan, bahkan atas permintaan Wali Kotanya.
Mereka bahkan mengatakan Bupati Bondowoso yang dari kalangan NU, masa tidak menolaknya. Fokus ini isinya kiyai yang agak vokal, atau NU ‘garis tegas’.
Saat itu saya sempat komunikasi dengan Gubernur Jawa Timur. Karena mereka sudah akan berhadap-hadapan. Kalau Syiah akan merayakan seperti yang mereka rencanakan, Fokus ini juga akan merayakan Isra Miraj di tempat yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari tempat Syiah.
Kelompok Sunni ini juga mengatakan akan mendatangkan ulama-ulama Sunni garis keras.
Bagaimana cara Anda berdialog dengan kedua piha?
Saat itu dialog terus dilakukan antar kedua pihak. Tapi dialog saat itu tidak dalam duduk satu meja antara Sunni dan Syiah. Kalau mereka diajak dialog 1 meja, maka akan terjadi kerawanan. Karena itu untuk dialog dengan Syiah, saya gunakan intelijen dari Kominda (komunitas intelijen daerah) untuk menyampaikan pikiran-pikiran yang berhasil dikembangkan dalam Fokus.
Jadi harapan Fokus disampaikan ke kelompok Syiah. Ada beberapa hal yang diminta, yang pertama kegiatan itu tidak dilaksanakan di tempat terbuka atau di jalan raya.
Kedua, tidak dilaksanakan di malam hari karena itu sangat rawan. Ketiga, tidak mendatangkan penceramah dan jamaah dari luar.
Soal tidak dirayakan di tempat terbuka, disetujui Syiah. Begitu juga keinginan tidak mendatangkan ceramah dari luar, tapi Jalaluddin Rakhmat datang, tapi tidak berceramah. Sementara waktu tidak bisa digeser, karena sudah banyak semar undangan.
Keempat, mereka tetap mendatangkan jemaah dari luar karena jemaah datang secara sukarela dan tidak bisa dilarang.
Saya berusaha menjembatani dari pihak Fokus yang minta agar kegiatan itu tidak terlaksana. Sebaliknya kelompok Syiah mengataan ini hak kami untuk beribadah dan bagian dari warga Indonesia yang punya hak konstitusional dan itu harus dihormati.
Sementara Fokus mengancam akan pengerahan massa dan long march, bahkan bisa berhadapan dengan kelompok Syiah.
Akhirnya, kedua kelompok dibiarkan melaksanakan kegiatan, hanya dengan pengaturan. Pertama Syiah tidak di jalan raya atau tempat terbuka. Sementara kelompok Sunni tetap melaksanakan Isra Miraj, tapi tempatnya digeser tidak berdekatan dengan Syiah.
Mereka merayakan di Masjid Agung yang berjarak sekitar 2 km. Kemudian dengan pengerahan pasukan TNI dan Polri.
Bagaimana ketegangan saat itu? Bisa Anda gambarkan?
Malam itu memang tegang dan mengerikan sekali. Pengerahan pasukan yang luar biasa. Itu tidak bisa dihindari karena polisi tidak bisa ambil risiko. Bahkan Pangdam mengutus para pejabat penting di Kodam untuk memantau langsung ke lapangan. Wakapolda Jawa Timur turun ke Bondowoso.
Tapi saya yakin dengan kesepakatan yang sudah disepakati dengan komunitas Sunni dan Syiah itu, semua bisa berdamai.
Akhirnya semua bisa diatasi dan berlangsung sama-sama aman. Kegiatan Syiah selesai pukul 22.00 WIB. Sementara yang Sunni pukul 23.00 WIB. Masing-masing massa diarahkan agar tidak saling ketemu, di arahkan ke jalur yang berbeda.
Anda menjembatani dialog antara kedua kelompok tanpa membuat mereka bertemu. Mengapa?
Dialog secara langsung dan 1 meja memang penting, tapi dalam kasus Bondowoso dialog tidak mungkin dilakukan dalam 1 meja. Sebab saya khawatir akan peruncing perbedaan. Kelompok Sunni menganggap Syiah itu melenceng, sementara Syiah berpendapat sebagai warga negara punya hak untuk beribadah dan mendapatkan jaminan keamanan.
Sehingga tidak mungkin dilakukan dialog saat itu juga dan dipertemukan 1 meja. Tetapi keduanya sepakat hal tersebut harus diatur dalam sebuah regulasi, dalam Perbup atau pun Perda. Agar penanganan konflik yang selama ini saya lakukan diinstitusionalisasikan atau dilembahakan.
Regulasi seperti apa itu?
Saya sudah berusaha mencoba untuk menginstitusionalisasikan dengan membuat regulasi bagaimana hubungan ini bisa berlangsung dengan damai sejak tahun 2016. Sudah setahun ini sudah dilakukan drafting, dan berulang kali sudah dilakukan penyempurnaan.
Tapi kembali, draf regulasi dikomentari oleh masing-masing kelompok yang berbeda. Sunni ingin Syiah tidak boleh diizinkan untuk berkegiatan, sementara Syiah menilai regulasi itu penting untuk menjamin hak-hak hidup mereka, dan memberikan perlindungan.
Sampai sekarang regulasi itu belum selesai, masih dibahas oleh tim yang dibentuk oleh Pemkab. Mudah-mudahan bisa diselesaikan di sisa masa jabatan saya setahun ke depan, 2018.
Anda menjadi bupati sampai 2018, bagaimana bisa menjamin aturan itu akan terus dibahas?
Peta politik Bondowoso selepas saya menjadi bupati, saya memprediksi masih bisa diatasi. Karena calon bupati yang menguat masih dari PKB dengan visi yang kurang lebih sama dengan saya.
Saya juga sudah berdialog degan baik dengan mereka. Tetapi regulasi tetap penting untuk menjamin hak konstitusi. Tapi penerapan di Bondowoso tidak sesederhana itu.
Nantinya peraturan itu akan berbetuk perlindungan kelompok minoritas Bondowoso atau seperti apa?
Sebetulnya yang disiapkan di Bondowoso itu lebih kepada bagaimana mengatur kegiatan keagamaan yang melibatkan massa tetap dipastikan berlangsung secara tertib. Tidak masuk kepada minoritas atau masyoritasnya.
Melainkan upaya mengatur pelaksaan kegiatan keagamaan, terutama yang mendapatkan resistensi dari masyarakat luas. Bisa dipastikan berlangsung dan tidak dihalang-halangi dan dilarang-larang.
Di satu sisi seperti Syiah, sesuatu yang tidak mungkin dilarang karena dalam peraturan tidak ada larangan. Tapi ketika tidak diatur pelaksanaanna.
Dia akan potensial digrudug massa, sehingga akan menimbulkan masalah sosial yang sangat serius, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi seperti di Sampang.
Tapi lagi-lagi Perbup yang tengah kami siapkan ini, sudah dicoba dialogkan ke masyarakat. Dalam Perbup itu tercantum kegiatan keagamaan yang berpotensi menimbulkan kerawanan dan menggangu ketertibah agar dibubarkan.
Kelompok Sunni ingin Perbup ini senafas dengan itu, bahkan lebih tegas lagi.
Terus terang, itu belum bisa rampung. Karena negara hanya bisa mengatur bagaimana ketertiban umum bisa terjaga, tidak bisa masuk ke ranah keyakinan dan aliran seseorang.
Apa yang membuat Bondowoso bisa menerapkan kebijakan toleran terhadap minoritas?
Untuk menangani konflik apapun di tingkat lokal oleh pemerintah daerah, posisi politik kepala derah menjadi sangat penting. Ketika posisi politiknya lemah, dia tidak bisa membuat kebijakan secara baik.
Di Bondowoso saya dibackup sangat kuat oleh anggota DPRD, PCNU dan MUI Bondowoso.
Milad Fatimah tahun-tahun selanjutnya tetap berjalan, tidak perlu ada pengerahan massa, pasukan dan ribut-ribut. Sehingga sudah berlangsung. Karena titik temu perjanjian sudah disepakati dan dijaga bersama oleh masing-masing pihak.
Biografi singkat Amin Said Husni
Amin Said Husni adalah Bupati Bondowoso sejak 2008 lalu, 2018 tahun depan masa jabatannya terakhir. Sebelum jadi bupati, lelaki kelahiran Pamekasan, 19 Agustus 1966 itu adalah anggota komisi X DPR RI periode 2004-2009. Dia juga anggota DPR di periode sebelumnya, 1999-2004.
Amin adalah politisi yang mengawali karier di Nahdlatul Ulama sebagai redaktur Majalah Tebuireng dan Redaktur Majalah Forum Pemuda. Kariernya di dunia jurnalistik sampai tahun 1995.
Sebagai keturunan kyai, Amin banyak menghabiskan masa mudanya dari pesantren ke pesatren. Mulai dari Pesantren Nurul Jadid, Paiton Kabupaten Probolinggo sampai Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang.
Gelar sarjana Amin didapat dari Fakultas Syari’ah pada Institut Keislaman Hasyim Asy’ari. Sementara gelar masternya didapat di Universitas Indonesia.
Di bawah Amin, Bondowoso mendapat penghargaan Karena meningkatkan produksi beras di atas 5 persen. Dia menerapkan Gerakan Botanik yang mewajibkan para petani di sana menggunakan pupuk organik. Petani Bondowoso melepas ketergantungan pupuk kimia.