Imdadun Rahmat: Pembubaran HTI di Antara HAM dan Radikalisme

Senin, 24 Juli 2017 | 07:00 WIB
Imdadun Rahmat: Pembubaran HTI di Antara HAM dan Radikalisme
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Klimaks dari program Pemerintahan Joko Widodo untuk berantas radikalisme adalah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.  Dalam Perppu ini, pemerintah punya kuasa untuk mencabut izin badan hukum suatu ormas atau perkumpulan.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi korban pertama Perppu ini, meski berawal dari ancaman pembubaran. Berdalih dengan tuduhan ormas antipancasila dan radikal, HTI kini menjadi organisasi terlarang karena tidak punya izin ormas.

Kalangan kelompok pro demokrasi dan hak asasi manusia, menilai Perppu Ormas itu sebuah ancaman serius. Sebab, pemerintah punya hak memutuskan sepihak untuk membubarkan sebuah organisasi dengan dalil antipancasila. Bahkan ada juga yang menyebut pemerintahan Jokowi balik ke massa orde baru.

Sementara di kalangan anti radikalisme, HTI dinilai layak dibubarkan. Sebab ideologi khilafah yang mereka punya tidak bisa menerima perbedaan dan keberagaman. Meski di Indonesia, Hizbut Tahrir tidak menggunakan kekerasan dalam berkegiatan. HTI menyerukan untuk membentuk sistem pemerintahan khilafah atau negara Islam.

Lalu, dari mana ancaman HTI? Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat pernah meneliti dalam tentang gerakan Hizbut Tahrir di Indonesia. Dia menemui banyak tokoh HTI yang di atas permukaan maupun di bawah permukaan. Imdadun pun memetakan gerakan HTI secara rinci dalam penelitian itu.

Berbincang dengan suara.com di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan akhir pekan lalu, Imdadun mengatakan perlu kepala ‘independen’ untuk bicara tentang HTI, Perppu Ormas dan tudingan otoriter pemerintahan Jokowi. Sejauh ini banyak pihak yang berkomentar sepihak, pro dan kontra Perppu Ormas serta pembubaran HTI.

Pakar dan peneliti di Indonesian Conference on Religions and Peace (ICRP) itu bercerita HTI A sampai Z. Ditambah, bagaimana semestinya publik memandang klaim kegentingan pembubaran HTI dan lahirnya Perppu Ormas.

Berikut wawancara lengkapnya:

Tahun 2003, Anda pernah meneliti mendalam tentang Hizbut Tahrir Indonesia. Apa yang Anda temukan dalam penelitian itu?

Saat itu saya tengah tesis di Universitas Indonesia. Tesisnya berjudul ‘Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia’. Studi kasusnya gerakan Hizbut Tahrir dan Tarbiah, yang kemudian menjadi Partai Keadilan dan Partai Keadilan Sejahtera.

Dua tahun kemudian diterbitkan oleh Penerbit Erlangga dengan judul ‘Arus Balik Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia’ dengan menambah 1 gerakan lagi, gerakan dakwah salafi.

Bagaimana teknik Hizbut Tahrir mengaruhi pemikirannya di sebuah negara, hingga dianggap menjadi ancaman?

Mereka melawan sistem sosial dan politik yang ada. Mereka ingin membangun hegemoni baru dengan melakukan, apa yang disebut pembinaan umat dan pendidikan atau Taskif (pendidikan dan pengkaderan).

Dalam tahap ini mempengaruhi pemikiran masyarakat agar sama dengan apa yang dipikirkan Hizbut Tahrir. Sehingga masyarakat bisa sukarela tunduk ke aturan Hizbut Tahrir.

Dalam taskif ini mereka juga melakukan perang pemikiran dengan melawan pemikiran yang datang dari barat. Mulai dari konsep rasionalisme, demokrasi, sampai nasionalisme. Mereka menawarkan alternatif sistem Islam.

Selain itu mereka melakukan kegiatan politik. Hizbut Tahrir ini berpolitik dengan mengkampanyekan ide-ide dengan seminar, pengkaderan, dan membuat organisasi dari pusat sampai daerah. Mereka bergerak mulai dari kampus-kampus umum lalu ke masyarakat.

Hal terakhir yang mereka lakukan adalah Istilam Al Hukmy atau manadahi kekuasaan. Ini yang membuat negara-negara yang terdapat organisasi HTI harus waspada.

Hizbut Tahrir menggunakan penguasaan pemikiran sebagai senjata utama perjuangan. Hizbut Tahrir tidak pernah bekerja selain mensosialisasikan ide dan gagasan untuk bisa menguasai pikiran.

Pada saatnya nanti Hizbut Tahrir mengimpikan para penguasa akan menjadi anggota Hizbut Tahrir, termasuk militer. Maka pada titik akhir akan menjadi people power jika yang menerima gagasan itu adalah pihak masyarakat dan rakyat. Tapi teryata jika yang bisa dipengaruhi adalah militer dan pejabat, maka akan diharapkan terjadi kudeta, bisa berdarah dan tidak berdarah.

Hizbut Tahrir dalam konsepnya hanya berdiri tenang dan selanjutnya menerima kekuasaan itu. Tapi yang terjadi di Jordania, Hizbut Tahrir ikut langsung sebagai bagian dari pelaku pemberontakan dan kudeta.

Bagaimana gambaran struktur negara Islam atau khilafah Hizbut Tahrir?

Hizbut Tahrir sudah memilik sebuah struktur negara khilafah yang hanya terdiri dari 8 struktur. Yaitu Khalifah, mu'awin tanfidz (pembantu khalifah bidang pemerintahan), sampai majelis umatyang merupakan wakil-wakil masyarakat yang duduk di parlemen.

Ini membuat HT tidak mengalami proses perubahan yang signifikan sejak dulu. Gerakan Hizbut Tahrir juga sudah diatur dalam Qanun Idari, yang berisi ideologi pemikiran sampai strategi gerakan.

Hizbut Tahrir juga organisasi yang sentralistik. Misal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) disebut sebagai Hizbut Tahrir wilayah yang harus tunduk kepada seorang amir atau pimpinan Hizbut Tahrir. Seorang amir ini memiliki otoritas tunggal untuk mengangkat seorang pimpinan Hizbut Tahrir wilayah yang disebut sebagai ‘pimpinan puncak yang dirahasiakan’.

Jadi Pimpinan HTI Muhammad Al Khaththath bukan lah sebagai pimpinan HTI sebenarnya. Pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia tidak diumumkan namanya oleh amir Hizbut Tahrir pusat.

Selain itu struktur Hizbut Tahrir seperti jari-jari sepeda. Pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia tidak bisa berkomunikasi dengan pimpinan Hizbut Tahrir di Malaysia, mereka harus lebih dulu lewat pimpinan pusat.

Seberapa genting HTI harus dicabut izin ormasnya di Indonesia?

Yang menjadi pertanyaan penting, apakah Hizbut Tahrir menentang Pancasila? Dalam penelitian saya, Hizbut Tahrir bukan hanya tidak setuju dengan substasi Pancasila, dia juga tidak setuju dengan eksistensi Pancasila.

Menurut mereka Pancasila menjadi penting bukan karena isinya apa, tapi eksistensinya seperti apa. Sebab pancasila adalah ideologi negara. Sementara Hizbut Tahrir tidak bisa menerima ideologi kembali, ideologi negara bagi Hizbut Tahrir harus Islam.

Hubungan antara Islam dan Pancasila bukan komplementer, tapi substitutive, kalau tidak Islam atau Pancasila, dan sebaliknya. Ini problem hubungan antara ideologinya Hizbut Tahrir dengan Pancasila. Konsep keduanya tidak akan bertemu.

Sejauhmana konsep hak asasi manusia bisa menangkal radikalisme dan intoleransi?

Hak asasi manusia itu mendalilkan bahwa semua orang memiliki martabat yang terhormat dan sama kedudukannya di dalam kehidupan ini. Sosial, ekonomi dan politik. Jadi harus diperlakukan secara hormat tanpa pandang bulu.

Masalahnya kelompok radikal ini mempunyai penyakit bawaan, yang namanya sikap intoleransi. Yaitu sikap yang negatif terhadap kelompok yang memiliki pemikiran, latarbelakang dan agama yang berbeda. Sehingga yang terjadi, mereka menganggap orang lain lebih rendah daripada dirinya.

Karena orang lain rebih rendah, maka dianggap tidak boleh menikmati hal yang sama seperti dirinya. Itu lah yang kemudian melahirkan diskriminasi, tindakan yang merendahkan orang lain.

Bisanya juga, kelompok radikal selain intoleran pasti menghalalkan segala cara, termaksuk kekerasan. Sementara HAM dan demokrasi itu adalah satu filsafat yang menyerukan orang untuk menyelesaikan persoalan melalui dialog, cara-cara damai dan non kekerasan. Inilah ketidakkompatibel antara HAM dan kelompok radikal.

Itu yang kemudian juga melahirkan tindakan-tindakan persekusi terhadap kelompok lain yang tidak sama dengan mereka, khususnya kelompok lemah dan minoritas. Dari sisi itulah radikalisme dan intoleransi tidak cocok dengan HAM.

Maka dengan tersosialisasinya penghargaan terhadap HAM , itu secara otomatis gagasan radikalisme dan intoleransi tidak laku. Jadi memberantas radikalisme dan intoleransi dengan HAM.

Dalam konteks HTI, di mana sisi dari mereka yang mendukung radikalisme?

Konsep tentang sistem negara Islam, negara yang diimpikan itu akan menguasai dunia. Di konsep khilafah, apapun agamanya dan negaranya harus tunduk terhadap satu negara yang aturan dan ideologinya berdasarkan pada Al Quran dan Sunnah.

Jadi negara di dunia dipaksa untuk mengikuti agama Islam. Itu pemaksaan, tidak boleh dalam HAM. Orang berkeyakinan yang lain dipaksa tunduk kepada aturan agama tertentu. Itu bertentangan dengabn HAM.

Kedua, orang dipaksa untuk tunduk pada kepemimpinan seorang khalifah yang hanya dipilih oleh umat Islam. Umat yang lain hanya berhak untuk tunduk saja, dan tidak ada hak untuk memilih.

Ketiga, khalifah tidak boleh dari yang bukan Islam. Harus orang Islam. Begitu juga pejabat penting dalam khalifah Islam itu harus umat Islam. Jadi di situ terjadi diskiminasi hak politik warga negara.

Apakah kelompok seperti HTI akan terjerumus melakukan aksi tindakan-tindakan terorisme?

Ada titik temu ideologi ISIS dan ideologi HTI. Tetapi juga ada titik beda. Namun setahap atau tiga tahap lagi, itu sudah bisa sampai ke ideologi terorisme. Jadi memang kemungkinan itu ada.

Meski dalam perjalanan pergerakan HTI tidak menggunakan kekerasan…

Pengalaman Hizbut Tahrir (HT) di negara lain menggunakan kekerasan. Hizbut Tahrir di Mesir telibat aksi teror pembunuhan terhadap pejabat di Mesir dan para ulama Al Azhar. Peristiwa itu telah membuktikan terjerembab, itu ada.

Soal Perppu Ormas yang banyak menuai kritik karena mengancam demokrasi. Bagaimana sikap resmi Komnas HAM?

Awal bulan Agustus, kami akan rapat paripurna Komnas HAM, di sana akan menyimpulkan sikap akhir dari Komnas HAM.

Lahirnya Perppu, menurut saya tidak masalah. Sebab hak atas kebebasan berserikat harus dihormati, dilindungi, dan dimajukan oleh negara. Tapi jika untuk alasan tertentu negara mengatur dan membatasi, bukan menghilangkan.

Artinya menghilangkan, jika di Indonesia dilarang berorganisasi.

Tetapi kalau di Indonesia boleh berorganisasi dengan aturan dan membatasi. Dalam konsep HAM, mengatur dan membatasi itu justifikasinya apa? Ada yang disebutkan prinsip memberikan syarat ketat untuk pembatasan dan pengaturan.

Pertama, apabila pelaksanaan terhadap yang dibatasi itu bertentangan dengan hak dan kebebasan dasar orang lain, dan bertentangan dengan keselamatan negara. Dalam International Covenant on Civil and Political Rights, negara diberikan kewenangan jika negara dalam keadaan genting, mengurangi standar perlindungan HAM.

Tapi ada syaratnya, pengurangan itu tidak boleh diskrimnatif dan semena-mena. Tapi sumber aturan pembatasan itu harus selevel dengan undang-undang, agar aturan tidak mudah dibuat. Sementara dalam konteks Perppu Ormas, Perppu ini selevel dengan undang-undang.

Sejak awal, Komnas HAM selalu mengatakan tindaklah HTI dengan undang-undang yang ada. Mulai dengan proses membina, lalu dilarang, lalu diajukan ke pengadilan.

Sehingga pengadilan yang memutuskan apakah HTI dibubarkan atau tidak. Tidak boleh semena-mena dilakukan oleh pemerintah. Sayangnya Perppu ini menghilangkan proses pengadilan.

Perppu ini dikhawatirkan akan menjadi senjata rezim yang otoriter untuk membungkam kebebasan berpendapat yang didapatkan di rezim yang saat ini masih berjalan.

Tapi bagaimana pasca 2019 setelah pemilu nanti? Ini kekhawatiran yang tidak mengada-ngada.

Komnas HAM sangat kritis dengan Perppu ini.

Apa saja yang menjadi pertimbangan untuk membuat sikap Komnas HAM terhadap Perppu Ormas itu?

Semua pertimbangan sulit, karena ini nasib bangsa. Karena nggak mudah untuk mengambil sikap. Ini menyangkut soal HAM orang banyak. Kami hati-hati dalam mengambil keputusan.

Tapi pendapat pribadi saya, saya kritis terhadap Perppu Ormas. Saya tidak menerima bulat-bulat, dan tidak menolak bulat-bulat juga belum.

Secara pribadi, Apakah Anda berpendapat Perppu ini berpotensi melanggar HAM?

Sangat potensial, apabila Perppu ini berada pada satu sistem politik yang tidak demokratis.

Karena pasal-pasalnya karet, banyak mengandung banyak masalah. Selain mengancam pada kebebasan berekspresi, kebebebasan berpendapat, kebebasan berpemikiran, itu juga kebebasan beragama.

Karena dalam poin di Perppu ini juga dimasukan poin penodaan agama. Selama ini pasal penodaan beragama menjadi momok bagi kelompok minoritas yang dilabeli sebagai kelompok sesat.

Mereka sudah jatuh, tertimpa tangga. Mereka sudah dijerat Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, lalu dijerat dengan pasal 156a di KUHP, ditambah dalam Perppu Ormas ini.

Profil Imdadun Rahmat

Imdadun Rahmat  merupakan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dia Lahir di Rembang, Jawa Tengah pada 6 September 1971. Imdan, sapaan akrabnya, menyelesaikan gelar sarjana Agama di Institut Agama Islam Al Aqidah (Fakultas Tarbiyah) Jakarta tahun 2000. Sementara gelar master dan doktor Politik dan Hubungan Internasional Timur Tengah dia selesaikan di Universitas Indonesia (Jurusan Politik dan Hubungan Internasional Timur Tengah).

Imdan merupakan aktivis HAM dan keberagaman. Dia pernah mengenyam Pendidikan Multikulturalisme untuk Aktivis NGO di Amerika Serikat tahun 2007. Sejak 2000-kini Imdadun aktif sebagai konsultan, narasumber, dan fasilitator untuk diskusi bertema HAM, demokrasi, kebebasan beragama, pluralisme, dan keadilan gender (khususnya dalam perspektif Islam).

Selain di Komanas HAM, dia merupakan pakar dan peneliti di Indonesian Conference on Religions and Peace (ICRP), sebuah lembaga interfaith yang memiliki perhatian terhadap isu hak dan kebebasan beragama/berkeyakinan dan kebebasan sipil. Imdadun pernah menjadi Direktur Paras Foundation, sebuah lembaga yang konsen pada isu pluralisme dan religious freedom.

Imdadun banyak menelurkan tulisan soal pluralisme dan multikulturalisme. Karyanya, antara lain, Buku Modul Pelatihan Advokasi dan Pengorganisasian Masyarakat (2002), Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (2002), Dakwah Transformatif: Islam dan Toleransi (pegangan para Dai) (2003), dan Buku Pegangan Pemantau Pemilu (2004). Semua tulisan tersebut diterbitkan oleh Lakpesdam NU yang bekerja sama dengan lembaga lain seperti JPPR. Selain itu tulisannya juga diterbitkan oleh MADIA (Dialog dan Kebebasan Beragama, 2003); Paras Foundation (buku Modul Pendidikan Pluralisme dan Religius Freedom bagi Guru, 2005, dan buku Integrasi Multikulturalisme d wh alam Kurikulum, 2010).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI