Dalam konteks HTI, di mana sisi dari mereka yang mendukung radikalisme?
Konsep tentang sistem negara Islam, negara yang diimpikan itu akan menguasai dunia. Di konsep khilafah, apapun agamanya dan negaranya harus tunduk terhadap satu negara yang aturan dan ideologinya berdasarkan pada Al Quran dan Sunnah.
Jadi negara di dunia dipaksa untuk mengikuti agama Islam. Itu pemaksaan, tidak boleh dalam HAM. Orang berkeyakinan yang lain dipaksa tunduk kepada aturan agama tertentu. Itu bertentangan dengabn HAM.
Kedua, orang dipaksa untuk tunduk pada kepemimpinan seorang khalifah yang hanya dipilih oleh umat Islam. Umat yang lain hanya berhak untuk tunduk saja, dan tidak ada hak untuk memilih.
Ketiga, khalifah tidak boleh dari yang bukan Islam. Harus orang Islam. Begitu juga pejabat penting dalam khalifah Islam itu harus umat Islam. Jadi di situ terjadi diskiminasi hak politik warga negara.
Apakah kelompok seperti HTI akan terjerumus melakukan aksi tindakan-tindakan terorisme?
Ada titik temu ideologi ISIS dan ideologi HTI. Tetapi juga ada titik beda. Namun setahap atau tiga tahap lagi, itu sudah bisa sampai ke ideologi terorisme. Jadi memang kemungkinan itu ada.
Meski dalam perjalanan pergerakan HTI tidak menggunakan kekerasan…
Pengalaman Hizbut Tahrir (HT) di negara lain menggunakan kekerasan. Hizbut Tahrir di Mesir telibat aksi teror pembunuhan terhadap pejabat di Mesir dan para ulama Al Azhar. Peristiwa itu telah membuktikan terjerembab, itu ada.
Soal Perppu Ormas yang banyak menuai kritik karena mengancam demokrasi. Bagaimana sikap resmi Komnas HAM?
Awal bulan Agustus, kami akan rapat paripurna Komnas HAM, di sana akan menyimpulkan sikap akhir dari Komnas HAM.
Lahirnya Perppu, menurut saya tidak masalah. Sebab hak atas kebebasan berserikat harus dihormati, dilindungi, dan dimajukan oleh negara. Tapi jika untuk alasan tertentu negara mengatur dan membatasi, bukan menghilangkan.
Artinya menghilangkan, jika di Indonesia dilarang berorganisasi.
Tetapi kalau di Indonesia boleh berorganisasi dengan aturan dan membatasi. Dalam konsep HAM, mengatur dan membatasi itu justifikasinya apa? Ada yang disebutkan prinsip memberikan syarat ketat untuk pembatasan dan pengaturan.
Pertama, apabila pelaksanaan terhadap yang dibatasi itu bertentangan dengan hak dan kebebasan dasar orang lain, dan bertentangan dengan keselamatan negara. Dalam International Covenant on Civil and Political Rights, negara diberikan kewenangan jika negara dalam keadaan genting, mengurangi standar perlindungan HAM.
Tapi ada syaratnya, pengurangan itu tidak boleh diskrimnatif dan semena-mena. Tapi sumber aturan pembatasan itu harus selevel dengan undang-undang, agar aturan tidak mudah dibuat. Sementara dalam konteks Perppu Ormas, Perppu ini selevel dengan undang-undang.
Sejak awal, Komnas HAM selalu mengatakan tindaklah HTI dengan undang-undang yang ada. Mulai dengan proses membina, lalu dilarang, lalu diajukan ke pengadilan.
Sehingga pengadilan yang memutuskan apakah HTI dibubarkan atau tidak. Tidak boleh semena-mena dilakukan oleh pemerintah. Sayangnya Perppu ini menghilangkan proses pengadilan.
Perppu ini dikhawatirkan akan menjadi senjata rezim yang otoriter untuk membungkam kebebasan berpendapat yang didapatkan di rezim yang saat ini masih berjalan.
Tapi bagaimana pasca 2019 setelah pemilu nanti? Ini kekhawatiran yang tidak mengada-ngada.
Komnas HAM sangat kritis dengan Perppu ini.
Apa saja yang menjadi pertimbangan untuk membuat sikap Komnas HAM terhadap Perppu Ormas itu?
Semua pertimbangan sulit, karena ini nasib bangsa. Karena nggak mudah untuk mengambil sikap. Ini menyangkut soal HAM orang banyak. Kami hati-hati dalam mengambil keputusan.
Tapi pendapat pribadi saya, saya kritis terhadap Perppu Ormas. Saya tidak menerima bulat-bulat, dan tidak menolak bulat-bulat juga belum.
Secara pribadi, Apakah Anda berpendapat Perppu ini berpotensi melanggar HAM?
Sangat potensial, apabila Perppu ini berada pada satu sistem politik yang tidak demokratis.
Karena pasal-pasalnya karet, banyak mengandung banyak masalah. Selain mengancam pada kebebasan berekspresi, kebebebasan berpendapat, kebebasan berpemikiran, itu juga kebebasan beragama.
Karena dalam poin di Perppu ini juga dimasukan poin penodaan agama. Selama ini pasal penodaan beragama menjadi momok bagi kelompok minoritas yang dilabeli sebagai kelompok sesat.
Mereka sudah jatuh, tertimpa tangga. Mereka sudah dijerat Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, lalu dijerat dengan pasal 156a di KUHP, ditambah dalam Perppu Ormas ini.
Profil Imdadun Rahmat
Imdadun Rahmat merupakan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dia Lahir di Rembang, Jawa Tengah pada 6 September 1971. Imdan, sapaan akrabnya, menyelesaikan gelar sarjana Agama di Institut Agama Islam Al Aqidah (Fakultas Tarbiyah) Jakarta tahun 2000. Sementara gelar master dan doktor Politik dan Hubungan Internasional Timur Tengah dia selesaikan di Universitas Indonesia (Jurusan Politik dan Hubungan Internasional Timur Tengah).
Imdan merupakan aktivis HAM dan keberagaman. Dia pernah mengenyam Pendidikan Multikulturalisme untuk Aktivis NGO di Amerika Serikat tahun 2007. Sejak 2000-kini Imdadun aktif sebagai konsultan, narasumber, dan fasilitator untuk diskusi bertema HAM, demokrasi, kebebasan beragama, pluralisme, dan keadilan gender (khususnya dalam perspektif Islam).
Selain di Komanas HAM, dia merupakan pakar dan peneliti di Indonesian Conference on Religions and Peace (ICRP), sebuah lembaga interfaith yang memiliki perhatian terhadap isu hak dan kebebasan beragama/berkeyakinan dan kebebasan sipil. Imdadun pernah menjadi Direktur Paras Foundation, sebuah lembaga yang konsen pada isu pluralisme dan religious freedom.
Imdadun banyak menelurkan tulisan soal pluralisme dan multikulturalisme. Karyanya, antara lain, Buku Modul Pelatihan Advokasi dan Pengorganisasian Masyarakat (2002), Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (2002), Dakwah Transformatif: Islam dan Toleransi (pegangan para Dai) (2003), dan Buku Pegangan Pemantau Pemilu (2004). Semua tulisan tersebut diterbitkan oleh Lakpesdam NU yang bekerja sama dengan lembaga lain seperti JPPR. Selain itu tulisannya juga diterbitkan oleh MADIA (Dialog dan Kebebasan Beragama, 2003); Paras Foundation (buku Modul Pendidikan Pluralisme dan Religius Freedom bagi Guru, 2005, dan buku Integrasi Multikulturalisme d wh alam Kurikulum, 2010).