Apakah kasus penyiksaan yang Anda alami sudah selesai?
Saya masih bolak-balik ke Hongkong, mungkin bulan depan ke sana lagi. Mau medical check up.
Pengadilan di sana mengundang. Proses hukum perdata masih berlangsung sejak putusan pidana. Pengacara di sana masih mengurusi soal ganti rugi yang saya ajukan. Meskii pelakunya sudah dipenjara.
Bagaimana proses terakhir tuntutan itu?
Pihak tergugat belum sepakat dengan ganti rugi yang kami ajukan. Jumlahnya pun belum pasti. Karena belum tahu kesepakatannya bagaimana. Dia belum mau membayar ganti rugi.
Terakhir pemberitaan, dia mengalami kebangkrutan…
Saya sudah baca juga dia mengalami kebangkrutan, tapi kan kebangkrutan itu tidak terjadi seketika. Alasan seperti itu tidak bisa jadi alasan. Yang jelas saya mengalami kerugian, sakit fisik dan materil. Dia kan pengusaha besar, mungkin itu akal-akalan dia nggak mau bayar saja.
Berapa jumlah tuntutan ganti rugi?
Kemarin tuntutannya 800.000 dolar Hongkong. Cuma nggak tahu, hasilnya berapa. Jadi kami saling negosiasi saja antara pengacara.
Dari kasus itu, apa kerugian paling besar Anda?
Paling besar, ganti rugi fisik. Bekas luka
Selama 8 bulan saya disiksa di Hong Kong, itu baru saja bekerja. Saya cuma dikasih makan 1 kali sehari, bekerja seharian sampai malam, hanya boleh istirahat dan tidur beberapa jam di siang. Saya bekerja 21 jam sehari.
Saya di pukul terus-terusan. Makan dan minum dikasih jatah.
Anda pernah melarikan diri...
Iya saat itu Juni (2013). Tapi dikembalikan kembali oleh agen saat itu saat mau lapor polisi. Setelah mencoba lari itu, saya disiksa dan dikurung. Saya nggak menerima gaji, dan nggak ada libur.
Saya berangkat ke Hong Kong Mei 2013 dari Ngawi. Sampai ke sana, saya ditampung di agen, Chans Asia Recruitment Centre. Nama majikan saya, Law Wan Tung. Selain dia, ada dua anaknya di rumah itu.
Kerugian materi?
Saya membayar sendiri saat dirawat di Rumah Sakit Umum (RSU) Amal Sehat Sragen, Jawa Tengah. Totalnya Rp30 jutaan. Lalu pihak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga membantu biaya saat di rumah sakit di Solo. Kalau dari Kementerian Luar Negeri tidak ada bantuan.
Apakah gaji yang di Hongkong sudah dibayar majikan?
Sudah dibayar, 28 ribu dolar Hongkong.
Apa masukan Anda untuk warga Indonesia yang ingin menjadi TKI?
Untuk teman-teman, jangan sampai jadi TKI. Kecuali kalau tidak ada kerjaan di Indonesia, tidak apa-apa. Kalau ada pekerjaan di Indonesia, kerja saja meski gajinya kecil. Tapi kalau kebutuhan tidak mencukupi, mau bagaimana lagi, nggak apa-apa lah jadi TKI.
Persiapan yang paling penting, harus tahu bahasa di sana, budaya di sana, dan hukum-hukum ketenagakerjaan di sana. Selain itu harus bergaul di organisasi buruh migrant, biar nggak bingung di sana. Jika ada permasalahan kasus, bisa dibantu ramai-ramai.
Jadi TKI, menjadi plilihan kedua, kalau nggak ada pilihan lain. Kalau bisa nggak usah jadi TKI.
Anda mendapatkan predikat 100 orang paling berpengaruh di dunia tahun 2014 dari Majalah Time…
Saya senang, karena dunia memperhatikan kasus kekerasan TKI. Makin baja orang yang kenal aku, tapi sayangnya kasus kekerasan terhadap buruh migrant Indonesia masih ada. Saya ini korban.
Biografi singkat Erwiana Sulistyaningsih
Erwiana lahir pada 7 Januari 1991. Dia adalah mantan tenaga kerja wanita (TKW) di Hong Kong. Kini Erwiana aktif menjadi aktivis buruh migran setelah kasus penyiksaannya mencuat dan menghebohkan dunia. Erwiana masih tercatat sebagai mahasiswii Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Jurusan Manajemen.
Erwiana putri dari pasangan Rohmad dan Suratmi Saputra. Ayahnya adalah seorang pekerja serabutan. Setelah lulus SMA, ia sempat ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi untuk menjadi seorang akuntan, namun tidak terwujud karena kemiskinan.
Sekilas kasus penyiksaannya, pada tahun 2012 Erwiana mendapatkan informasi untuk menjadi TKI melalui PT Graha Ayu Karsa. Berawal dari informasi tersebut, ia berangkat ke Hongkong melalui perusahaan itu pada 27 Mei 2013. Setelah mengantongi visa kerja, Erwiana berangkat ke Hongkong seorang diri. Di sana, ia bertemu perwakilan PT Graha Ayu Karsa yang menunggunya di bandara. Ia pun langsung dibawa menemui majikan yang tinggal di apartemen beralamat di Tong Ming Street, Kowloon, Hongkong.
Erwiana disiksa secara fisik dalam waktu 8 bulan oleh majikannya, Law Wan-tung. Ia mengaku bahwa ia dipaksa tidur di lantai, bekerja 21 jam per hari, dan tidak diizinkan libur. Jika ia tidak membersihkan rumah atau lambat menanggapi panggilan majikan, ia akan dipukuli. Ia mengaku bahwa ia kerap dipukuli dengan berbagai peralatan rumah tangga seperti gagang sapu, penggaris, dan gantungan baju.
Setelah disiksa selama 8 bulan, luka-lukanya terinfeksi dan Erwiana tidak dibawa berobat ke dokter. Ia dibiarkan dalam kondisi lemah dan tidak mampu berjalan. Majikannya mengatur keberangkatannya ke Indonesia dan memberinya uang sejumlah 70 dolar Hong Kong serta mengancam akan membunuh orangtuanya jika ia berani menceritakan penyiksaannya pada orang lain.
Majikan Erwiana meninggalkannya di Bandar Udara Internasional Hong Kong dengan rute sambung menuju Jakarta dan Solo menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Ditinggalkan sendirian di bandara dan tidak mampu berjalan, Erwiana bertemu dengan Rianti, rekannya sesama warga negara Indonesia, yang membantu mengantarkannya ke rumahnya di Ngawi. Rianti juga membawanya ke Rumah Sakit Amal Sehat di Sragen untuk merawat luka-lukanya.
Law Wan-tung ditangkap di Bandar Udara Internasional Hongkong saat berupaya untuk terbang ke Thailand. Ia didakwa oleh pengadilan Kwun Tong telah melakukan tindakan kekerasan fisik dan empat dakwaan kriminal lainnya.