Nirwan Arsuka: Pustaka Bergerak, Buru Pembaca ke Pelosok Negeri

Senin, 03 Juli 2017 | 07:00 WIB
Nirwan Arsuka: Pustaka Bergerak, Buru Pembaca ke Pelosok Negeri
Pendiri Pustaka Bergerak, Nirwan Ahmad Arsuka. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tahun 2016 lalu, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atau UNESCO menyatakan masyarakat Indonesia paling rendah kedua di dunia dalam hal minat baca. Nirwan Ahmad Arsuka tidak sepakat penuh hasil survei itu.

Data itu berdasarkan survei minat baca di 61 negara. Hasilnya,minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen atau menempati peringkat kedua dari negara yang disurvei. Pendiri Pustaka Bergerak, Nirwan Ahmad Arsuka sudah membuktikan jika buku masih sangat diperlukan anak-anak di luar kota besar, seperti Jakarta.

Sudah 2 tahun, sarjana Teknik Nuklir Universitas Gajah Mada ini keliling Indonesia mengantarkan buku-buku bacaan segala umur ke pelosok Indonesia. Seekor kuda didandani menjadi perpustakaan berjalan dengan membawa buku-buku itu. Mulai dari pelosok pantai sampai ke gunung.

“Anak-anak selalu meminta buku baru, ini yang membuat pusing,” kata mantan Jurnalis Harian Kompas itu saat berbincang dengan suara.com belum lama ini.

Nirwan menginiasi Gerakan Pustaka Bergerak dengan orang-orang di seluruh Indonesia yang sadar pentingnya literasi. Pustaka Bergerak berkeliling kampung di kawasa daerah terpencil untuk mendatangi warga-warga yang sulit mengakses buku. Buku ini dipinjamkan dan harus dikembalikan.

Gerakan Pustaka Bergerak. (Dokumen Pustaka Bergerak Indonensia)

Mirip perpustakaan keliling. Tapi Pustaka Bergerak ini dijalankan oleh relawan yang tidak dibayar sepeser pun. Moda transportasinya pun menggunakan kuda atau hewan sejenis yang bisa keluar masuk kampung dengan medan yang tidak bisa dilewati kendaraan bermesin.

“Kebutuhan buku justru bukan di kawasan kota, tapi di kawasan tengah hutan dan pulau terpencil. Kami ke sana untuk antarkan buku itu,” cerita Nirwan.

Saat ini jaringan Pustaka Bergerak sudah tersebar di seluruh Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Semisal Noken Pustaka di Puncak Jaya, Papua. Belum lama ini usahanya itu mendapat pujian dari Presiden Joko Widodo.

Ditemui suara.com di Bentara Budaya Jakarta, Nirwan banyak cerita soal tantangan dan kisah menarik Pustaka Bergerak keluar masuk kawasan terpencil dan ‘blank spot’.

Berikut perbincangan lengkapnya:

Bagaimana awal Pustaka Bergerak tercetus?

Pertama, saat saya bekerja di Freedom Institute Jakarta. Freedom mempunyai perpustakaan paling bagus se-Indonesia. Perpustakaan itu banyak mempunyai pengunjung, tapi dari kalangan mahasiswa. Sementara masyarakat di kampung sekitar perpustakaan itu, di Menteng, tidak ada yang mau datang ke perpustakaan.

Karena perpustakaan itu kesannya mewah dan tertutup, lalu di dalam tempatnya terlalu bagus untuk mereka.

Kedua, waktu tahun 2014 saya berkuda dari Pamulang, Tangerang Selatan ke Parompong, Bandung, lewat jalan kampung. Saya banyak dibantu anak-anak untuk menunjukkan jalan. Bahkan mereka carikan rumput untuk makan kuda  dan dibawa ke lapangan. Saya jalan dengan dua ekor kuda milik sendiri, Merpu dan Arjuna Ireng. Kuda itu jenis sandalwood pony atau kuda pacu asli Indonesia setinggi 140 cm.

Saya banyak mengobrol dengan anak-anak di jalan. Tapi begitu saya tanya soal asal usul nama kampung, mereka tidak tahu dan tidak bisa cerita. Orangtuanya juga pada tidak tahu. Saya prihatin, karena saya ingin menulis daerah-daerah yang saya lalui, tapi tidak ada yang bisa bantu karena tidak pada tahun.

Kalau cerita kampung itu hilang, mereka tidak ada ikatan emosioal dengan kampung itu. Sehingga akhirnya mereka bisa tidak peduli dengan kampung itu. Imbasnya bahaya, mulai dari kemiskinan sampai pengangguran karena proses urbanisasi.

Sehingga begitu saya pulang, saya janji akan membawa buku ke kampung-kampung itu.

Saya tidak membuat perpusatakaan. Tapi awal Pustaka Bergerak ada di Purbalingga.

Onthel Sespan Baca Zulfa Nurul Dzakiyyah (Zulfa Nurul Dzakiyyah)

Sudah ada berapa Perpustakaan Bergerak di daerah?

Banyak, dari Aceh sampai Papua ada Pustaka Bergerak. Misal, Kuda Pustaka, Noken Pustaka, Bemo Pustaka, Motor Pustaka, Jamu Pustaka, Serabi Pustaka, dan Motor Tahu Pustaka. Sebelum saya jalan, memang ada taman baca dan rumah baca yang ‘mobile’, mereka menyebut diri sebagai Pustaka Keliling.

Tapi kawan-kawan ini bergerak secara lokal, begitu Pustaka Bergerak muncul menjadi gerakan nasional. Agar mereka saling dukung. Gerakan literasi yang mencoba bergerak menemui pembaca itu jalan sunyi dan mudah disalahpahami orang.

Awalnya kawan-kawan yang bergerak membawa buku dianggap pedagang keliling, selain itu dianggap calon penculik anak. Ada beberapa relawan yang cerita, dia dicurigai memikat anak dengan membawa buku, lalu ingin menculiknya.

Jika mereka tidak saling bantu dan mendukung, bisa patah semangat. Makanya saya sejak awal ingin gerakan ini skala nasional agar bisa berjejaring dan berkembang menjadi bantu bacaan.

Jaringan Pustaka Bergerak yang saya bangun sendiri secara langsung misalnya di Kuda Pustaka Gunung Slamet. Saya kirim buku dan bantu modal membangun kandang kuda dan kegiatan ekonominya. Selain itu di Mandar, saya bantu untuk membuat perahunya. Saya bukan hanya membantu Pustaka Bergerak di sana, tapi menghidupkan tradisi pembuatan perahu kayu yang sudah hampir punah karena pembuatan perahu modern.

Selain itu saya juga langsung membantu Noken Pustaka di Papua dengan mengirimkan kuda dari Jakarta dan pembuatan perahunya.

Tapi yang lain, saya bantu secara tidak langsung. Sisanya kreativitas relawan sendiri. Mereka ikut gabung sendiri dan mencantolkan gerakan Pustaka Bergerak dalam jaringan yang sudah dibentuk.

Siapa yang menyediakan tempat perpustakaannya?

Itu rumah relawan yang diubah sebagian menjadi perpustakaan. Ada juga yang disumbang oleh masyarakat. Misalnya, Pustaka Bergerak di Lampung diberikan kandang burung dan kandang ayam untuk dijadikan rak menyimpan buku.

di Ruang Publik ekowisata #kampung_pelangi Desa Palas Pasemah Kec. Palas Lampung Selatan.

Bagaimana cara mempopulerkan gerakan literasi ini?

Kami gunakan media sosial, Facebook untuk mengkampayekan gerakan ini. Facebook memberikan tempat yang cukup luas dan panjang untuk bercerita dan memperlihatkan foto.

Foto sangat penting untuk media komunikasi. Jika kami memberikan ilustrasi dengan foto serta cerita teks, maka publik akan tahu gambaran persis tentang yang kita lakukan.

Yang juga penting, jika kegiatan Pustaka Bergerak dipublikasikan, maka calon penyumbang buku akan tahu ada gerakan ini. Mereka bantu keliling buku.

Dari mana Anda mencontoh model gerakan literasi seperti ini?

Gerakan ini tidak ada di mana pun. Model seperti ini hanya di Indonesia. Di Amerika dan Eropa, mungkin ada model pustaka bergerak, tapi itu warisan dari abad-abad lalu. Mereka tidak punya kebutuhan agar gerakan itu bersifat nasional, karena buku di sana mudah diakses.

Di Indonesia, bukunya sulit di akses. Bukunya sedikit, sebagian besar mutunya kurang menarik. Kebanyakan buku yang bagus, hasil terjemahan dari buku luar negeri. Selain jumlah bukunya sedikit, penyebarannya pun terbatas.

Banyak komunitas dan anak-anak yang kami temukan, semasa hidup mereka cuma mengenal 1 buku. Kami temukan itu di kawasan terpencil dan pulau kecil. Di sana tidak ada Kantor Pos dan sekolah yang hanya memiliki 3 ruang kelas. Sementara gurunya 6 bulan datang mengajar, sementara 6 bulan selanjutnya tidak masuk mengajar.

Pustaka Bergerak menggunakan transportasi kuda masuk ke kampung-kampung membawa buku. Bagaimana ide ini muncul?

Pertama, kuda menarik anak-anak untuk berkumpul. Kedua, daerah jaringan Pustaka Bergerak kebanyakan di pegunungan yang mempunyai medan naik turun. Jika pakai bendi, agak berat.

Kalau pakai motor, akan tergantung dengan bensin dan suku cadang. Sementara pakai kuda mudah perawatannya, cukup ada rumput.

Selain itu, sejak awal saya ingin memberikan karakter lokal dengan gerakan Pustaka Bergerak. Karena Pustaka Bergerak ini bukan hanya gerakan literasi, tapi kultural yang menonjolkan aspirasi para relawannya.

Kami ingin masyarakat bangga dengan budaya lokalnya.

Di daerah pantai seperti di Mandar, kami pakai perahu. Di sana ada komunitas pembuat perahu, kami pesan untuk menghidupkan tradisi pembuatan perahu. Perahu ini bisa dipakai ‘mobile’ masuk ke sungai-sungai kecil.

Perpustakaan Nasional sebenarnya punya perahu pustaka, tapi perahunya terlalu bagus dan untuk bersandar perlu dermada. Sementara perahu kami bisa masuk ke daerah terpencil agar masyarakat di sana bisa akses buku.

Apakah tantangan tersulit dari menjalankan Pustaka Bergerak?

Paling berat mencari relawanya. Sebab yang menjadi relawan ini harus ‘orang gila’, ‘orang gila’ yang ingin mengerjakan pekerjaan yang orang lain tak ingin kerjakan. Misalnya keliling tarik kuda untuk membawa buku, mungkin orang lain berpikir “ngapain juga  kerjakan itu karena nggak ada untungnya?”.

Salah satu contoh cerita dari relawan Kuda Pustaka adalah Heri Dono Sururi. Dia sudah cinta dengan kuda dan prihatin ke anaknya yang hanya main gadget terus. Dia ingin diajak kerjasama untuk menjalankan gerakan Pustaka Bergerak, tapi dia nggak punya buku.

Saya pun kirimkan buku, dan dia keliling kampung untuk menemui anak-anak dan membaca buku-buku itu. Awalnya dia malu, tapi kelamaan tidak malu. Saya bilang, saat bergerak difoto untuk disebar ke Facebook.

Akhirnya banyak juga yang merespon dan menyumbang bukunya. Sehingga Mas Sururi menjadi bergerak sendiri dengan Kuda Pustakanya di Desa Serang, Karangreja Purbalingga.

Begitu kegiatan Mas Sururi diliput media asing, pemerintah Purbalingga mulai sadar jika apa yang dilakukan Sururi bisa mengangkat daerahnya. Makanya pemerintah memberikan buku dan bantuan literasi agar Kuda Pusataka itu bisa bertahan.

Apakah sampai kini masih sulit mendapatkan pasokan buku bacaan untuk dikirimkan ke daerah?

Untuk beberapa simpul Pustaka Bergerak yang sudah dikenal masyarakat, tidak kesulitan. Bahkan kawan-kawan di daerah mengeluh bukunya sudah makin banyak, tapi ruangan perpustakaan dan rak bukunya tidak bertambah.

Tapi sebagian besar simpul Pustaka Bergerak masih kekurangan buku, terutama yang baru tumbuh dan belum dikenal. Simpul Pustaka Bergerak di daerah banyak yang tidak dikenal masyarakat, padahal sudah lama berdiri. Itu disebabkan sinyal ponsel dan jaringan internet sangat buruk.

Mereka tidak bisa mempromosikan perpustakaanya di media sosial. Misalnya, di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan, atau juga yang ada di tengah hutan.

Bahkan kesulitan akses internet juga terjadi di Puncak Jaya dan Intan Jaya, Papua. Di sana ada beberapa guru yang menjadi relawan, membawa buku-buku dengan motor dan mendatangi anak-anak serta masyarakat. Kami mempunyai hastag dalam media sosial, “pemburu pembaca”. Jadi kami tidak menunggu pembaca datang.

Kawasan Papua belum banyak infrastruktur layak. Bisa Anda ceritakan usaha dari relawan Pustaka Bergerak di sana untuk menyambangi warga dan meminjamkan buku?

Mau masuk ke desa-desa di Intan Jaya saja harus jalur udara, tidak bisa jalan darat. Untuk mendistribusikan buku tidak mudah, harus menunggu banyak orang untuk menyewa satu pesawat. Bukunya harus menunggu beberapa minggu untuk bisa dikirim.

Tapi di Pustaka Bergerak Intan Jaya membuat orang-orang saling bantu dan menjadi kegiatan sosial. Tapi ada juga yang menganggap gerakan literasi ini sebagai ‘proyek berduit’. ‘Melawan’ orang-orang yang berpikir gerakan literasi ini sebagai proyek berduit bagian dari perjuangan relawan untuk meyakinkan ke masyarakat.

Gerakan Pustaka Bergerak adalah sukarela. Bagaimana Anda meyakinkan ke daerah yang dituju untuk menerima gerakan ini?

Masing-masing kreativitas saja. Tidak ada cara bakunya.

Kami pernah mengadakan ‘track pustaka’ atau perjalanan pustaka di Papua. Ada yang membawa motor roda dua dan tiga, serta membawa kuda seperti saya. Kita semua masuk ke kampung-kampung, pantai utara Manokwari. Begitu masuk kampung, kami dimarahi kepala kampung itu.

Sebab kami tidak memberitahu kedatangan ini, sementara mereka ingin menjamu dengan masakan daging rusa dan lobster. Tapi tentu tidak semua kepala desa yang mengerti dengan misi baik kami. Kepala desa yang terdidik saja yang sadar, jika buku itu juga membuat pintar.

Apakah Pustaka Bergerak sudah memanfaatkan teknologi buku elektronik atau e-book untuk menjangkau minat baca?

Di beberapa tempat, mungkin saja. Tapi di Jawa saja masih banyak blank spot. E-book ini membutuhkan internet dengan jaringan bagus.

Bahkan di banyak daerah, untuk upload foto ke Facebook saja harus memanjat pohon untuk mencari sinyal. Mengirim 1 foto saja selama 15 menit.

Saat ini masih ada pembatasan bacaan buku yang dianggap mengancam keamanan negara. Misal buku-buku yang dianggap bersenggolan dengan ideologi komunis. Bagaimana dengan Pustaka Bergerak, apakah juga membatasi buku-buku yang dikirim?

Sebenarnya pemerintah tidak pernah takut dengan buku-buku itu. Itu kan ‘mainan’ sejumlah orang saja. Bahkan belakangan kami banyak dibantu oleh polisi dan tentara dalam pengiriman buku-buku. Mereka gunakan motor dinasnya.

Jadi pelan-pelan ada perubahan paradikma di kalangan angkatan bersenjata, daripada melarang buku lebih baik ikut menyebarkannya. Melarang buku bukannya membuat orang takut tapi jadi penasaran. Semakin buku dilarang, semakin dikejar orang.

Penah ada pengalaman buku yang Anda kirim, tapi dilarang?

Ada cerita dari relawan Pustaka Bergerak, biasanya buku-buku agama. Di masyarakat muslim misalnya. Pernah terselip 1 kitab Injil dan cerita rasul Nasrani, itu jadi dipermasalahkan. Tapi ini terjadi jika ada provokatornya. Padahal masyarakat kita pada umumnya toleran.

Kalau datang baik-baik ke kepala desanya, pasti akan diterima.

Masing-masing daerah beda cara untuk berdialog dengan masyarakat. Makanya para relawan ini harus saling cerita. Saat ini, ini yang saya banyak lakukan memberikan konsultasi dan bertukar pikiran.

Ada anggapan, minat baca di masyarakat rendah. Anda setuju?

Saya kira nggak, apalagi di kalangan anak-anak. Di kalangan orangtua, mungkin rendah minat bacanya karena mempunyai cara berpikir yang berbeda. Sementara anak-anak pola pikirnya tidak rumit. Mereka akan senang melahap semua bacaan.

Anak-anak selalu meminta buku baru, ini yang membuat pusing para relawan. Konsumen kami kebanyakan anak-anak, mereka masih punya banyak waktu. Tapi banyak juga orangtua memanfaatkan buku ini dengan belajar menanam. Kehidupan mereka banyak yang berubah karena ini.

Gerakan ini sudah 2 tahun, banyak relawan yang bergabung. Tapi bagaimana Anda memastikan ekonomi relawan Pustaka Bergerak ini terpenuhi?

Semua relawan kami tidak digaji. Tapi kami hanya bantu dengan memberikan kail, bukan ikan. Mereka harus kreatif memikirkan bagaimana ekonomi mereka terpenuhi. Masing-masing relawan saling bantu. Mereka didorong harus berwirausaha. Kebanyakan mereka mendapatkan dukungan dari orang sekampung.

Saya juga sedang berpikir, bagaimana kegiatan pustaka di jaringan Pustaka Bergerak ini bisa bertahan dari sisi ekonomi. Misalnya di Perahu Pustaka, selain jadi wahana untuk penyebaran buku, ini juga dijadikan wahana untuk pelatihan dan wisatawan. Sehingga memanfaatkan kawasan wisata.

Belum lama ini Anda bertemu Jokowi. Bagaimana responnya?

Pemerintah memberikan respon positif. Sikap positif ini direalisasikan menjadi aksi nasional berupa pengiriman buku gratis dari dan ke Indonesia. Jadi PT Pos diperintahkan untuk memberikan fasilitas pengiriman buku gratis sekali dalam sebulan.

Apa kegiatan Anda selain di Pustaka Bergerak?

Dulu saya di Freedom Institut, tapi lagi istirahat dulu. Banyak waktu saya untuk membaca. Pendidikan saya, sarjana nuklir di Universitas Gajah Mada. Saya nggak bekerja sebagai ahlii nuklir karena tidak ada PLTN. Padahal tahun 60-an orde lama, ingin mengembangkan nuklir, tapi saat orde baru sentimen dunia tidak berpihak bangun energi nuklir.

Saya pernah punya usaha percetakan, tapi ada lonjakan dolar dan harga kertas menjelang krisis 1998. Akhirnya dijual perusahaan itu. Setelah itu kembali ke Kompas untuk menulis lepas.

Biografi singkat Nirwan Arsuka

Nirwan Ahmad Arsuka menghabiskan masa kecil dan remajanya di Makassar, sampai SMA dia sekolah di sana. Selepas lulus SMA, Nirwan tergoda kuliah teknik nuklir di Universitas Gajah Mada. Sebab pemerintah di era 60-an tengah getol ingin membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Tapi, begitu menyelesaikan sarjana, tidak ada PLTN.

Nirwan pun putar arah menjadi jurnalis, kebetulan dia doyan membaca. Karier pertama Nirwan menjadi jurnalis rublik teknologi di Harian Kompas. Dia juga pernah menjadi visiting-editor Bentara-KOMPAS. Nirwan juga banyak menulis lepas dan diterbitkan di International Journal of Asian Studies and Journal Inter-Asia Cultural Studies.

Sebelum menggagas dan membentuk Pustaka Bergerak, Nirwan menjadi Direktur Freedom Institute.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI