Apakah tantangan tersulit dari menjalankan Pustaka Bergerak?
Paling berat mencari relawanya. Sebab yang menjadi relawan ini harus ‘orang gila’, ‘orang gila’ yang ingin mengerjakan pekerjaan yang orang lain tak ingin kerjakan. Misalnya keliling tarik kuda untuk membawa buku, mungkin orang lain berpikir “ngapain juga kerjakan itu karena nggak ada untungnya?”.
Salah satu contoh cerita dari relawan Kuda Pustaka adalah Heri Dono Sururi. Dia sudah cinta dengan kuda dan prihatin ke anaknya yang hanya main gadget terus. Dia ingin diajak kerjasama untuk menjalankan gerakan Pustaka Bergerak, tapi dia nggak punya buku.
Saya pun kirimkan buku, dan dia keliling kampung untuk menemui anak-anak dan membaca buku-buku itu. Awalnya dia malu, tapi kelamaan tidak malu. Saya bilang, saat bergerak difoto untuk disebar ke Facebook.
Akhirnya banyak juga yang merespon dan menyumbang bukunya. Sehingga Mas Sururi menjadi bergerak sendiri dengan Kuda Pustakanya di Desa Serang, Karangreja Purbalingga.
Begitu kegiatan Mas Sururi diliput media asing, pemerintah Purbalingga mulai sadar jika apa yang dilakukan Sururi bisa mengangkat daerahnya. Makanya pemerintah memberikan buku dan bantuan literasi agar Kuda Pusataka itu bisa bertahan.
Apakah sampai kini masih sulit mendapatkan pasokan buku bacaan untuk dikirimkan ke daerah?
Untuk beberapa simpul Pustaka Bergerak yang sudah dikenal masyarakat, tidak kesulitan. Bahkan kawan-kawan di daerah mengeluh bukunya sudah makin banyak, tapi ruangan perpustakaan dan rak bukunya tidak bertambah.
Tapi sebagian besar simpul Pustaka Bergerak masih kekurangan buku, terutama yang baru tumbuh dan belum dikenal. Simpul Pustaka Bergerak di daerah banyak yang tidak dikenal masyarakat, padahal sudah lama berdiri. Itu disebabkan sinyal ponsel dan jaringan internet sangat buruk.
Mereka tidak bisa mempromosikan perpustakaanya di media sosial. Misalnya, di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan, atau juga yang ada di tengah hutan.
Bahkan kesulitan akses internet juga terjadi di Puncak Jaya dan Intan Jaya, Papua. Di sana ada beberapa guru yang menjadi relawan, membawa buku-buku dengan motor dan mendatangi anak-anak serta masyarakat. Kami mempunyai hastag dalam media sosial, “pemburu pembaca”. Jadi kami tidak menunggu pembaca datang.
Kawasan Papua belum banyak infrastruktur layak. Bisa Anda ceritakan usaha dari relawan Pustaka Bergerak di sana untuk menyambangi warga dan meminjamkan buku?
Mau masuk ke desa-desa di Intan Jaya saja harus jalur udara, tidak bisa jalan darat. Untuk mendistribusikan buku tidak mudah, harus menunggu banyak orang untuk menyewa satu pesawat. Bukunya harus menunggu beberapa minggu untuk bisa dikirim.
Tapi di Pustaka Bergerak Intan Jaya membuat orang-orang saling bantu dan menjadi kegiatan sosial. Tapi ada juga yang menganggap gerakan literasi ini sebagai ‘proyek berduit’. ‘Melawan’ orang-orang yang berpikir gerakan literasi ini sebagai proyek berduit bagian dari perjuangan relawan untuk meyakinkan ke masyarakat.
Gerakan Pustaka Bergerak adalah sukarela. Bagaimana Anda meyakinkan ke daerah yang dituju untuk menerima gerakan ini?
Masing-masing kreativitas saja. Tidak ada cara bakunya.
Kami pernah mengadakan ‘track pustaka’ atau perjalanan pustaka di Papua. Ada yang membawa motor roda dua dan tiga, serta membawa kuda seperti saya. Kita semua masuk ke kampung-kampung, pantai utara Manokwari. Begitu masuk kampung, kami dimarahi kepala kampung itu.
Sebab kami tidak memberitahu kedatangan ini, sementara mereka ingin menjamu dengan masakan daging rusa dan lobster. Tapi tentu tidak semua kepala desa yang mengerti dengan misi baik kami. Kepala desa yang terdidik saja yang sadar, jika buku itu juga membuat pintar.
Apakah Pustaka Bergerak sudah memanfaatkan teknologi buku elektronik atau e-book untuk menjangkau minat baca?
Di beberapa tempat, mungkin saja. Tapi di Jawa saja masih banyak blank spot. E-book ini membutuhkan internet dengan jaringan bagus.
Bahkan di banyak daerah, untuk upload foto ke Facebook saja harus memanjat pohon untuk mencari sinyal. Mengirim 1 foto saja selama 15 menit.
Saat ini masih ada pembatasan bacaan buku yang dianggap mengancam keamanan negara. Misal buku-buku yang dianggap bersenggolan dengan ideologi komunis. Bagaimana dengan Pustaka Bergerak, apakah juga membatasi buku-buku yang dikirim?
Sebenarnya pemerintah tidak pernah takut dengan buku-buku itu. Itu kan ‘mainan’ sejumlah orang saja. Bahkan belakangan kami banyak dibantu oleh polisi dan tentara dalam pengiriman buku-buku. Mereka gunakan motor dinasnya.
Jadi pelan-pelan ada perubahan paradikma di kalangan angkatan bersenjata, daripada melarang buku lebih baik ikut menyebarkannya. Melarang buku bukannya membuat orang takut tapi jadi penasaran. Semakin buku dilarang, semakin dikejar orang.
Penah ada pengalaman buku yang Anda kirim, tapi dilarang?
Ada cerita dari relawan Pustaka Bergerak, biasanya buku-buku agama. Di masyarakat muslim misalnya. Pernah terselip 1 kitab Injil dan cerita rasul Nasrani, itu jadi dipermasalahkan. Tapi ini terjadi jika ada provokatornya. Padahal masyarakat kita pada umumnya toleran.
Kalau datang baik-baik ke kepala desanya, pasti akan diterima.
Masing-masing daerah beda cara untuk berdialog dengan masyarakat. Makanya para relawan ini harus saling cerita. Saat ini, ini yang saya banyak lakukan memberikan konsultasi dan bertukar pikiran.
Ada anggapan, minat baca di masyarakat rendah. Anda setuju?
Saya kira nggak, apalagi di kalangan anak-anak. Di kalangan orangtua, mungkin rendah minat bacanya karena mempunyai cara berpikir yang berbeda. Sementara anak-anak pola pikirnya tidak rumit. Mereka akan senang melahap semua bacaan.
Anak-anak selalu meminta buku baru, ini yang membuat pusing para relawan. Konsumen kami kebanyakan anak-anak, mereka masih punya banyak waktu. Tapi banyak juga orangtua memanfaatkan buku ini dengan belajar menanam. Kehidupan mereka banyak yang berubah karena ini.
Gerakan ini sudah 2 tahun, banyak relawan yang bergabung. Tapi bagaimana Anda memastikan ekonomi relawan Pustaka Bergerak ini terpenuhi?
Semua relawan kami tidak digaji. Tapi kami hanya bantu dengan memberikan kail, bukan ikan. Mereka harus kreatif memikirkan bagaimana ekonomi mereka terpenuhi. Masing-masing relawan saling bantu. Mereka didorong harus berwirausaha. Kebanyakan mereka mendapatkan dukungan dari orang sekampung.
Saya juga sedang berpikir, bagaimana kegiatan pustaka di jaringan Pustaka Bergerak ini bisa bertahan dari sisi ekonomi. Misalnya di Perahu Pustaka, selain jadi wahana untuk penyebaran buku, ini juga dijadikan wahana untuk pelatihan dan wisatawan. Sehingga memanfaatkan kawasan wisata.
Belum lama ini Anda bertemu Jokowi. Bagaimana responnya?
Pemerintah memberikan respon positif. Sikap positif ini direalisasikan menjadi aksi nasional berupa pengiriman buku gratis dari dan ke Indonesia. Jadi PT Pos diperintahkan untuk memberikan fasilitas pengiriman buku gratis sekali dalam sebulan.
Apa kegiatan Anda selain di Pustaka Bergerak?
Dulu saya di Freedom Institut, tapi lagi istirahat dulu. Banyak waktu saya untuk membaca. Pendidikan saya, sarjana nuklir di Universitas Gajah Mada. Saya nggak bekerja sebagai ahlii nuklir karena tidak ada PLTN. Padahal tahun 60-an orde lama, ingin mengembangkan nuklir, tapi saat orde baru sentimen dunia tidak berpihak bangun energi nuklir.
Saya pernah punya usaha percetakan, tapi ada lonjakan dolar dan harga kertas menjelang krisis 1998. Akhirnya dijual perusahaan itu. Setelah itu kembali ke Kompas untuk menulis lepas.
Biografi singkat Nirwan Arsuka
Nirwan Ahmad Arsuka menghabiskan masa kecil dan remajanya di Makassar, sampai SMA dia sekolah di sana. Selepas lulus SMA, Nirwan tergoda kuliah teknik nuklir di Universitas Gajah Mada. Sebab pemerintah di era 60-an tengah getol ingin membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Tapi, begitu menyelesaikan sarjana, tidak ada PLTN.
Nirwan pun putar arah menjadi jurnalis, kebetulan dia doyan membaca. Karier pertama Nirwan menjadi jurnalis rublik teknologi di Harian Kompas. Dia juga pernah menjadi visiting-editor Bentara-KOMPAS. Nirwan juga banyak menulis lepas dan diterbitkan di International Journal of Asian Studies and Journal Inter-Asia Cultural Studies.
Sebelum menggagas dan membentuk Pustaka Bergerak, Nirwan menjadi Direktur Freedom Institute.