Suara.com - Tahun 2016 lalu, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atau UNESCO menyatakan masyarakat Indonesia paling rendah kedua di dunia dalam hal minat baca. Nirwan Ahmad Arsuka tidak sepakat penuh hasil survei itu.
Data itu berdasarkan survei minat baca di 61 negara. Hasilnya,minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen atau menempati peringkat kedua dari negara yang disurvei. Pendiri Pustaka Bergerak, Nirwan Ahmad Arsuka sudah membuktikan jika buku masih sangat diperlukan anak-anak di luar kota besar, seperti Jakarta.
Sudah 2 tahun, sarjana Teknik Nuklir Universitas Gajah Mada ini keliling Indonesia mengantarkan buku-buku bacaan segala umur ke pelosok Indonesia. Seekor kuda didandani menjadi perpustakaan berjalan dengan membawa buku-buku itu. Mulai dari pelosok pantai sampai ke gunung.
“Anak-anak selalu meminta buku baru, ini yang membuat pusing,” kata mantan Jurnalis Harian Kompas itu saat berbincang dengan suara.com belum lama ini.
Nirwan menginiasi Gerakan Pustaka Bergerak dengan orang-orang di seluruh Indonesia yang sadar pentingnya literasi. Pustaka Bergerak berkeliling kampung di kawasa daerah terpencil untuk mendatangi warga-warga yang sulit mengakses buku. Buku ini dipinjamkan dan harus dikembalikan.
Mirip perpustakaan keliling. Tapi Pustaka Bergerak ini dijalankan oleh relawan yang tidak dibayar sepeser pun. Moda transportasinya pun menggunakan kuda atau hewan sejenis yang bisa keluar masuk kampung dengan medan yang tidak bisa dilewati kendaraan bermesin.
“Kebutuhan buku justru bukan di kawasan kota, tapi di kawasan tengah hutan dan pulau terpencil. Kami ke sana untuk antarkan buku itu,” cerita Nirwan.
Saat ini jaringan Pustaka Bergerak sudah tersebar di seluruh Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Semisal Noken Pustaka di Puncak Jaya, Papua. Belum lama ini usahanya itu mendapat pujian dari Presiden Joko Widodo.
Ditemui suara.com di Bentara Budaya Jakarta, Nirwan banyak cerita soal tantangan dan kisah menarik Pustaka Bergerak keluar masuk kawasan terpencil dan ‘blank spot’.
Berikut perbincangan lengkapnya:
Bagaimana awal Pustaka Bergerak tercetus?
Pertama, saat saya bekerja di Freedom Institute Jakarta. Freedom mempunyai perpustakaan paling bagus se-Indonesia. Perpustakaan itu banyak mempunyai pengunjung, tapi dari kalangan mahasiswa. Sementara masyarakat di kampung sekitar perpustakaan itu, di Menteng, tidak ada yang mau datang ke perpustakaan.
Karena perpustakaan itu kesannya mewah dan tertutup, lalu di dalam tempatnya terlalu bagus untuk mereka.
Kedua, waktu tahun 2014 saya berkuda dari Pamulang, Tangerang Selatan ke Parompong, Bandung, lewat jalan kampung. Saya banyak dibantu anak-anak untuk menunjukkan jalan. Bahkan mereka carikan rumput untuk makan kuda dan dibawa ke lapangan. Saya jalan dengan dua ekor kuda milik sendiri, Merpu dan Arjuna Ireng. Kuda itu jenis sandalwood pony atau kuda pacu asli Indonesia setinggi 140 cm.
Saya banyak mengobrol dengan anak-anak di jalan. Tapi begitu saya tanya soal asal usul nama kampung, mereka tidak tahu dan tidak bisa cerita. Orangtuanya juga pada tidak tahu. Saya prihatin, karena saya ingin menulis daerah-daerah yang saya lalui, tapi tidak ada yang bisa bantu karena tidak pada tahun.
Kalau cerita kampung itu hilang, mereka tidak ada ikatan emosioal dengan kampung itu. Sehingga akhirnya mereka bisa tidak peduli dengan kampung itu. Imbasnya bahaya, mulai dari kemiskinan sampai pengangguran karena proses urbanisasi.
Sehingga begitu saya pulang, saya janji akan membawa buku ke kampung-kampung itu.
Saya tidak membuat perpusatakaan. Tapi awal Pustaka Bergerak ada di Purbalingga.
Sudah ada berapa Perpustakaan Bergerak di daerah?
Banyak, dari Aceh sampai Papua ada Pustaka Bergerak. Misal, Kuda Pustaka, Noken Pustaka, Bemo Pustaka, Motor Pustaka, Jamu Pustaka, Serabi Pustaka, dan Motor Tahu Pustaka. Sebelum saya jalan, memang ada taman baca dan rumah baca yang ‘mobile’, mereka menyebut diri sebagai Pustaka Keliling.
Tapi kawan-kawan ini bergerak secara lokal, begitu Pustaka Bergerak muncul menjadi gerakan nasional. Agar mereka saling dukung. Gerakan literasi yang mencoba bergerak menemui pembaca itu jalan sunyi dan mudah disalahpahami orang.
Awalnya kawan-kawan yang bergerak membawa buku dianggap pedagang keliling, selain itu dianggap calon penculik anak. Ada beberapa relawan yang cerita, dia dicurigai memikat anak dengan membawa buku, lalu ingin menculiknya.
Jika mereka tidak saling bantu dan mendukung, bisa patah semangat. Makanya saya sejak awal ingin gerakan ini skala nasional agar bisa berjejaring dan berkembang menjadi bantu bacaan.
Jaringan Pustaka Bergerak yang saya bangun sendiri secara langsung misalnya di Kuda Pustaka Gunung Slamet. Saya kirim buku dan bantu modal membangun kandang kuda dan kegiatan ekonominya. Selain itu di Mandar, saya bantu untuk membuat perahunya. Saya bukan hanya membantu Pustaka Bergerak di sana, tapi menghidupkan tradisi pembuatan perahu kayu yang sudah hampir punah karena pembuatan perahu modern.
Selain itu saya juga langsung membantu Noken Pustaka di Papua dengan mengirimkan kuda dari Jakarta dan pembuatan perahunya.
Tapi yang lain, saya bantu secara tidak langsung. Sisanya kreativitas relawan sendiri. Mereka ikut gabung sendiri dan mencantolkan gerakan Pustaka Bergerak dalam jaringan yang sudah dibentuk.
Siapa yang menyediakan tempat perpustakaannya?
Itu rumah relawan yang diubah sebagian menjadi perpustakaan. Ada juga yang disumbang oleh masyarakat. Misalnya, Pustaka Bergerak di Lampung diberikan kandang burung dan kandang ayam untuk dijadikan rak menyimpan buku.
Bagaimana cara mempopulerkan gerakan literasi ini?
Kami gunakan media sosial, Facebook untuk mengkampayekan gerakan ini. Facebook memberikan tempat yang cukup luas dan panjang untuk bercerita dan memperlihatkan foto.
Foto sangat penting untuk media komunikasi. Jika kami memberikan ilustrasi dengan foto serta cerita teks, maka publik akan tahu gambaran persis tentang yang kita lakukan.
Yang juga penting, jika kegiatan Pustaka Bergerak dipublikasikan, maka calon penyumbang buku akan tahu ada gerakan ini. Mereka bantu keliling buku.
Dari mana Anda mencontoh model gerakan literasi seperti ini?
Gerakan ini tidak ada di mana pun. Model seperti ini hanya di Indonesia. Di Amerika dan Eropa, mungkin ada model pustaka bergerak, tapi itu warisan dari abad-abad lalu. Mereka tidak punya kebutuhan agar gerakan itu bersifat nasional, karena buku di sana mudah diakses.
Di Indonesia, bukunya sulit di akses. Bukunya sedikit, sebagian besar mutunya kurang menarik. Kebanyakan buku yang bagus, hasil terjemahan dari buku luar negeri. Selain jumlah bukunya sedikit, penyebarannya pun terbatas.
Banyak komunitas dan anak-anak yang kami temukan, semasa hidup mereka cuma mengenal 1 buku. Kami temukan itu di kawasan terpencil dan pulau kecil. Di sana tidak ada Kantor Pos dan sekolah yang hanya memiliki 3 ruang kelas. Sementara gurunya 6 bulan datang mengajar, sementara 6 bulan selanjutnya tidak masuk mengajar.
Pustaka Bergerak menggunakan transportasi kuda masuk ke kampung-kampung membawa buku. Bagaimana ide ini muncul?
Pertama, kuda menarik anak-anak untuk berkumpul. Kedua, daerah jaringan Pustaka Bergerak kebanyakan di pegunungan yang mempunyai medan naik turun. Jika pakai bendi, agak berat.
Kalau pakai motor, akan tergantung dengan bensin dan suku cadang. Sementara pakai kuda mudah perawatannya, cukup ada rumput.
Selain itu, sejak awal saya ingin memberikan karakter lokal dengan gerakan Pustaka Bergerak. Karena Pustaka Bergerak ini bukan hanya gerakan literasi, tapi kultural yang menonjolkan aspirasi para relawannya.
Kami ingin masyarakat bangga dengan budaya lokalnya.
Di daerah pantai seperti di Mandar, kami pakai perahu. Di sana ada komunitas pembuat perahu, kami pesan untuk menghidupkan tradisi pembuatan perahu. Perahu ini bisa dipakai ‘mobile’ masuk ke sungai-sungai kecil.
Perpustakaan Nasional sebenarnya punya perahu pustaka, tapi perahunya terlalu bagus dan untuk bersandar perlu dermada. Sementara perahu kami bisa masuk ke daerah terpencil agar masyarakat di sana bisa akses buku.