Haidar Bagir: Selektif Memilih Ulama dalam Islam

Senin, 26 Juni 2017 | 07:00 WIB
Haidar Bagir: Selektif Memilih Ulama dalam Islam
Haidar Bagir. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nama Haidar Bagir, mungkin tidak akrab di telinga kalangan muslim Indonesia. Padahal dia merupakan salah satu tokoh muslim Indonesia yang mendunia.

Selama 6 tahun berturut-turut cendikiawan muslim ini masuk ke dalam daftar 500 tokoh muslim paling berpengaruh di dunia dalam kategori Philanthropy, Charity and Development atau Filantrofi, Amal Bakti dan Pembangunan. Daftar ini dikeluarkan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC).

Tidak hanya mantan pimpinan umum Harian Umum Republika itu yang masuk, sejumlah tokoh muslim seperti Quraish Shihab, Habib Lutfi bin Yahya, Mustofa Bisri (Gus Mus) dan Syafii Maarif juga masuk. Bahkan, dia disejajarkan dengan Sri Mulyani, Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo.

Dalam pemikirannya, doktor Filsafat Islam dan ahli dalam isu Timur Tengah itu banyak mengkritisi aksi-aksi intoleransi di Indonesia. Mulai dari kekerasan atas nama agama, sampai pandangan radikal karena perbedaan keyakinan atau mazhab.

Belakangan, Haidar banyak mengkritisi soal pemberian gelar ulama di Indonesia yang sudah salah kaprah. Di Indonesia, siapa pun bisa menjadi ulama. Bahkan, dia menyebutkan banyak tokoh yang berlebihan jika masyarakat menyebut mereka sebagai ulama.

Buntut dari salah kaprah ini, muncul istilah pembelaan terhadap seseorang yang diklaim sebagai ulama atau ‘Aksi Bela Ulama’. Bahkan, sudah sejak lama, banyak orang yang mendadak mengklaim dirinya sebagai ulama dan tampil di publik melalui media massa, semisal televisi.

Haidar yang baru saja menulis buku 'Islam Tuhan, Islam Manusia' itu mengatakan gelar ulama bagi tradisi muslim sangat tinggi. Tidak semua orang pantas disebut sebagai ulama. Ada kreteria yang harus dipenuhi. Bahkan, seorang yang sudah berkali-kali menunaikan ibadah haji pun tidak otomatis disebut ulama.

Lalu seperti apa ulama dalam pandangan Islam? Siapa saja yang bisa disebut ulama? Apakah Pimpinan FPI Rizieq Shihab pantas disebut ulama?

Suara.com berbincang dengan Haidar Bagir di kantornya di Kawasan Jagakarsa pekan lalu. Berikut wawancara lengkapnya:

Ulama dipandang sebagai sosok yang spesial dalam tradisi Islam. Belakangan muncul fanatisme terhadap ulama sehingga ada anggapan ulama harus dibela. Bagaimana pandangan Anda?

Di dalam Islam, posisi ulama sangat tinggi. Mereka itu pewarisnya Nabi Muhammad. Setelah masa Nabi Muhammad SAW berakhir, gantinya ulama. Di dalam Al Quran, Allah meningkatkan derajat ulama bertingkat-tingkat daripada orang biasa.

 Jadi posisi ulama sangat tinggi, jadi memang sudah seharusnya muslim menempatkan ulama pada posisi yang tinggi.

Apa itu ulama? Bagaimana syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi ulama?

Dalam bahasa Arab, ulama adalah Alim (tunggal), bahasa jamaknya adalah ulama. Ulama yaitu orang yang mempunyai banyak ilmu yang luas. Ilmu itu tidak dibatasi dengan hanya ilmu agama.

Dahulu misalnya, Nabi Sulaiman bisa bicara dengan hewan, itu adalah ilmu. Bahkan, ada satu tokoh muslim bernama Qarun yang menguasai ilmu bisnis dan kaya raya sekali, meskipun durhaka. Tapi kemampuan Qarun mengumpulkan harta disebut ilmu.

Kata-kata ulama itu mencakup orang-orang yang mempunyai ilmu di berbagai bidang, tidak hanya ilmu agama.

Sebetulnya dalam tradisi pemikiran Islam, ilmu tidak dibagi menjadi ilmu umum dan agama. Dalam klasifikasi yang dipaparkan Imam Al Ghazali dalam bukunya ‘Ihya Ulumuddin’ atau menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama.

Imam Al Ghazali membagi dua ilmu, yaitu ilmu fardhu ain dan ilmu fardhu kifayah.

Ilmu fardhu ain adalah ilmu yang semua orang harus belajar. Misalnya, cara salat, cara puasa dan sunah. Sementara ilmu fardhu kifayah tidak terbatas pada itu saja. Jika kita renungkan, orang yang beriman tidak akan lepas dari ilmu pengetahuan. Bagaimana mungkin orang percaya sesuatu jika tidak mempunyai ilmu tentang apa yang dia percayai.

Sains modern juga termasuk ilmu dalam Islam. Seperti dikatakan dalam Al Quran, orang yang merenungkan penciptaan alam semesta disebut Ulul Albab. Ciptaan Allah dipelajari dalam sains, misal kimia, biologi, geologi dan sebagainya.

Sementara itu ilmu fardhu kifayah adalah llmu yang hanya dipelajari oleh kelompok tertentu, semisal cara memandikan jenazah. Lainnya, ilmu kedokteran yang cukup dimiliki seseorang asal sudah mencukupi jumlahnya. Dua ilmu tersebut mencakup ilmu agama dan ilmu umum.

Bahkan ilmuan Albert Einstein mengatakan 'Tuhan tidak bermain dadu dalam pembentukan alam semesta' karena ada ilmu fisika.

Apakah Albert Einstein juga bisa disebut sebagai ulama?

Albert Einstein ini bisa dikategorikan sebagai ulama dan dia percaya kepada Tuhan. Tuhannya seperti disebut oleh filsuf terdahulu, Spinoza, yakni Tuhan yang impersonal--Tuhan yang tak bisa dipikirkan seperti manusia (punya tangan, kaki, tubuh, mata, dll; Redaksi).

Islam memang menempatkan ulama di posisi paling tinggi, tapi harus betul mendefenisikannya. Jika ingin tahu tahu fisika, belajar dari ulama fisika, bukan dari ulama fikih. Sementara Al Quran pun harus ditafsirkan dari berbagai macam ilmu, sehingga untuk menafsirkan isi Al Quran tentang fisika, harus dilakukan dengan ulama yang tahu bahasa Arab dan ahli fisika.

Kedua, syarat ulama bukan hanya cerdas dan memiliki wawasan luas, tapi juga memiliki hati bersih, atau dalam bahasa keilmuan, memiliki objektivitas.

Seseorang yang mempunyai hati kotor dan dipenuhi hawa nafsu, pasti susah objektif. Seluas apapun wawasannya, pasti akan keliru, sehingga hal ini disebut sebagai ulama yang adil. Seseorang yang lulusan sekolah ulama, tidak bisa otomatis menjadi ulama. Selain itu seseorang yang banyak bacaannya tidak otomatis disebut ulama.

Ulama adalah seseorang yang ilmunya luas dan mendalam, serta hatinya bersih.

Apakah seorang berpredikat “haji” sudah otomatis disebut ulama?

Tidak ada hubungannya antara haji dan predikat ulama. Sekarang ini ada invasi sebutan ulama.

Banyak orang yang tiba-tiba menyebut dirinya ulama, artis-artis berjenggot tiba-tiba disebut ulama, bagaimana ini? Kalaupun ahlak mereka baik, ilmunya bagaimana? Sehubungan dengan ahlak ini sangat penting. Dalam sebuah hadis, Rasullah mengatakan “aku lebih takut kepada ulama jahat, ketimbang Dajal”. Cacian dan fitnah yang keluar dari mulut ulama lebih bahaya.

Jangan mudah menilai orang sebagai ulama hanya karena dari pakaian dan kepintarannya.

Sepertinya ulama ini harus sempurna seperti sufi…

Menurut saya harus mengarah ke sufi yang tidak ada kepentingan duniawi, tapi makna sufi juga masih kontroversi. Ciri sufi adalah akhlaknya baik, dan penuh cinta kasih.

Mengapa fanatisme masyarakat terhadap orang-orang yang diklaim sebagai ulama bisa terjadi?

Banyak yang memahami dengan salah pengertian ulama. Rasulullah membagi ulama menjadi beberapa jenis. Ulama yang baik dan ulama yang jahat. Untuk menentukannya, lihat saja ahlaknya.

Tapi agak sulit melihat ciri ulama dari ahlaknya bagi masyarakat awam. Bagaimana cara mudah masyarakat awam menilai sosok yang pantas disebut ulama?

Biasanya ulama lain memberikan pengakuan seseorang itu sebagai ulama. Selain itu gelar keilmuan juga bisa dijadikan patokan. Jika menulis buku, bukunya diterima oleh masyarakat luas dan diakui oleh ilmuan lain.

Ulama yang jahat biasanya suka jelek-jelekin orang, dan merasa benar sendiri. Kita pasti dengan cepat mengatakan itu bukan ulama. Ulama yang suka yang jelek-jelekin orang dan merasa benar sendiri, hatinya kotor dan ilmunya sempit. Kalau seseorang ilmunya sempit akan merasa paling benar sendiri dan tidak menerima banyak perbedaan.

Di lihat dari konteks Indonesia, apa tugas ulama kekinian di Indonesia?

Kita butuh ulama di bidang apapun untuk membuat kekacauan menjadi baik. Sekarang ini banyak orang yang tidak berilmu bicara, dan percaya orang. Jika mereka banyak bicara, tapi tidak dipercaya itu tidak apa-apa. Kacaunya, kalau banyak yang percaa dengan itu semua.

Ulama penting dalam hal apapun sejak Nabi Adam sampai kiamat.

Terlebih banyak ulama yang gemar mengkafir-kafirkan…

Ulama yang sepert itu juga kacau. Tapi ulama seperti itu ada di banyak mazhab dalam Islam. Ulama seperti itu mencari duit dengan ilmunya dan bertujuan memecah belah umat. Makanya Nabi Muhammad lebih takut kehadiran mereka daripada Dajal.

Bagaimana cara masyarakat menolak ulama seperti itu?

Orang yang lebih berilmu dan berahlak lain harus menunjukan penolakan itu. Tidak boleh juga, orang awam dibiarkan sendiri mencaci-maki ulama yang dianggap tidak benar. Jika itu dibiarkan, akan terjadi saling caci-maki masing-masing kelompok. Yang boleh perdebatan ilmiah dengan pembuktian secara berpendidikan.

Ulama yang moderat dan toleran harus menunjukan pemikirannya. Tentu tidak terang-terangan menyebut nama ulama yang dianggap tidak baik itu. Kecuali dalam diskusi ilmiah, bisa bicara “saya tidak setuju dengan pemikiran ulama itu”.

Anda masuk ke daftar 500 tokoh muslim paling berpengaruh versi ‘The World's 500 Most Influential Muslim’. Dalam berbagai kesempatan, bahkan di Twiter, Anda banyak bercerita tasawuf. Bisa Anda elaborasi soal tasawuf?

Tasawuf artinya bersih dan suci. Tasawuf juga bisa dikatakan sebagai proses mensucikan dan membersihkan. Membersihkan hati dari hawa nafsu. Setan mempengaruhi manusia lewat hati, sehingga nafsu setan itu harus dikeluarkan dari hati, sehingga hati kembali bersih dan fitrah menjadi kebaikan.

Fitrah kebaikan yang diberikan Allah sering tertutupi karena manusia mengumbar hawa nafsu.

Tasawuf ini satu cara memahami dan menjalankan agama. Beragama itu melibatkan fisik, tapi tidak boleh berhenti pada fisik. Karena yang diurusi agama itu adalah hati. Bahkan ketika kita salat, dampaknya harus sampai ke batin.

Cara beragama kita belum sempurna jika langkah-langkah dan tindakan kita tidak memberikan dampak pada batin. Sebab ujungnya beragama itu berurusan dengan batin dan bertuhan juga urusan batin.

Pernah ada yang bertanya, apakah ada yang sesat dalam menjalankan tasawuf? Saya jawab, ada.

Seperti apa yang sesat itu?

Misal mempromosikan kemiskinan. Selain itu memuji kegiatan peminta-minta atau pengemis. Selain itu memuja wali di kuburan, sampai dia lupa bahwa Tuhan itu dekat. 

Anda menulis buku 'Islam Tuhan, Islam Manusia'. Bisa Anda ulas sedikit, apa yang Anda sampaikan?

Saya ingin menujukan kita semua sepakat agama datang dari Tuhan. Dari sisi Islam, ketika Islam sampai ke manusia, maka akan menjadi Islamnya manusia. Dalam arti islam yang ditafsirkan manusia yang mendengar lewat dari nabi. Tafsir itu bisa benar dan salah, kalau pun benar sangat relatif.

Sehingga jangan menyalah-nyalahkan orang lain. Kita perlu memahami pemahaman orang lain.

Setidaknya ada dua hal yang ingin saya sampaikan sehubungan dengan ungkapan yang menjadi judul buku ini. Yang pertama adalah, bahwa meski bagi orang-orang  beriman Islam dipercayai sebagai berasal dari Tuhan tapi sesungguhnya, begitu sampai pada manusia, Islam Tuhan itu telah menjadi Islam manusia. Manusia bukan hanya berbeda dan tak bisa diperbandingkan dengan Tuhan, melainkan juga ia tak mungkin pernah bisa mencapai Tuhan dalam semua hal, termasuk dalam hal kemampuannya mencerap ilmu Tuhan, sepandai apa pun manusia itu dalam ilmu agama.

Tak akan ada seorang manusia pun, kecuali mungkin nabi yang diakui ma'shūm (infallible), yang dapat menangkap maunya Tuhan dengan sebaik-baiknya.

Bagi manusia yang lain, akan selalu ada gap antara apa yang dimaui Tuhan dan apa yang dia tangkap dari agama sebagaimana ia turun dari dan dimaui oleh Tuhan. Karena, begitu sampai pada manusia, kebenaran agama itu telah menjadi tafsir. Dan tak ada tafsir kecuali bahwa dia memiliki ketidaksempurnaan, jika dibandingkan dengan agama yang asli dari Tuhan.

Ketidaksempurnaan ini bisa mengambil dua bentuk.Yang pertama, bahwa tafsir manusia bisa dipastikan mengandung potensi kesalahan.

Bahkan, bisa dikatakan bahwa tak ada tafsir manusia yang bisa sepenuhnya terbebas dari kesalahan.Konsekuensi kedua, bahwa kebenaran yang ditangkap oleh manusia dari Islam Tuhan itu, meski bisa jadi benar, bersifat parsial. Manusia tak pernah mampu untuk menangkap kebenaran ketuhanan itu secara utuh.

Setiap manusia punya prisma berpikir yang menyaring (membatasi) apa yang terpapar kepadanya. Dalam hal ini, kebenaran ketuhanan atau keagamaan.Kedua hal ini mengimplikasikan bahwa tak seorang manusia pun berhak untuk memutlakkan pandangan atau tafsirnya. Dengan kata lain, memonopoli kebenaran, sambil menyatakan bahwa tafsir orang lain salah.

Dalam hal yang pertama, yakni dalam kemungkinan adanya kesalahan dalam tafsir seseorang, maka sikap rendah hati dan keterbukaan dalam menerima kemungkinan kesalahan dalam pendapat kita, dan kebenaran dari orang lain, menjadi niscaya.

Betapa pun kita yakin pada kebenaran tafsir kita sendiri, ada kemungkinan tafsir kita salah dan justru ada kemungkinan tafsir orang lain benar. Dalam hal yang kedua, dituntut keterbukaan dan kemauan untuk saling belajar di antara semua orang.

Namun, kali ini, agar kita bersedia mengakomodasi tafsir orang lain yang sama-sama memiliki kemungkinan kebenaran, betapa pun juga sama-sama parsial. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa pemahaman kita tentang Islam justru akan menjadi lebih utuh.

Hal ini mengingat bahwa pemahaman orang lain, yang sama parsialnya, juga bisa sama benarnya kecuali bahwa pandangan orang itu memiliki sudut pandang yang lain terhadap objek yang sama. Nah, jika kita menggabungkan berbagai kebenaran, baik yang ada pada diri kita maupun pada orang-orang lain itu, maka jumlah-totalnya adalah bahwa kita memiliki kebenaran lebih besar.

Dengan kata lain, ada peluang bahwa kebenaran yang kita ketahui menjadi lebih dekat kepada Islam yang dimaui oleh Tuhan.

Sangat relevan dalam kaitan ini untuk mengutip sebuah hadis Nabi: "Kebijaksanaan adalah barang hilang milik orang-orang beriman, maka pungutlah ia di mana pun kamu temukan."

Kesadaran tentang relatifnya Islam yang kita pahami ini menjadi sangat penting jika kita lihat situasi yang berkembang di kalangan umat beragama belakangan ini. Tampak adanya kecenderungan yang makin lama makin mengkhawatirkan pada sekelompok umat untuk hanya bisa melihat adanya kebenaran (monolitik) pada diri atau kelompoknya saja, lalu dengan tidak semena-mena menganggap bahwa pandangan orang atau kelompok lain sebagai salah atau sesat.

Kesadaran tentang adanya Islam manusia yang tidak sama dengan Islam Tuhan ini diharapkan, di satu sisi, memunculkan toleransi dan keterbukaan terhadap kemungkinan kebenaran pada orang atau kelompok lain dan, di sisi lain, melahirkan semangat saling belajar demi menjadikan kebenaran Islam kita lebih dekat dengan Islam Tuhan.

Makna kedua ungkapan "Islam Tuhan, Islam Manusia" ini adalah bahwa agama diturunkan Tuhan bagi keperluan manusia, bukan keperluan Tuhan.Mudah dipahami bahwa Tuhan tak butuh agama. Persisnya, Nabi diutus untuk  membawa Islam yang dapat menjadi sumber rahmat (belas-kasih) bagi segenap alam semesta. Jadi, kalaupun sebagai hamba-hamba Tuhan kita mau mendapatkan ridha (menyenangkan) Tuhan, maka hal itu hanya bisa kita lakukan jika kita berbuat mengasihi makhluk-Nya dan berbuat baik sebanyak-banyaknya kepada mereka.

Karena, bukan saja agama adalah rahmat, Tuhan tak pernah tak penuh belas-kasih kepada makhluk-Nya. Siapa pun dia, beriman atau tidak, Muslim atau bukan, baik atau jahat, dan seterusnya. Tuhan bisa marah dan menghukum manusia, tapi—seperti difirmankan-Nya sendiri—"belas-kasih-Ku meliputi segala sesuatu."Juga, bahwa "belas-kasih-Ku menaklukkan marah-Ku."Tak ada sesuatu pun yang, pada puncaknya, bukan manifestasi belas-kasih-Nya, meskipun itu hukuman dan marah-Nya.Maka, tak boleh ada tindakan manusia sebagai orang beragama, sebagai makhluk Tuhan, kecuali bahwa pada puncaknya itu adalah untuk kebaikan dan kebahagiaan mereka. Dengan kata lain, tak boleh ada kebencian dalam tindakan keberagamaan kita.

Maka, terasa amat ganjil jika ada sekelompok pengikut agama yang ingin menyenangkan Tuhan dan "membela"-Nya dengan mengumbar kebencian dan dituntun motivasi untuk menyusahkan orang semata.

Sedemikian, seolah Tuhan akan mendapatkan kesenangan dengan korban kebahagiaan makhluk-Nya. Jadi, dalam makna kedua ini, Islam Tuhan sama dengan Islam manusia. Islam untuk belas-kasih, demi kebahagiaan manusia—semuanya.

Kiranya, hanya dengan memahami gagasan tentang adanya Islam Tuhan dan Islam manusia—dalam semua aspeknya—inilah para penganut agama benar-benar bisa menjadi orang-orang yang berpikiran terbuka, penuh toleransi, dan menyumbang secara produktif bagi peradaban manusia. Dan, pada saat yang sama, agama benar-benar bisa menjadi sumber cinta dan daya penyebar belas-kasih bagi seluruh makhluk Tuhan, tanpa kecuali.

Isi buku, yang telah saya uraikan sebelum ini, adalah manifestasi dari kenyataan adanya Islam Tuhan dan Islam manusia ini. Bahwa Islam manusia, betapapun, adalah pemahaman Islam yang bernilai relatif dan parsial, dan pada saat yang sama ia harus didialogkan dengan problem-problem riil kemanusiaan dengan tujuan menjadi rahmat (belas kasih) untuk seluruh alam semesta. Dan itu semua hanya mungkin jika Islam dipahami sebagai agama cinta, sebagaimana diuraikan dalam Bab V (bab terakhir) yang membahas mengenai soal ini.

Biografi singkat Haidar Bagir

Haidar Bagir adalah Direktur Utama Kelompok Mizan. Bersama dua temannya, dia mendirikan Penerbit Mizan pada 1983, saat dia masih menjadi mahasiswa Jurusan Teknik Industri ITB. Haidar memperoleh gelar master dari The Centre for Middle-Eastern Studies, Harvard University (1992), dengan beasiswa Fulbright.

Sekembalinya dari Amerika Serikat, dia menjadi pemimpin perusahaan Harian Republika selama beberapa tahun (1992-1998). Kemudian dia melanjutkan lagi pendidikannya dan meraih gelar doktor Filsafat Islam dari Jurusan Filsafat Universitas Indonesia (2005) dengan disertasinya tentang Perbandingan Pemikiran Mulla Sadra dan Heidegger. Dalam hubungan dengan studi doktoralnya tersebut, dia mendapatkan lagi beasiswa Fulbright untuk melakukan risetnya di Department of Philosophy and History of Science di Indiana University Bloomington, AS, selama setahun. Untuk ketiga kalinya, dia mendapatkan beasiswa Fulbright sebagai Visiting Specialist di University of Sciences, Philadelphia (2006), dan ditunjuk sebagai Misher Professor for Humanities oleh universitas tersebut.

Selain memimpin Kelompok Mizan, dia juga menjadi Ketua Yayasan Manusia Indonesia (Yasmin) yang bergerak di bidang pemberdayaan pendidikan kaum dhuafa, serta Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang bergerak di bidang pendidikan yang kini telah memiliki beberapa cabang sekolah unggulan. Beberapa penghargaan keilmuan internasional juga pernah diraihnya, termasuk Science and Religion Course Award dari The Centre for Theology and Natural Sciences (CTNS), Barkeley, California, USA (2002/2003). Pada 2008, dia ditunjuk sebagai satu dari sepuluh Best CEO’s versi Malajah SWA, dan menjadi Tokoh Perbukuan Islam Indonesia 2008 pilihan IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) Jakarta.

6 tahun berturut-turut (2010-2016) Haidar Bagir masuk ke dalam daftar 500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia yang disusun oleh ‘The Royal Islamic Strategic Studies Center’ yang berpusat di Amman, Jordania.

Haidar Bagir juga menjadi kordinator regional International Society for Islamic Philosophy untuk wilayah Indonesia, Australia dan Selandia Baru. Selain itu, juga menjadi salah satu anggota Global Compassionate Council yang diketuai oleh Karen Armstrong. HAidar Bagir juga menjadi salah satu penasihat cabang Indonesia Globalethics.net, sebuah jaringan global beranggotakan individu dan lembaga yang tertarik di bidang etika terapan.

Bersama beberapa tokoh lain, di antaranya Prof. Komaruddin Hidayat, Prof. Mahfud MD, dan Abdillah Toha, Haidar Bagir mendeklarasikan Gerakan Islam Cinta, yaitu sebuah upaya untuk menekankan aspek cinta dan spiritualitas Islam kepada masyarakat Muslim.

Di antara buku-buku yang ditulisnya adalah Tentang Manajemen dan Manusia (1996), Buku Saku Filsafat (2005), Buku Saku Tasawuf (2005), dan Buat Apa Shalat?! (2008), Surga Di Dunia Surga Di Akhirat (2011), Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan (2012), Semesta Cinta Pengantar Kepada Pemikiran Ibn Arabi (2015), Belajar Hdup Dari Rumi (2015), dan Mereguk Cinta Rumi (2016).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI