Suara.com - Ide radikal berbungkus agama masih menjadi ancaman kuat di Indonesia. Doktrin radikal itu belakangan menyasar ke perempuan.
Penangkapan Dian Yulia Novi (DYN) di Jalan Bintara Jaya VIII Kota Bekasi akhir tahun 2016 menjadi titik awal tren perekrutan perempuan teroris di Indonesia. Dian jadi perempuan pertama yang direkrut menjadi ‘pengantin’ atau pelaku ledakan bom bunuh diri yang diungkap media. Apakah ada perempuan selain Dian?
Ahli sejarah Islam yang juga Dewan Penasehat di Pengurus Besar Nahdalatul Ulama (NU), Kyai Machasin memprediksi ide radikalisme akan terus menyusup ke kaum hawa. Ini jadi bagian pola rekrutmen teroris di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Profesor di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu mengatakan perempuan menjadi ‘media’ ampun untuk melahirkan keturunan generasi radikal. Sasarannya ke generasi baru lewat pendidikan sosok ibu.
“Radikalisme bisa datang dari dalam rumah,” kata Machasin saat berbincang dengan suara.com di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, Jawa Barat belum lama ini.
Machasin juga banyak cerita gerakan radikal makin marak masuk ke kampus.
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan mantan Rais Am PBNU itu:
Ide radikalisme masih mudah masuk ke masyarakat saat ini. Meski media dan negara sudah banyak berusaha menangkal paham radikalisme. Mengapa ini terus terjadi?
Semakin mendalam keislaman seseorang, simbol keislamannya semakin bagus, tapi lupa dengan tradisi sendiri.
Tahun 1970-an ini terjadi di Yogyakata. Seseorang dari luar Jawa mencari kost, mereka ditanya, “kamu dari mana?” Kalau mengaku datang dari Sumatera atau dari Batak, tuan rumah mengatakan kamar sudah penuh. Sehingga tidak diterima karena melihat kesukuan.
Saat ini kejadian seperti itu melihat agama. Kalau mengaku Islam, ada ruang kost kosong. Kalau bukan Islam, maka akan dikatakan kamar sudah penuh.
Jadi ini bagus bagi penguatan komunalisme Islam, tapi tidak bagus untuk kebersamaan Indonesia yang majemuk. Ini menarik.
Sehubungan dengan itu, masyarakat kita kini memang mudah menerima ide-ide yang dibungkus dengan Islam, meski pun ide itu merusak. Semisal ide ISIS, Khilafah, dan solidaritas keislaman. Padahal isi ide itu semua bukan Islam yang rahmatan lil alamin, tapi Islam yang eksklusif dan menolak orang lain.
Ini terjadi di barat dan timur Jawa dengan banyaknya terbentuk kampung Islam. Bahkan sampai saat ini ada kampung Nahdalatul Ulama. Ini aneh, karena dulu tidak ada yang seperti ini.
Apakah ini terjadi di negara lain?
Ini tantangan besar di mana pun. Apakah bisa kita melawan tantangan membentuk Islam yang utuh? Kita melihat, dulu India dan Pakistan adalah satu negara, tapi pecah di tahun 1947 pecah. Pakistan berdiri hanya untuk orang Islam saja, mengeksklusifkan diri. Yang terjadi, orang India yang beragama Islam diusir ke Pakistan dan sebaliknya orang Hindu di Pakistan diusir ke India. Berapa korban yang meninggal karena itu? 1,5 juta. Ini dzolim lho.
Yang terjadi saat ini, Pakistan tidak begitu baik mencerminkan negara Islam. Sehingga ini menjadi pelajaran, banyak yang ingin isinya Islam. Tapi ternyata tidak mencerminkan Islam itu sendiri.
Menurut seorang ahli Ahlak dari Iran, manusia itu mempunyai 3 kekuatan: untuk berpikir, untuk nafsu, dan kekuatan untuk menjadi liar. Tiga kekuatan itu harus dijinakan dan diarahkan ke 4 jenis keutamanan. Pertama hikmat, kekuatan penalar itu dikembangkan menjadi kebijaksanaan.
Kedua, syahwat tidak untuk dibunuh dalam Islam, tapi disalurkan untuk keutamaan yang patut. Ketika, keliaran diarahkan menjadi keberanian. Keempat, adalah gabungan dari ketiga hal itu untuk menjadi keseimbangan .
Belakangan radikalisme menyasar ke perempuan. Desember 2016, ada perempuan terduga teroris di Bekasi yang diduga akan dijadikan ‘pengantin’ bom bunuh diri. Bagaimana Anda bisa melihat ancaman terorisme terhadap perempuan?
Yang perlu dicatat, radikalisme tidak datang tiba-tiba. Sikap ini terjadi sebagai reaksi terkait keadaan yang dialami seseorang. Misal rasa terancam, keterhalangan pengaluran aspirasi, ketimpagan dalam pembagian kemakmuran dan kesempatan, selain itu munculnya keterancaman rasa aman.
Radikalisme bisa datang dari dalam rumah. Misalnya seseorang baru membaca Al Quran 1 ayat sudah merasa itu harus diamalkan sesuai dengan ketentuan harfiah sendiri. Ini berbahaya jika tidak diarahkan. Banyak ayat yang keras yang dimengerti hanya sepihak.
Saya mempunyai teman seorang doktor yang memukul istrinya. Saya tanya. “kenapa memukul?” Dia menjawab, ini perintah Al Quran, padahal pemahamannya salah.
Apakah radikalisme lebih mudah menyasar ke perempuan?
Ini karena ada ruang kosong di publik yang memungkinkan seseorang tidak diawasi oleh siapapun. Peran ibu lebih penting, dibanding lelaki. karena korbannya, lebih berat ke perempuan. Maka ibu-ibu bisa mengingatkan itu di pengajian.
Jangan sampai ada ruang yang tidak mempunyai pengawasan.
Sekarang ini radikalisme masuknya dari situ juga. Misal dikampus, kalau hari Jumat lelaki pergi ke masjid, lalu perempuan nunggu kuliah. Lalu ada orang-orang yang menyebarkan paham-paham anti-NKRI, dan cenderung menyalahkan pemerintah.
Agama yang berkembang sekarang, terutama yang mengikuti Pilkada di Jakarta, kampanyenya menampilkan hitam putih, kafir dan tidak kafir. Sampai ancaman jika mendukung salah satu pasangan tidak disalati dan tidak didoakan. Ini berbeda sekali yang diamanahkan oleh Islam.
Perempuan dimanfaatkan jadi pelaku teror…
Perempuan, dari sisi pendidikan dan pengetahuan, dapat dikatakan kurang. Tapi semangat beragamanya tidak kurang. Cukup besar. Tapi ketika ada orang yang menyatakan ini atas nama Islam, mereka lebih mudah terpengaruh.
Misal di perguruan tinggi lebih cepat menerima dakwah radikal, justru perempuan. Mungkin lebih tertarik dengan bahasa yang dipakai, bahasa Arab dan kajian Al Quran. Dibanding diajak bicara berpikir mulai dari konsep.
Ini masalah pendidikan dan pengetahuan yang secara tradisi orang Indonesia lebih memberikan banyak pendidikan kepada lelaki. Perempuan lebih diarahkan berpikir ke hal domestik, bukan makro.
Apakah keuntungan memberikan paham radikal ke perempuan?
Dia menjadi penyebar ide, semisal khilafah dan anti NKRI. Misal di UIN Yogyakarta pernah mucul bendera khilafah, dan yang bawa perempuan.
Tren perempuan disasar menjadi ‘pengantin’ terorisme sejak kapan?
Perempuan keluar rumah dan muncul di publik memang fenomena baru di Indonesia. Tadinya lebih banyak di rumah. Keterbukaan ini membawa hal positif, tapi juga negatif.
Mereka membaca bacaan yang benar, Al Quran. Tapi pemahamannya yang sempit. Sekarang ditambah lagi internet, yang bisa memilih informasi apapun. Sehingga pemandangan agama yang sempit bisa dipersubur dengan internet.
Yang menjadi sasaran paham radikal bukan orang pesantren, tapi orang yang baru belajar Islam…
Iya betul. Tren sekerang begitu. Mereka tidak mengerti harus ke mana.
Di mana sasaran radikalisme saat ini?
Yang sudah ada penelitiannya, di sekolah umum dan perguruan tinggi jurusan ilmu eksakta (ilmu pasti), seperti kedokteran, teknik dan science. Ini penelitian dari UIN Jakarta dan Litbang Kemenag.
Apa yang bisa dilakukan perempuan dalam memerangi radikalisme?
Perempuan mempunyai pandangan yang tidak dimiliki lelaki. Mereka lembut, semangat keibuan yang menyayangi, dan sebagai ibu yang melindungi anak-anaknya. Jadi ibu bisa mengatakan ke anaknya, oke kamu boleh radikal tapi kamu mempunyai saudara yang tidak radikal.
Artinya, seseorang bisa berbuat apa saja dan mengatakan apa saja tapi tidak berhenti untuk mencari mana yang terbaik.
Bahkan orang seperti Gus Dur waktu mudanya radikal. Tapi dalam perjalanan hidupnya, ketika dia pergi ke luar negeri dan membaca buku Etika Nikomakea karya Aristoteles. Saat itu Gus Dur menangis, sampai seisi perpustakaan mendengar. Karena dia berpikiran yang terbaik ternyata bukan dari pemikiran Islam tapi ada juga yang baik. Sehingga berubah.
Bagaimana masukan Anda terhadap negara dalam membendung radikalisme?
Negara tidak abu-abu, radikalisme harus ditangkal, tapi orang-orangnya belum tentu. Kebijakan negara sudah benar, tapi pelaksanaan di lapangan tidak mudah.
Apa yang jadi tantangan dalam pelaksaan di lapangan?
Ketika saya menjadi Dirjen Bimas Islam harus mengontrol 70 ribu penyuluh agama di kecamatan. Padahal insentif terhadap non-PNS hanya Rp300 ribu perbulan. Bagaimana saya bisa kontrol? Lalu kita kerjasama dengan ormas.
Penyuluh ini tidak semua setuju radikalisme harus ditentang. Ada juga yang setuju dengan radikalisme.
Tahun 2011 ada penelitian kementerian agama yang menunjukan bahwa 20 persen dari guru agama mengajarkan intoleransi. Sekarang datanya meninggakat. Itu bahaya, karena negara ini ruang kosong yang belum diatur oleh negara.
Bahkan ada juga pejabat daerah yang memberikan ‘angin’ terhadap intoleransi. Misal orang Ahmadiyah ketika menikah tidak boleh dicatat dalam catatan sipil. Padahal perintah saya jelas, harus dicatat. Negara tidak boleh kalah.
Biografi singkat Prof Machasin
Prof. Dr. H. M. Machasin, MA lahir di Purworejo 13 Oktober 1956. Dia adalah mantan Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama. Saat ini Machasin Mustasyar (Dewan Penasehat) di Pengurus Besar Nahdalatul Ulama (NU). Selain itu, dia juga Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sebagai tokoh Islam di Indonesia, Machasin mempunyai pemikiran moderat dan toleran. Dia aktif mengembangkan pentingnya dialog antar agama. Machasin membela kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, bahkan Gafatar. Dia menilai, setiap orang bebas menentukan pemikiran selama tidak berbuat radikal. Bahkan selama menjadi Dirjen Bimas Islam, Machasin memerintahkan memberikan surat nikah kepada kelompok Ahmadiyah.