Kyai Machasin: Radikalisme Bisa Datang dari Rumah

Senin, 19 Juni 2017 | 07:00 WIB
Kyai Machasin: Radikalisme Bisa Datang dari Rumah
Dewan Penasehat di Pengurus Besar Nahdalatul Ulama (NU), Profesor Machasin. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Apakah radikalisme lebih mudah menyasar ke perempuan?

Ini karena ada ruang kosong di publik yang memungkinkan seseorang tidak diawasi oleh siapapun. Peran ibu lebih penting, dibanding lelaki. karena korbannya, lebih berat ke perempuan. Maka ibu-ibu bisa mengingatkan itu di pengajian.

Jangan sampai ada ruang yang tidak mempunyai pengawasan.

Sekarang ini radikalisme masuknya dari situ juga. Misal dikampus, kalau hari Jumat lelaki pergi ke masjid, lalu perempuan nunggu kuliah. Lalu ada orang-orang yang menyebarkan paham-paham anti-NKRI, dan cenderung menyalahkan pemerintah.

Agama yang berkembang sekarang, terutama yang mengikuti Pilkada di Jakarta, kampanyenya menampilkan hitam putih, kafir dan tidak kafir. Sampai ancaman jika mendukung salah satu pasangan tidak disalati dan tidak didoakan. Ini berbeda sekali yang diamanahkan oleh Islam.  

Perempuan dimanfaatkan jadi pelaku teror

Perempuan, dari sisi pendidikan dan pengetahuan, dapat dikatakan kurang. Tapi semangat beragamanya tidak kurang. Cukup besar. Tapi ketika ada orang yang menyatakan ini atas nama Islam, mereka lebih mudah terpengaruh.

Misal di perguruan tinggi lebih cepat menerima dakwah radikal, justru perempuan. Mungkin lebih tertarik dengan bahasa yang dipakai, bahasa Arab dan kajian Al Quran. Dibanding diajak bicara berpikir mulai dari konsep.

Ini masalah pendidikan dan pengetahuan yang secara tradisi orang Indonesia lebih memberikan banyak pendidikan kepada lelaki. Perempuan lebih diarahkan berpikir ke hal domestik, bukan makro.

Apakah keuntungan memberikan paham radikal ke perempuan?

Dia menjadi penyebar ide, semisal khilafah dan anti NKRI. Misal di UIN Yogyakarta pernah mucul bendera khilafah, dan yang bawa perempuan.

Tren perempuan disasar menjadi ‘pengantin’ terorisme sejak kapan?

Perempuan keluar rumah dan muncul di publik memang fenomena baru di Indonesia. Tadinya lebih banyak di rumah. Keterbukaan ini membawa hal positif, tapi juga negatif.

Mereka membaca bacaan yang benar, Al Quran. Tapi pemahamannya yang sempit. Sekarang ditambah lagi internet, yang bisa memilih informasi apapun. Sehingga pemandangan agama yang sempit bisa dipersubur dengan internet.

Yang menjadi sasaran paham radikal bukan orang pesantren, tapi orang yang baru belajar Islam…

Iya betul. Tren sekerang begitu. Mereka tidak mengerti harus ke mana.

Di mana sasaran radikalisme saat ini?

Yang sudah ada penelitiannya, di sekolah umum dan perguruan tinggi jurusan ilmu eksakta (ilmu pasti), seperti kedokteran, teknik dan science. Ini penelitian dari UIN Jakarta dan Litbang Kemenag.

Apa yang bisa dilakukan perempuan dalam memerangi radikalisme?

Perempuan mempunyai pandangan yang tidak dimiliki lelaki. Mereka lembut, semangat keibuan yang menyayangi, dan sebagai ibu yang melindungi anak-anaknya. Jadi ibu bisa mengatakan ke anaknya, oke kamu boleh radikal tapi kamu mempunyai saudara yang tidak radikal.

Artinya, seseorang bisa berbuat apa saja dan mengatakan apa saja tapi tidak berhenti untuk mencari mana yang terbaik.

Bahkan orang seperti Gus Dur waktu mudanya radikal. Tapi dalam perjalanan hidupnya, ketika dia pergi ke luar negeri dan membaca buku Etika Nikomakea karya Aristoteles. Saat itu Gus Dur menangis, sampai seisi perpustakaan mendengar. Karena dia berpikiran yang terbaik ternyata bukan dari pemikiran Islam tapi ada juga yang baik. Sehingga berubah.

Bagaimana masukan Anda terhadap negara dalam membendung radikalisme?

Negara tidak abu-abu, radikalisme harus ditangkal, tapi orang-orangnya belum tentu. Kebijakan negara sudah benar, tapi pelaksanaan di lapangan tidak mudah.

Apa yang jadi tantangan dalam pelaksaan di lapangan?

Ketika saya menjadi Dirjen Bimas Islam harus mengontrol 70 ribu penyuluh agama di kecamatan. Padahal insentif terhadap non-PNS hanya Rp300 ribu perbulan. Bagaimana saya bisa kontrol? Lalu kita kerjasama dengan ormas.

Penyuluh ini tidak semua setuju radikalisme harus ditentang. Ada juga yang setuju dengan radikalisme.

Tahun 2011 ada penelitian kementerian agama yang menunjukan bahwa 20 persen dari guru agama mengajarkan intoleransi. Sekarang datanya meninggakat. Itu bahaya, karena negara ini ruang kosong yang belum diatur oleh negara.

Bahkan ada juga pejabat daerah yang memberikan ‘angin’ terhadap intoleransi. Misal orang Ahmadiyah ketika menikah tidak boleh dicatat dalam catatan sipil. Padahal perintah saya jelas, harus dicatat. Negara tidak boleh kalah.

Biografi singkat Prof Machasin

Prof. Dr. H. M. Machasin, MA lahir di Purworejo 13 Oktober 1956. Dia adalah mantan Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama. Saat ini Machasin Mustasyar (Dewan Penasehat) di Pengurus Besar Nahdalatul Ulama (NU). Selain itu, dia juga Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sebagai tokoh Islam di Indonesia, Machasin  mempunyai pemikiran moderat dan toleran. Dia aktif mengembangkan pentingnya dialog antar agama. Machasin membela kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, bahkan Gafatar. Dia menilai, setiap orang bebas menentukan pemikiran selama tidak berbuat radikal. Bahkan selama menjadi Dirjen Bimas Islam, Machasin memerintahkan memberikan surat nikah kepada kelompok Ahmadiyah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI