Suara.com - Di tangan Oman Fathurahman, wajah Islam di Indonesia berwarna dan toleran bukan hanya isapan jempol. Dia membuktikan lewat dokumen-dokumen para ulama di awal masuknya Islam di Indonesia di abad 13.
Selama 25 tahun lebih Oman berburu manuskrip Islam di Indonesia. Manuskrip itu berbentuk dokumen tua tulisan para ulama atau seseorang yang menceritkan kehidupan di masa itu. Bukan dokumen sembarangan yang ditelisik Oman.
Dengan keahliannya sebagai filologi, Oman dinobatkan sebagai ilmuan manuskrip Islam Nusantara pertama di Indonesia, bahkan professor filologi satu-satunya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam.
Apa pentingnya penelitian itu? Suara.com menemui Oman di kantornya di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah di Ciputat Tangerang Selatan pekan lalu. Sambil bercerita, Oman menunjukkan dokumen-dokumen tua di salah satu ruangan di sana. Di antara dokumen itu bertuliskan tulisan Arab.
Hampir sama seperti antropolog, Oman merekontruksi peristiwa Islam Nusantara di masa lalu hingga menjadi cerita. Perlu keahlian penguasaan bahasa kuno untuk bisa membacanya.
“Satu dokumen bisa jadi 1 sampai 2 tulisan untuk diterbitkan di jurnal ilmian internasional. Saya punya banyak dokumen yang belum diteliti, ratusan,” kata Oman sembari membuka ‘harta karun’ manuskripnya.
Di antara yang diceritakan Oman soal persekusi di awal Islam masuk Indonesia sampai manuskrip Islam yang bercerita tentang tsunami Aceh masa lalu.
Simak wawancara lengkapnya berikut ini:
Anda scientist manuskrip atau filologi Islam Nusantara pertama di Indonesia. Mengapa filologi menjadi hal yang menarik, tapi langka di Indonesia?
Penelitian manuskrip di mana pun manjadi minoritas, penelitian filologi di mana pun tidak pernah jadi mayoritas. Mungkin karena karakter ilmunya lebih rumit dan detil. Selain itu kontribusi ilmunya tidak bersifat langsung seperti ilmu ekonomi dan terapan. Filologi mempunyai kontribusi kepada peradaban dan sejarah.
Dalam konteks Indonesia, harus diakui perhatian terhadap kajian manuskrip ini tertinggal. Padahal Indonesia mewarisi manuskrip sejak abad ke-13 atau 14. Artinya sudah sudah ratusan tahun Indonesia mempunyai sumber primer yang oleh orang-orang Eropa dijadikan sumber keilmuan yang sangat penting.
Tapi karena kolonialisme, Indonesia baru ‘ngeh’ punya kesadaran melakukan kajian pada sumber lokal baru awal abad ke-20.
Dari segi bahasa, manuskrip Indonesia paling kaya di dunia. Kategori bahasa naskah nusantara setidaknya ada 20 bahasa yang dipakai untuk menulis, kalau di lokal lebih banyak dari itu mungkin ratusan, akrasanya pun banyak sekali. Mulai dari Aceh, Madura, Melayu, dan Minangkabau.
Terlebih bicara soal PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri), di sana baru tumbuh kesadaran soal pentingnya filologi di awal 90-an. Makanya saya disebut sebagai profesor pertama di lingkungan PTKIN, karena tidak ada lagi guru besar filologi di perguruan tinggi agama. Sebenarnya guru saya, Nabilah Lubis, profesor di bidang bahasa Arab pernah mengkaji manuskrip, tapi tidak banyak. Karena beliau sudah pensiun. Sayangnya saya hanya sendirian saat ini.
Mengapa pengungkapan wajah Islam Nusantara masa lalu penting dilakukan?
Kalau di tempatkan dalam konteks Islam Nusantara yang toleran. Selama ini wajah Islam toleran dan moderat hanya disebut berupa klaim dari beberapa pihak. Tapi Indonesia belum secara empirik dengan penelitian membuktikan bahwa Islam Indonesia moderat dan toleran.
Makanya, penelitian manuskrip Islam Nusantara itu penting untuk membuktikan secara empirik kita memang toleran dan mainstream Islam Nusatara itu moderat. Islam Nusantara adalah Islam yang mampu berdialog dengan keragaman, Islam yang mempu menghubungkan antara lokalitas dengan globalitas. Islam yang datang dari Arab berdialog dengan Jawa, Sunda, Lombok, dan berbagai etnik Indonesia.
Sehingga hasil dialog itu melahirkan karya-karya berupa tulisan yang mencerminkan itu semua. Manuskrip Islam di Indonesia sangat memperlihatkan keragaman dari segi bahasa.
Indonesia punya bahasa dan aksara lokal yang tidak dimiliki oleh negara lain. Misal Jepang hanya mempunyai 3 aksara, Hiragana, Katakana dan Kanji. Sementara Indonesia mempunyai ribuan bahasan dan aksara. Sehingga perlu dieksplorasi karakter Islam Nusantara itu.
Di media, ada informasi Anda membaca dan menyisir sekira 648 manuskrip koleksi Museum Aceh dan 277 manuskrip koleksi-koleksi Cirebon…
Sebenarnya sudah lebih dari itu, waktu saya meneliti di Tokyo, di University of Foreign Studies (TUFS). Awalnya saya meneliti tentang naskah-naskah yang mengandung Tarekat Syattariyah. Kebetulan saat itu naskah di Museum Aceh bisa diakses dan saya bisa membacanya. Selain itu dari Cirebon dan Mindanao.
Naskah-naskah yang sudah dibaca, ditandai mana saja yang perlu dieksplorasi. Salah satunya penelitian di Kyoto, tentang perempuan sufi Indonesia. Di banding kajian perempuan sufi di Timur Tengah, Indonesia jauh tertinggal. Belum ada yang menulis tentang perempuan sufi Indonesia.
Saya menemukan manuskrip yang menjelaskan ternyata ada perempuan penting di nusantara yang mempunyai silsilah tarekat Sattariyah. Salah satu yang saya eksplorasi Kanjeng Ratu Kadospaten, istri Hamengkubuwana I atau Pangeran Mangkubumi. Dia adalah nenek buyut Pangeran Diponogoro.
Tahun 1785-an membawa Pangeran Diponogoro keluar dari Keraton, saat itu Pangeran Diponogoro masih kecil berusia sekitar 10 tahun. Sampai menjadi seorang paling hebat di perang Jawa, dia itu dibesarkan oleh perempuan sufi. Spritualitas Pangeran Diponogoro ini belum tereksplorasi.
Jika semakin dalam manuskrip ini diteliti, maka akan semakin terlihat karakter Islam di Indonesia. Dalam manuskrip yang menggambarkan perempuan sufi Indonesia, ternyata perempuan yang tidak dibatasi. Bahkan di masa lalu perempuan Indonesia aktif ikut perang dan menggerakan pemberontakan.
Jadi tidak seperti gambaran perempuan yang berada di komunitas patriarki. Bahkan sampai sekarang gerak perempuan di Arab Saudi masih terbatas. Sebaliknya, muslim perempuan di Indonesia sudah sangat maju.
Apakah ada dokumen atau manuskrip yang menurut Anda spesial atau juga unik? Bisa ceritakan?
Sebenernya banyak dari manuskrip masa lalu itu bisa dihubungkan dengan situasi kekinian. Meneliti manuskrip juga harus menarik benang merah dengan kondisi kekinian.
Misalnya dalam konteks Islam toleransi dan moderat.
Jika dilihat dari berbagai hikayat-hikayat, semisal Amir Hamzah yang menceritakan bagaimana seorang figur Hamzah. Hikayat Amir Hamzah ketika diadopsi dalam literatur Jawa menjadi Serat Menak.
Saya saat ini sedang melakukan penelitian terhadap naskah Serat, Babat dan lainnya untuk membuktikan Islam yang direpresentasikan dalam hikayat itu menggambarkan kemampuan penulisnya mendialogkan keberagaman antara Islam yang datang dari Arab dengan kejawaan dan lainnya, sangat kosmopolit.
Bahkan tokoh yang digambarkan dalam hikayat tersebut sebagai tokoh yang berdialog dengan ragam tradisi, misalnya Persia, Syiah, atau juga Sunni. Tokoh ini menerima ke-Arab-an, tapi dikontekstualisasi menjadi kelokalan. Misal di Serat Centhini yang menggambarkan alkulturasi Islam dengan budaya Jawa.
Bagaimana proses alkulturasi Islam dengan budaya lokal saat itu? Apakah ada cerita soal penolakan dan konflik?
Dalam proses Islamisasi, nyaris tidak ada penolakan. Karena Islam datang tidak melalui ekspansi politik. Tapi lewat jalur perdagangan dan sufism atau tarekat. Jalur Sufism membuat ajaran Islam lebih cepat diterima. Sufism lebih menekankan ke spiritualitas dibanding hukum-hukum fikih.
Jadi yang ditekankan, bagaimana kita dekat dengan Tuhan. Ketimbang, bagaimana harus salat. Padahal mereka masih Bergama Hindu dan Budha. Itu lah yang dilakukan oleh para wali.
Siapa ulama masa lalu yang bisa dijadikan contoh sebagai pemuka agama Islam yang toleran?
Indonesia punya ulama sebagai contoh penerapan Islam toleransi, yaitu Syekh Abdul Rauf Singkil di abad 17. Dia menulis moderasi soal pertentangan antara pengikut Nuruddin ar-Raniri dan Hamzah Fansuri.
Nuruddin ar-Raniri memberikan fatwah kafir ke pengikut Hamzah Fansuri karena beda mazhab. Mungkin itu lah yang disebut persekusi pada abad ke-17. Ar-Raniri menuliskan Fathul Mubin 'alal Mulhidin, isinya pengikuti Hamzah Fansuri sesat dan boleh dibunuh. Pengkutnya sampai dikejar dan karyanya sampai dibakar. Setelah itu datang Syekh Abdul Rauf Singkil yang menjelaskan konsep-konsep yang lebih moderat.
Itu salah satu contoh kemampuan ulama nusantara Indonesia berdialog dengan Islam yang datang dari luar dan melakukan kontekstualisasi. Tapi dalam sejarah, ada juga pihak-pihak yang pemikirannya dianggap tidak moderat. Tapi umumnya ulama-ulama terdahulu pemikirannya sangat moderat.
Persekusi yang terjadi sekarang, sebenarnya masih jauh dari arti persekusi. Yang terjadi saat ini, memang itu harus kita kecam bersama. Tapi bagi saya itu belum masuk kategori persekusi yang ada di literature akademik.
Persekusi itu biasanya berawal dari perbedaan mazhab dan pemikiran yang sangat tajam dan korbannya diminta untuk dibunuh, dilenyapkan dan dihukum gantung. Itu terjadi di berbagai negara, salah satunya di India.
Saat itu persekusi tidak murni karena perbedaan mazhab, tapi tetap ada campur tangan politik. Hubungan saling mempengaruhi antara ulama, antara politik kekuasaan dan otoritas keagamaan, di setiap masa selalu ada.
Misalnya ketika Nuruddin ar-Raniri mengeluarkan fatwa untuk menghakimi pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani yang mempunyai pandangan tasawuf falsafi. Saat itu Ar-Raniri juga sebagai syaikhul Islam di Kesultanan Iskandar Thani.
Ketika Syekh Abdul Rauf Singkel datang tahun 1661, kembali dari Mekah setelah 19 tahun belajar di sana. Dia juga menjadi Qadi Malik al'Adil yang didukung oleh Sultanah perempuan karena mempunyai pemikiran yang moderat. Dengan dukungan politik itu, maka memungkinkan dia mengeksekusi pemikiran-permikirannya yang lebih praktis.
Bagaiamana ulama di masa itu bisa merangkul agama atau kepercayaan lokal?
Saat itu, para pendakwah atau para sufi dalam merespon kepecayaan lokal, mereka tidak menghancurkannya. Tapi mereka mengisi ritual kepercayaan mereka dengan substansi ajaran Islam. Sampai saat ini misalnya ziarah kubur atau juga yasinan masih ada.
Islam di nusantara itu bentuknya living tradition, alkulturasi Islam dengan budaya lokal. Keberagamaan dalam keberagamaan. Kita harus bangga dengan karakter Islam Indonesia saat ini. Jika tidak, lihat saja konflik di Timur Tengah tidak habis-habisnya.
Begitu juga terorisme di Marawi…
Saya ingin mengingatkan soal kasus di Marawi itu juga. Berdasarkan manuskrip yang kami teliti, pada abad ke-19 Marawi tidak ada bedanya dengan karakter Islam Nusantara di daerah Indonesia.
Misal dari segi fikihnya, tasawuf, tarekat, bahkan karakter komopolitnya juga kuat. Bahkan dalam manuskrip di Karbala, mereka mengutip pemikiran Syekh Abdul Rauf Singkel di Aceh.
Tapi setelah abad ke-19, ada kolonialisme dan di sana muslim minoritas. Saat itu menggrogoti akar-akar Islam Nusantara-nya. Setelah itu yang lebih kuat salafisme. Sehingga saya tidak telalu heran wilayah itu menjadi yang menjadi salah satu wilayah yang diproyeksikan menjadi basis pendidikan ISIS di Asia Tenggara. Karena akar Islam Nusantara di sana rapuh.
Saya ingin mengingatkan Indonesia, bukan tidak mungkin itu terjadi di sini kalau kita tidak menjaga karakter keberagaman Islam Nusantara.
Seberapa dekat karakter Islam Nusantara kuat di Marawi?
Di Mindano sangat dekat dengan karakter melayu. Bahkan manuskripnya menggunakan bahasa melayu. Jadi Filipina Selatan sangat dekat dengan Indonesia.
Saat 10 tahun Tsunami Aceh tahun 2014, Anda penah mengatakan tsunami Aceh sudah diramal dalam manuskrip kuno. Bisa Anda ceritakan?
Sebetulnya bukan diramal, tapi kita punya manuskrip yang menggambarkan bahwa gempa dan tsunami sudah berulang terjadi di nusantara. Ada tanda-tanda alamnya, mengapa kita tidak belajar.
Dalam konteks tsunami Aceh 2004, kita punya manuskrip Takwil Gempa di Aceh, Manangkabau dan Cirebon, namanya naskah Lindu. Naskah itu menjelaskan soal fenomena gempa dan tsunami. Saat itu saya melakukan penelitian dalam konteks, Indonesia tidak siap mengantisipasi gempa dan tsunami.
Mungkin jika sudah tahu kalau di tempat itu tidak aman, mustinya mau direlokasi. Tapi ada yang tidak mau, termasuk di kawasan Jawa. Dalam manuskrip itu juga dijelaskan, cara menyelamatkan diri.
Dalam salah satu naskah itu disebutkan, kamu harus naik ke gunung atau ketempat yang tinggi jika ada tsunami. Bukan datang ke laut lalu mengambil ikan. Sebenarnya local wisdom-nya sudah ada.
Tapi ada keputusan kita, tidak menjadikan manuskrip itu sebagai local wisdom yang diberikan dalam pelajaran sekolah di SD. Anak-anak kecil itu tidak masuk ke dalam bawah sadarnya harus melakukan apa jika terjadi gempa dan tsunami.
Di Aceh ada Pulau Simeulue. Sejak dahulu warganya turun menurun diajarkan jika ada smong atau air, mereka harus lari. Sampai sekarang doktrin kearifan lokal soal ‘smong’ itu menyebabkan korban tsunami kecil, hanya beberapa orang.
Belum lama ini ditemukan Al Quran tertua di Asia Tenggiara di NTB. Apakah klaim itu benar?
Untuk mastikan itu harus dilakukan penelitian, saya tidak bisa katakana dari jauh. Saya hanya melihat sekilas, bahannya dari deluang. Jika bahannya dari keras Eropa, tidak mungkin usianya sampai 1.000 tahun menurut klaim.
Bahkan 100 tahun saja tidak mungkin, karena kertas Eropa mulai dipakai antara abad 18-19.
Sebelum itu naskah-naskah Nusantara ditulis di alas yang sifatnya lokal. Misal daun lontar atau juga deluang. Deluang itu diolah dari pohon Sae, kulit kayunya dipipihkan sampai lembut. Semakin tipis, akan semakin kuat. Itu yang dipakai untuk menulis. Penggunaan deluang mulai abad 14.
Dalam berita disebutkan Al Quran itu berusia 1.000 tahun, artinya ditulis sekitar abad 11. Maka saya ragu naskah itu ditulis abad 11, karena tradisi penulisan teks Islam di Nusantara pada abad 13, saat Islam masuk Nusantara.
Di Kerinci, Jambi pernah ditemukan naskah Undang-Undang Tanjung Tanah yang ditulis di atas deluang. Tulisan itu belum ditulis dalam aksara palawang. Artinya, naskah ini, naskah melayu tapi pra Islam.
Dia penasaran, kayaknya tua banget. Lalu dilakukan uji karbon di Inggris tahun 2002, hasilnya menunjukan DNA-nya usianya 400-500 tahun atau berasal dari abad ke-14. Itu yang tertua. Makanya saya belum yakin kalau Al Quran itu lebih dari 500 tahun. Untuk memastikan harus diuji karbon.
Sebelumnya Universitas Birmingham Inggris pernah menguji usia muzhab Al Quran tertua yang ditulis di perkamen atau kulit kambing, yang diklaim ditulis di zaman nabi. Ternyata hasilnya kambing itu hidup di masa nabi.
Tapi bukan berarti teks Al Qurannya ditulis pada masa itu juga. Karena ada jeda waktu sekian tahun antara masa alas naskah ke penulisan. Harus diuji tinta-nya. Mungkin saja teksnya ditulis 100-150 tahun kemudian. Tapi itu salah satu naskah muzhab Al Quran tertua.
Profil singkat Prof Oman
Oman Fathurahman adalah Professor Filologi di Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Oman juga sebagai salah satu editor jurnal Studia Islamika, yang diterbitkan oleh lembaga riset dengan fokus kajian Islam di Indonesia dan Asia Tenggara ini.
Oman mendapatkan gelar Doctor of Philology dari Universitas Indonesia dengan spesialisasi Indonesian Islamic Manuscripts. Di kampus yang sama, Oman juga mendapatkan gelar Master of Philology. Sementara sarjana bahasa Arab dia selesaikan di UIN Jakarta.
Oman mengajar Filologi, Kodikologi, dan Sejarah Sosial-Intelektual Islam Indonesia, yang menggambarkan minat penelitiannya. Terakhir, ia juga mengkaji konstruksi masyarakat Muslim Nusantara tentang bencana alam dari perspektif agama dan budaya.
Oman telah menulis sejumlah buku, katalog naskah, dan artikel ilmiah maupun artikel popular terkait dengan bidang keilmuannya. Kontribusi tulisannya yang paling mutakhir adalah ‘New Textual Evidence for Intellectual and Religious Connections between the Ottomans and Aceh’, dalam buku ‘From Anatolia to Aceh: Ottomans, Turks, and Southeast Asia’, yang disunting oleh A. C. S. Peacock & Annabel Teh Gallop serta diterbitkan oleh Oxford University Press, Inggris (2015).
Oman juga menjadi ilmuan yang berkiprah di luar negeri. Antara than 2012-2013, dia menjadi Visiting Professor at the Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa (ILCAA), Tokyo University of Foreign Studies (TUFS). Sebelum itu antara September –Desember 2010 Oman mendapatkan The Chevening Fellowship Award to do research at the Oxford Centre for Islamic Studies (OCIS), an Independent and Recognized Research Centre of the Oxford University.
Oman pernah menjalankan Postdoctoral Program di Departement of Oriental Studies University of Cologne, Jerman.
(Pebriansyah Ariefana/Jane Anthrani/Dendi Afriyan)