Oman Fathurahman: Bukti Wajah Islam & Ulama Toleran di Masa Lalu

Senin, 12 Juni 2017 | 07:00 WIB
Oman Fathurahman: Bukti Wajah Islam & Ulama Toleran di Masa Lalu
Oman Fathurahman (suara.com/Dendi Afriyan)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di tangan Oman Fathurahman, wajah Islam di Indonesia berwarna dan toleran bukan hanya isapan jempol. Dia membuktikan lewat dokumen-dokumen para ulama di awal masuknya Islam di Indonesia di abad 13.

Selama 25 tahun lebih Oman berburu manuskrip Islam di Indonesia. Manuskrip itu berbentuk dokumen tua tulisan para ulama atau seseorang yang menceritkan kehidupan di masa itu. Bukan dokumen sembarangan yang ditelisik Oman.

Dengan keahliannya sebagai filologi, Oman dinobatkan sebagai ilmuan manuskrip Islam Nusantara pertama di Indonesia, bahkan professor filologi satu-satunya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam.

Apa pentingnya penelitian itu? Suara.com menemui Oman di kantornya di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah di Ciputat Tangerang Selatan pekan lalu. Sambil bercerita, Oman menunjukkan dokumen-dokumen tua di salah satu ruangan di sana. Di antara dokumen itu bertuliskan tulisan Arab.

Hampir sama seperti antropolog, Oman merekontruksi peristiwa Islam Nusantara di masa lalu hingga menjadi cerita. Perlu keahlian penguasaan bahasa kuno untuk bisa membacanya.

“Satu dokumen bisa jadi 1 sampai 2 tulisan untuk diterbitkan di jurnal ilmian internasional. Saya punya banyak dokumen yang belum diteliti, ratusan,” kata Oman sembari membuka ‘harta karun’ manuskripnya.

Di antara yang diceritakan Oman soal persekusi di awal Islam masuk Indonesia sampai manuskrip Islam yang bercerita tentang tsunami Aceh masa lalu.

Simak wawancara lengkapnya berikut ini:

Anda scientist manuskrip atau filologi Islam Nusantara pertama di Indonesia. Mengapa filologi menjadi hal yang menarik, tapi langka di Indonesia?

Penelitian manuskrip di mana pun manjadi minoritas, penelitian filologi di mana pun tidak pernah jadi mayoritas. Mungkin karena karakter ilmunya lebih rumit dan detil. Selain itu kontribusi ilmunya tidak bersifat langsung seperti ilmu ekonomi dan terapan. Filologi mempunyai kontribusi kepada peradaban dan sejarah.

Dalam konteks Indonesia, harus diakui perhatian terhadap kajian manuskrip ini tertinggal. Padahal Indonesia mewarisi manuskrip sejak abad ke-13 atau 14. Artinya sudah sudah ratusan tahun Indonesia mempunyai sumber primer yang oleh orang-orang Eropa dijadikan sumber keilmuan yang sangat penting.

Tapi karena kolonialisme, Indonesia baru ‘ngeh’ punya kesadaran melakukan kajian pada sumber lokal baru awal abad ke-20.

dat-Istiadat Minangkabau, Hisab, Tarekat Naqshabandiyah, Sejarah Nabi. (British Library/eap.bl.uk)

Dari segi bahasa, manuskrip Indonesia paling kaya di dunia. Kategori bahasa naskah nusantara setidaknya ada 20 bahasa yang dipakai untuk menulis, kalau di lokal lebih banyak dari itu mungkin ratusan, akrasanya pun banyak sekali. Mulai dari Aceh, Madura, Melayu, dan Minangkabau.

Terlebih bicara soal PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri), di sana baru tumbuh kesadaran soal pentingnya filologi di awal 90-an. Makanya saya disebut sebagai profesor pertama di lingkungan PTKIN, karena tidak ada lagi guru besar filologi di perguruan tinggi agama. Sebenarnya guru saya, Nabilah Lubis, profesor di bidang bahasa Arab pernah mengkaji manuskrip, tapi tidak banyak. Karena beliau sudah pensiun. Sayangnya saya hanya sendirian saat ini.

Mengapa pengungkapan wajah Islam Nusantara masa lalu penting dilakukan?

Kalau di tempatkan dalam konteks Islam Nusantara yang toleran. Selama ini wajah Islam toleran dan moderat hanya disebut berupa klaim dari beberapa pihak. Tapi Indonesia belum secara empirik dengan penelitian membuktikan bahwa Islam Indonesia moderat dan toleran.

Makanya, penelitian manuskrip Islam Nusantara itu penting untuk membuktikan secara empirik kita memang toleran dan mainstream Islam Nusatara itu moderat. Islam Nusantara adalah Islam yang mampu berdialog dengan keragaman, Islam yang mempu menghubungkan antara lokalitas dengan globalitas. Islam yang datang dari Arab berdialog dengan Jawa, Sunda, Lombok, dan berbagai etnik Indonesia.

Sehingga hasil dialog itu melahirkan karya-karya berupa tulisan yang mencerminkan itu semua. Manuskrip Islam di Indonesia sangat memperlihatkan keragaman dari segi bahasa.

Indonesia punya bahasa dan aksara lokal yang tidak dimiliki oleh negara lain. Misal Jepang hanya mempunyai 3 aksara, Hiragana, Katakana dan Kanji. Sementara Indonesia mempunyai ribuan bahasan dan aksara. Sehingga perlu dieksplorasi karakter Islam Nusantara itu.

Di media, ada informasi Anda membaca dan menyisir sekira 648 manuskrip koleksi Museum Aceh dan 277 manuskrip koleksi-koleksi Cirebon…

Sebenarnya sudah lebih dari itu, waktu saya meneliti di Tokyo, di University of Foreign Studies (TUFS). Awalnya saya meneliti tentang naskah-naskah yang mengandung Tarekat Syattariyah. Kebetulan saat itu naskah di Museum Aceh bisa diakses dan saya bisa membacanya. Selain itu dari Cirebon dan Mindanao.

Naskah-naskah yang sudah dibaca, ditandai mana saja yang perlu dieksplorasi. Salah satunya penelitian di Kyoto, tentang perempuan sufi Indonesia. Di banding kajian perempuan sufi di Timur Tengah, Indonesia jauh tertinggal. Belum ada yang menulis tentang perempuan sufi Indonesia.

Saya menemukan manuskrip yang menjelaskan ternyata ada perempuan penting di nusantara yang mempunyai silsilah tarekat Sattariyah. Salah satu yang saya eksplorasi Kanjeng Ratu Kadospaten, istri Hamengkubuwana I atau Pangeran Mangkubumi. Dia adalah nenek buyut Pangeran Diponogoro.

Tahun 1785-an membawa Pangeran Diponogoro keluar dari Keraton, saat itu Pangeran Diponogoro masih kecil berusia sekitar 10 tahun. Sampai menjadi seorang paling hebat di perang Jawa, dia itu dibesarkan oleh perempuan sufi. Spritualitas Pangeran Diponogoro ini belum tereksplorasi.

Jika semakin dalam manuskrip ini diteliti, maka akan semakin terlihat karakter Islam di Indonesia. Dalam manuskrip yang menggambarkan perempuan sufi Indonesia, ternyata perempuan yang tidak dibatasi. Bahkan di masa lalu perempuan Indonesia aktif ikut perang dan menggerakan pemberontakan.

Jadi tidak seperti gambaran perempuan yang berada di komunitas patriarki. Bahkan sampai sekarang gerak perempuan di Arab Saudi masih terbatas. Sebaliknya, muslim perempuan di Indonesia sudah sangat maju.

Islamic manuscripts preserved at the Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, Indonesia. (British Library/eap.bl.uk)

Apakah ada dokumen atau manuskrip yang menurut Anda spesial atau juga unik? Bisa ceritakan?

Sebenernya banyak dari manuskrip masa lalu itu bisa dihubungkan dengan situasi kekinian. Meneliti manuskrip juga harus menarik benang merah dengan kondisi kekinian.

Misalnya dalam konteks Islam toleransi dan moderat.

Jika dilihat dari berbagai hikayat-hikayat, semisal Amir Hamzah yang menceritakan bagaimana seorang figur Hamzah. Hikayat Amir Hamzah ketika diadopsi dalam literatur Jawa menjadi Serat Menak.

Saya saat ini sedang melakukan penelitian terhadap naskah  Serat, Babat dan lainnya untuk membuktikan Islam yang direpresentasikan dalam hikayat itu menggambarkan kemampuan penulisnya mendialogkan keberagaman antara Islam yang datang dari Arab dengan kejawaan dan lainnya, sangat kosmopolit.

Bahkan tokoh yang digambarkan dalam hikayat tersebut sebagai tokoh yang berdialog dengan ragam tradisi, misalnya Persia, Syiah, atau juga Sunni. Tokoh ini menerima ke-Arab-an, tapi dikontekstualisasi menjadi kelokalan. Misal di Serat Centhini yang menggambarkan alkulturasi Islam dengan budaya Jawa. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI