Suara.com - Indonesia kembali dirongrong oleh ideologi radikal yang dinilai berpotensi menggusur ‘Bhineka Tunggal Ika’. Keadaan ini dimulai akhir tahun 2016 saat pertarungan kandidat Pilkada DKI Jakarta.
Buntutnya, saat ini Pemerintahan Joko Widodo tengah mengigatkan rakyat Indonesia dengan ideologi pancasila. Ideologi pancasila dinilai sudah paling cocok dengan negara yang beragam suku bangsa, etnis, serta agama ini.
Dihubungkan dengan sudut pandang agama, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra memandang ke-Islaman dan ke-Indonesiaan sudah tidak bisa terpisahkan. Publik, perlu memahami esesi pancasila di Indonesia untuk memastikan kehidupan berbangsa yang penuh keberagaman.
Suara.com menemui Prof Azra di sela-sela International Conference ‘Jakarta Politics 2017: Race, Religion and Social Mobilization’ di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan pekan lalu. Di konferensi internasional itu Azra satu meja dengan Prof. Mark R. Woodward dari Arizona State University.
Azra menyinggung tentang sektarianisme politik agama yang diwarnai kasus penistaan agama mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dan kasus itu berkepanjangan dengan ‘buntut’ yang berbeda. Salah satunya, keinginan pemerintah untuk membubarkan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena dinilai mengusung ideologi yang mengancam keutuhan NKRI, Khilafah.
Menurut Azra, salah satu tantangan Indonesia saat ini adalah mencegah paham radikalisme dan kekerasan atas nama agama disebarkan dengan sengaja. Salah satunya lewat rumah ibadah. Sebab kondisi politik di Indonesia rentan disusupi provokasi atas nama SARA.
Terlebih iklim politik Indonesia terus diwarnai pesta demokrasi saban tahun. Tahun 2018 besok ada Pilkada Serentak kembali dan tahun 2019 ada Pemilu Presiden/Wakil Presiden.
Apa yang perlu dipahami publik tentang kondisi perpolitikan Indonesia yang dibungkus dengan isu agama ini?
Berikut analisa Azra:
Bulan-bulan lalu publik disibukan dengan adanya isu kebencian terhadap SARA yang dibungkus dalam Pilkada Serentak DKI Jakarta 2017. Agama dan politik sangat berhimpitan. Sampai kini belum selesai buntut permasalahan itu, sampai pada akhirnya ada istilah ‘politisasi ulama’. Bagaimana pandangan Anda?
Politisasi agama ini muncul karena adanya pemahaman atau interpretasi tertentu terhadap keyakinan dan praktik keagamaan. Dalam kasus Ahok, keyakinan dan praktik keagamaan becampur dengan problema etnis minoritas.
Bicara soal tudingan penistaan agama lewat kutipan Al Maidah, arti sebenarnya dari surat Al Maidah ayat 51 sudah diplintir ke sana sini.
Banyak perbedaan pemaknaan dalam Islam karena pemahaman dan praksis Islam yang berbeda madhhab atau aliran. Misalnya saja arti ‘aulia’ dalam Al Maidah. Dalam terjemahan Al Quran yang dikeluarkan Kementerian Agama, ‘aulia’ berarti teman, bukan pemimpin.
Kata pemimpin dalam bahasa Arab adalah ‘amir’. Jadi berbeda artinya, beberapa ulama, termasuk Masdar Farid Masudi juga mengatakan ‘aulia’ adalah teman.
Belakangan muncul istilah kriminalisasi agama…
Jelas ini bukan bukan kriminalisasi ulama. Sebab Rizieq Shihab dan dari ribuan ulama di Indonesia. Jadi pernyataan kriminalisasi ulama ini menyesatkan. Di sisi lain kelompok mereka menyatakan Ahok sebagai kafir.
Ini pernyataan yang tidak tepat juga. Kafir adalah ketika Anda muslim tapi tidak percaya tuhan, ketika Anda orang Indonesia tapi tidak menghormati bendera negara. Jadi Anda tidak berterimakasih atau kufur nikmat atau menolak nikmat dari Allah, bahwa Anda hidup dalam negara yang damai, dan tidak melihat apa yang terjadi di Timur Tengah. Jadi berbeda pemaknaan kafir.
Politik agama dapat dimasukkan dalam politik SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Tapi politik agama ini tidak bisa berjalan efektif setelah era reformasi. Anda bisa melihat di beberapa pemilu. Lihat saja di pemilu 2014 terakhir.
Jokowi dituduh sebagai PKI saat itu, selain itu juga dituduh keturunan Cina. Tapi itu tidak berhasil, publik tidak terpengaruh.
Lalu mengapa sektarianisme politik agama bisa kuat di kalangan umat Islam di Indonesia?
Sektarianisme ini muncul karena perbedaan di antara suatu kelompok.
Kecenderungan politik di Indonesia dikombinasikan dengan klaim kebenaran di antara unsur-unsur mazhab. Banyak klaim yang paling benar antar mazhab, terutama salafi dan wahabi. Ini fanatisme mazhab yang berlebihan.
Tapi kalau demonstrasi November dan Desember kemarin, menurut saya lebih berlatar belakang politik daripada agama.
Jika kita melihat dari pergerakan politik di pemilihan gubernur DKI Jakarta kemarin, apakah itu murni digerakan oleh masyarakat muslim? Sebab kebanyakan orang mempercayai demo-demo November dan Desember kemarin adalah kebangkitan dari muslim.
Tapi demonstrasi itu banyak digunakan untuk berbagai kepentingan, bukan hanya kalangan muslim saja. Di sana ada kalangan militer dan juga orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan agama. Seperti pihak-pihak yang ditangkap karena tuduhan makar. Bahkan mereka tidak punya massa.
Apakah ini akan berlanjut sampai Pilkada 2018 dan Pemilu Presiden 2019?
Menurut saja gerakan yang sama seperti di Jakarta tidak mungkin ada di provinsi lain. Karena konstelasi demografi religiusnya berbeda.
Kalau di Jakarta, 85 persen pemilih adalah muslim. Tapi tidak bisa dikatakan sebagai pertarungan antara muslim dan non muslim. Sebab dari perolehan 42 persen Ahok, sebanyak 27 persennya adalah muslim, sementara kurang dari 15 persen pemilih non muslim.
Tapi sektarianisme politik agama akan terus mewarnai pemilihan lokal, legislatif dan presiden.
Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi sektarian politik keagamaan?
Kita perlu mengkonsolidasikan wasatiyah Islam atau pemahaman Islam yang adil. Saya percaya, Indonesia adalah negara mayoritas muslim satu-satunya yang modern.
Selain itu juga mengkonsolidasikan sikap Islam yang tawasut, tawazun (seimbang), adil , dan tasamuh (toleransi).
Selain itu memberikan pandangan itu semua ke dalam lingkungan keluarga, pendidikan formal dan nonformal, serta ke masyarakat. Selain itu memperkuat jaringan dan kerjasama antara organisasi dan institusi Islam.
Yang tidak kalah penting harus ada integrasi ke-Islaman dan ke-Indonesiaan dengan mengusung cinta tanah air bagian dari iman. Hal itu harus dikontekstualisasikan, bukan hanya dibiarkan jadi hal normatif. Sekarang ini tidak ada, itu yang jadi masalahnya.
Di sebagian Masjid banyak dakwah yang cenderung memprovokasi. Apakah Anda melihat gejala ini juga?
Hanya di Indonesia, orang bisa berdakwah dengan bebas di masjid. Di Malaysia, untuk berdakwah di Masjid tidak mudah. Harus mendapatkan surat atau sertifkat dari Jakim (Jabatan Kebajikan islam Malaysia) dan didapat dari kerajaan.
Tapi di Indonesia sangat bebas. Tidak ada negara seperti Indonesia yang bebas berkhotbah, tapi khotbahnya dipakai untuk menyebar kebencian dan provokasi.
Suatu hari, putra saya, salat di salah satu masjid di lingkungan di sini (Kampus UIN Ciputat), isinya mencaci maki pemerintah. Lalu dia keluar masjid, dan tidak jadi salat Jumat. Saya bilang, oke nggak apa-apa ganti saja dengan salat Zuhur. Nggak masalah.
Pendakwah di Masjid harus disaring ketat…
Jadi itu harus dijadikan undang-undang. Sehingga ide untuk memberikan sertifikat untuk khatib, ide bagus. Itu juga bisa meng-update penceramah di Indonesia. Jika ada Dai yang menyebar kebencian, mungkin dia tidak mengetahui Islam secara mendalam.
Makanya harus dibantu Muhammdiyah, NU dan Dewan Dakwah dan lain-lain untuk meng-upgrade kualifikasi untuk menjadi pendakwah. Terutama dai yang ada di televisi yang sangat instan menjadi selebritis atau dai selebritis.
Saya pernah menulis ini di Kompas. Kelompok silent majority, terutama ormas seperti Muhammadiyah dan NU sangat aktif menyuarakan isu perdamaian, misal soal ISIS. Terutama Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, dia sangat aktif untuk bicara.
Terutama kalangan akademisi di universitas juga harus banyak bicara soal kebangsaan, kebhinekaan, perdamaian dan lain-lain.
Anda menyebut ke-Islaman dan ke-Indonesiaan harus dielaborasi. Apa maksudnya?
Sudah waktunya dari dulu juga tidak ada pertentangan dan dikotomi antara ke-Islaman, ke-Indonesiaan dan kemodernan. Jadi ketika saya menjadi rektor di sini, salah satu konsep dasar universitas Islam negeri ini adalah integrasi ke-Islaman, ke-Indonesian dan kemodernan.
Jadi tidak harus ada pertentangan, menjadi orang Islam dan orang Indonesia, juga tidak menolak kemodernan. Kalau ada orang yang menentang ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, itu sudah ketinggalan zaman karena tidak menghargai Indonesia.
Saya pernah menemani Hillary Clinton saat di Indonesia. Dia menanyakan hubungan Islam, demokrasi, dan posisi warganya dalam kemodernan. Begitu saya jelaskan, akhirnya dia ingin datang ke Indonesia. Jadi kalau ada orang yang pertentangkan antara Islam dan ke-Indonesiaan, mungkin dia adalah muslim tapi berorientasi trans-nasional.
Mungkin saja, saya tidak tahu, mereka ingin melihat Indonesia seperti Pakistan atau Suriah. Indonesia adalah salah satu negara dengan mayoritas muslim yang mempunyai politik dan ekonomi yang stabil.
April ini menurut IMF, Indonesia masuk dalam 10 negara yang mempunyai GDP 1 triliun dolar. Saya rasa, tahun 2025, Indonesia akan masuk ke dalam salah satu negara dengan ekonomi kuat, dan 5 yang terkuat di dunia.
Kalau ada yang menpertentangkan Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan, keluar dari Indonesia. Pergi saja ke padang pasar, nggak mau melewati merah putih. Saya pernah menemui hal itu. Karena dia kufur nikmat, nggak bersyukur.
Paham khilafah juga tengah diperbincangkan. Sebahaya apa paham ini muncul di Indonesia?
Saya pernah bicara dengan orang HTI, bahkan berkali-kali dalam kesempatan berbeda. Saya bilang, bagaimana mungkin paham khilafah yang Anda punya membuat Indonesia hanya punya satu warna dan ‘bendera’? Lalu misalnya di kawasan yang diduduki Hamas dan Fatah di Palestina, membuat mereka tunduk pada satu ‘bendera’ saja? Bisa nggak mereka didamaika?
Di Indonesia, paham khilafah tidak bisa diterima oleh organisasi Islam terbesar seperti NU dan Muhammadiyah. Jadi, ormas Islam tidak mempunyai wacana dan berdiskusi untuk menerima paham khilafah itu.
Bahkan founding fathers Indonesia, Agus Salim juga tidak setuju dengan paham khilafah ini.
Pembahasan soal khilafah ini juga tidak produktif. Jadi nggak cocok khilafah tidak cocok dengan pancasila. Sehingga jika ada niat pemerintah ingin membubarkan HTI, tapi sudah terlambat.
Tapi terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali. Dengan catatan, pemerintah harus lewat jalur pengadilan.
Islam di Indonesia ini penuh keberagaman, sangat kaya. Bahkan perayaan agamanya di masing-masing daerah berbeda. Namun banyak dari kalangan Islam trans nasional menuding kekayaan Islam di Indonesia sebagai bid’ah.
Indonesia juga menjadi negara yang paling banyak menetapkan hari libur berdasarkan perayaan agama. Di Singapura hanya 2 perayaan Islam yang ditetapkan sebagai hari libur.
Saya juga pernah mencari tahu keadaan keagamaan di Eropa, sebab mereka mengklaim sebagai negara yang paling toleran. Saya tanya, berapa jenis hari kebesaran Islam yang dijadikan hari libur? Mereka bilang tidak ada. Mereka hanya meliburkan hari untuk hari besar agama Kristen saja.
Beda dengan Indonesia, semua dirayakan dan diliburkan.
Belajar dari pengerahan massa kelompok muslim, apakah yang harus dilihat dari peristiwa ini?
Ini merupakan tes untuk Jokowi. Maka saya pernah bilang, Jokowi sudah merasa. Makanya dia banyak mengundang ulama. Seperti mengirimkan pesawat khusus ke Medan untuk membawa PKUP ke Istana Kepresidenan Bogor.
Saya bilang, kalau Jokowi mau menang di 2019, dia harus menjadikan orang berlatarbelakang santri untuk menjadi calon wakil presidennya. Kalau nggak, dia susah menang. Sebab mungkin saja, Prabowo akan mengajak Anies Baswedan untuk jadi calon wakil presiden.
Karena Sandiaga Uno akan dijadikan gubernur DKI Jakarta. Maka dari sekarang NU dan Muhammadiyah ini harus memikirkan siapa sosok yang tepat untuk Jokowi. Sebab politik agama ini akan lanjut sampai 2019.
Bagaimana untuk mengembalikan keadaan panas pascapilkada?
Semua pihak harus lebih toleran dan jangan bikin aksi lagi, cukuplah. Ahok juga sangat bijak dengan menarik banding, karena kalau dia terus banding maka akan ada peningkatan suku untuk yang pro dan kontra.
Saya melihat bukan dari sudut Ahok, tapi untuk kepentingan bangsa dan negara.
Bagaimana untuk menenangkan kelompok akar rumput yang sudah terlanjur percaya ini adalah gerakan muslim?
Itu tergantung pimpinannya. Saya mengimbau kepada pimpinan politik, elit sosial dan agama jangan memprovokasi masyarakat bawah.
Biografi singkat Azyumardi Azra
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA pernah menjadi Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dikurun waktu 1998-2006. Setelah itu dia menjadi Direktur Sekolah Pascasarjana (2006-2015).
Pada tahun 1993, Ia mendirikan jurnal Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam di Asia Tenggara, dan pada tahun 1994, Ia mempelopori berdirinya PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Jakarta. Pada tahun 2010, dia memperoleh gelar Commander of the Order of British Empire, sebuah gelar kehormatan dari Kerajaan Inggris. Dengan gelar ini, Azyumardi adalah orang pertama di luar warga negara anggota Persemakmuran yang boleh mengenakan Sir di depan namanya.
Prof Azra menyelesaikan gelar sarjana (B.A) di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada tahun 1982, dan menyelesaikan tiga gelar master sekaligus: Master of Art (MA) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, tahun 1988 dan Departemen Sejarah, tahun 1989, dan mendapat gelar Master of Philoshophy (MPhil) pada tahun 1990 pada Depertemen Sejarah, semuanya di Columbia University.
Dia memperoleh gelar doktor di universitas yang sama melalui disertasi yang berjudul: The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth Centuries, disertasi tersebut telah dipublikasikan di Canberra, Honolulu, dan juga Leiden, Belanda. Azyumardi juga dikenal sebagai akademisi dan cendikiawan muslim Indonesia yang produktif menulis, beberapa tulisannya berupa buku, seperti: Jaringan Ulama (1994), Pergolakan Politik Islam (1996), Islam Reformis (1999), dan Reposisi Hubungan Agama dan Negara (2002).
Azyumardi pernah menjadi profesor tamu pada University of Philippines, Philipina dan University Malaya, Malaysia, keduanya pada tahun 1997. Dan antara tahun 1997-1999 Ia merupakan anggota dari Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang diorganisasi oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo. Ia juga pernah menjadi orang Asia Tenggara pertama yang diangkat sebagai Professor Fellow di Universitas Melbourne, Australia pada 2004-2009, dan anggota Dewan Penyantun (Board of Trustees) International Islamic University Islamabad Pakistan pada tahun 2004-2009.