Azyumardi Azra: Cinta Tanah Air Bagian dari Iman

Senin, 05 Juni 2017 | 07:00 WIB
Azyumardi Azra: Cinta Tanah Air Bagian dari Iman
Azyumardi Azra (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Indonesia kembali dirongrong oleh ideologi radikal yang dinilai berpotensi menggusur ‘Bhineka Tunggal Ika’. Keadaan ini dimulai akhir tahun 2016 saat pertarungan kandidat Pilkada DKI Jakarta.

Buntutnya, saat ini Pemerintahan Joko Widodo tengah mengigatkan rakyat Indonesia dengan ideologi pancasila. Ideologi pancasila dinilai sudah paling cocok dengan negara yang beragam suku bangsa, etnis, serta agama ini.

Dihubungkan dengan sudut pandang agama, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra memandang ke-Islaman dan ke-Indonesiaan sudah tidak bisa terpisahkan. Publik, perlu memahami esesi pancasila di Indonesia untuk memastikan kehidupan berbangsa yang penuh keberagaman.

Suara.com menemui Prof Azra di sela-sela International Conference ‘Jakarta Politics 2017: Race, Religion and Social Mobilization’ di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan pekan lalu. Di konferensi internasional itu Azra satu meja dengan Prof. Mark R. Woodward dari Arizona State University.

Azra menyinggung tentang sektarianisme politik agama yang diwarnai kasus penistaan agama mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dan kasus itu berkepanjangan dengan ‘buntut’ yang berbeda. Salah satunya, keinginan pemerintah untuk membubarkan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena dinilai mengusung ideologi yang mengancam keutuhan NKRI, Khilafah.

Menurut Azra, salah satu tantangan Indonesia saat ini adalah mencegah paham radikalisme dan kekerasan atas nama agama disebarkan dengan sengaja. Salah satunya lewat rumah ibadah. Sebab kondisi politik di Indonesia rentan disusupi provokasi atas nama SARA.

Terlebih iklim politik Indonesia terus diwarnai pesta demokrasi saban tahun. Tahun 2018 besok ada Pilkada Serentak kembali dan tahun 2019 ada Pemilu Presiden/Wakil Presiden.

Apa yang perlu dipahami publik tentang kondisi perpolitikan Indonesia yang dibungkus dengan isu agama ini?

Berikut analisa Azra:

Bulan-bulan lalu publik disibukan dengan adanya isu kebencian terhadap SARA yang dibungkus dalam Pilkada Serentak DKI Jakarta 2017. Agama dan politik sangat berhimpitan. Sampai kini belum selesai buntut permasalahan itu, sampai pada akhirnya ada istilah ‘politisasi ulama’. Bagaimana pandangan Anda?

Politisasi agama ini muncul karena adanya pemahaman atau interpretasi tertentu terhadap keyakinan dan praktik keagamaan. Dalam kasus Ahok, keyakinan dan praktik keagamaan becampur dengan problema etnis minoritas.

Bicara soal tudingan penistaan agama lewat kutipan Al Maidah, arti sebenarnya dari surat Al Maidah ayat 51 sudah diplintir ke sana sini.

Banyak perbedaan pemaknaan dalam Islam karena pemahaman dan praksis Islam yang berbeda madhhab atau aliran. Misalnya saja arti ‘aulia’ dalam Al Maidah. Dalam terjemahan Al Quran yang dikeluarkan Kementerian Agama, ‘aulia’ berarti teman, bukan pemimpin.

Kata pemimpin dalam bahasa Arab adalah ‘amir’. Jadi berbeda artinya, beberapa ulama, termasuk Masdar Farid Masudi juga mengatakan ‘aulia’ adalah teman.

Belakangan muncul istilah kriminalisasi agama…

Jelas ini bukan bukan kriminalisasi ulama. Sebab Rizieq Shihab dan dari ribuan ulama di Indonesia. Jadi pernyataan kriminalisasi ulama ini menyesatkan. Di sisi lain kelompok mereka menyatakan Ahok sebagai kafir.

Ini pernyataan yang tidak tepat juga. Kafir adalah ketika Anda muslim tapi tidak percaya tuhan, ketika Anda orang Indonesia tapi tidak menghormati bendera negara. Jadi Anda tidak berterimakasih atau kufur nikmat atau menolak nikmat dari Allah, bahwa Anda hidup dalam negara yang damai, dan tidak melihat apa yang terjadi di Timur Tengah. Jadi berbeda pemaknaan kafir.

Politik agama dapat dimasukkan dalam politik SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Tapi politik agama ini tidak bisa berjalan efektif setelah era reformasi. Anda bisa melihat di beberapa pemilu. Lihat saja di pemilu 2014 terakhir.

Jokowi dituduh sebagai PKI saat itu, selain itu juga dituduh keturunan Cina. Tapi itu tidak berhasil, publik tidak terpengaruh.

Lalu mengapa sektarianisme politik agama bisa kuat di kalangan umat Islam di Indonesia?

Sektarianisme ini muncul karena perbedaan di antara suatu kelompok.

Kecenderungan politik di Indonesia dikombinasikan dengan klaim kebenaran di antara unsur-unsur mazhab. Banyak klaim yang paling benar antar mazhab, terutama salafi dan wahabi. Ini fanatisme mazhab yang berlebihan.

Tapi kalau demonstrasi November dan Desember kemarin, menurut saya lebih berlatar belakang politik daripada agama.

Jika kita melihat dari pergerakan politik di pemilihan gubernur DKI Jakarta kemarin, apakah itu murni digerakan oleh masyarakat muslim? Sebab kebanyakan orang mempercayai demo-demo November dan Desember kemarin adalah kebangkitan dari muslim.

Tapi demonstrasi itu banyak digunakan untuk berbagai kepentingan, bukan hanya kalangan muslim saja. Di sana ada kalangan militer dan juga orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan agama. Seperti pihak-pihak yang ditangkap karena tuduhan makar. Bahkan mereka tidak punya massa.

Apakah ini akan berlanjut sampai Pilkada 2018 dan Pemilu Presiden 2019?

Menurut saja gerakan yang sama seperti di Jakarta tidak mungkin ada di provinsi lain. Karena konstelasi demografi religiusnya berbeda.

Kalau di Jakarta, 85 persen pemilih adalah muslim. Tapi tidak bisa dikatakan sebagai pertarungan antara muslim dan non muslim. Sebab dari perolehan 42 persen Ahok, sebanyak 27 persennya adalah muslim, sementara kurang dari 15 persen pemilih non muslim.

Tapi sektarianisme politik agama akan terus mewarnai pemilihan lokal, legislatif dan presiden. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI