Masriyah Amva: Mendobrak Budaya Patriarki di Pesantren

Senin, 29 Mei 2017 | 07:00 WIB
Masriyah Amva: Mendobrak Budaya Patriarki di Pesantren
Pimpinan Pondok Pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin, Masriyah Amva. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Pengakuan itu terjadi secara tak sengaja atau Anda sengaja agar mereka mengadu?

Pengakuan itu tak sengaja keluar. Awalnya saya memberikan pemahaman soal perempuan dan bagaimana perempuan harus bersikap dalam kehidupan. Tapi lama-lama banyak yang bercerita soal itu. Ternyata banyak sekali dari mereka yang mengalami kekerasan seksual.

Mereka tidak bisa melawan karena posisi tidak memungkinkan. Mereka juga malu untuk mengaku. Makanya saya sangat terbuka ke santri-santri perempuan dalam segala hal.

Anda membatasi pergaulan santri perempuan?

Tidak, karena pergaulan mereka sudah benar. Hanya saja, mereka bertemu dengan teman lelaki yang tidak tepat. Sering lelaki yang berbuat tidak benar itu saya tegur, kalau itu santri lelaki saya akan dipanggil.

Apakah kasus kekerasan seksual juga ada di kalangan santri lelaki?

Ada, banyak yang mengadu ingin disodomi. Ada juga yang menjadi pelaku kekerasan seksual, tapi itu dulu. Dan akhirnya dikeluarkan.

Apakah ada pendidikan seksual di pesantren ini?

Tidak ada. Tapi kami sering bicara soal pendidikan seksual di ruang tak formal. Karena ini penting agar mereka memahami segala hal yang harus dijaga.

Mengapa tidak ada pendidikan seksual yang formal?

Karena ini pesantren, dianggapnya itu tabu dan belajar seks. Lebih baik ngobrol dari hati ke hati.

Saya banyak menulis puisi soal cinta, antara hubungan lelaki dan perempuan. Saya itu diprotes, “kamu, ibu Nyai kok bicara soal cinta?” Saya jawab, cinta itu terjadi dengan sendirinya. Kalau orang tidak mempunyai cinta, dia tidak normal.

Saya harus memberikan lentera kepada murid saya yang dimabuk cinta. Sehingga mereka punya panduan. Jadi banyak puisi saya memandu orang yang penuh dengan memabuk agama. Saya mengarahkan mereka kembali ke Tuhan.

Semisal begini lirik puisi itu, “sayang, dalam rinduku padamu aku tak akan sudi memanggil namamu. Aku lebih tertarik memanggil nama Tuhanku yang memilikimu. Dalam rinduku padamu, aku lebih tertarik mencari Tuhanku.”

Jadi itu cara untuk membelokan perasaan mereka ke Tuhan. Jadi rahmat Allah jauh lebih besar daripada cintanya.

Sebagai agamawan, apakah Anda terbatasi memberikan pendidikan seksual ke santri?

Tidak. Karena saya tidak melakukan hal-hal yang merusak. Kalau saya harus terangkan, maka harus saya terangkan. Misalnya saja memberikan pemahaman soal cinta, seharusnya itu tidak layak untuk seorang pemimpin pesantren.

Tapi saya blak-blakan saja. Karena cinta itu tidak bisa dipungkiri dan terjadi dalam setiap manusia.

Bahkan saya menceritakan kehidupan di ranjang dalam buku ‘Bangkit dari Terpurukan’. Saya menceritakan perempuan menghadapi suaminya yang tidak memuaskan di tempat tidur. Saya ditentang karena tidak pantas sebagai nyai.

Saya pun jelaskan, setiap kehidupan di ranjang itu punya problema tersendiri. Saya menyuguhkan solusinya. Tapi saya dianggap sebagai pimpinan pesantren yang tidak Islami.

Jarang sekali tokoh agama, bahkan tidak ada yang berani memberikan pencerahan terhadap orang-orang yang tengah dimabuk cinta.

Apakah Anda setuju ‘berpacaran’ di kalangan anak muda saat ini?

Dalam Islam, berpacaran itu tidak boleh.

Kita seharusnya hidup berlandaskan iman, bukan nafsu. Untuk menjadi orang yang seperti itu sangat sulit, karena harus menekan sisi kemanusiaannya, dan menekan keinginannya. Jika ada yang bisa, dia orang pilihan.

Tapi paling tidak saya memerikan pilihan, apakah Anda ingin menjadi orang pilihan atau tidak?

Belakangan perempuan dijadikan alat oleh kelompok teroris. Di sisi lain, perempuan berperan penting dalam membentuk karakter keluarga bersama suami. Bagaimana pendapat Anda soal ini?

Tidak ada satu pesantren pun yang mengajarkan terorisme. Pesantren model apa yang mengajarkan itu? Islam tidak mengajarkan terorisme.

Keluarga harus terbuka, jika tidak ada manusia yang suka dengan aksi teror. Apapun alasanya, kekerasan tidak dibolehkan. Kita harus menyulut perdamaian. Suami dan istri harus sering bicara soal itu.

Biografi singkat Masriyah Amva

Masriyah Amva Lahir pada 13 0ktober  1961 di sebuah kampung pesantren , Babakan ,Ciwaringin Kabupaten Cirebon. Ayahnya, Amrin Khanan adalah ulama terpandang di Cirebon. Bahkan kakeknya, Amrin juga seorang ulama.

Sejak kecil, Amva memang dididik untuk menjadi ulama. Dia besar di Pesantren Al-Muayyad Solo, Pesantren Al-Badi’iyah Pati Jawa tengah. Amva juga menggali ilmu di Pesantren Dar al-Lughah wa da’wah di Bangil. Amva dan mendiang suaminya, mendirikan Pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin. Di pesantren, Amva mengkhususkan berinteraksi dengan santri perempuan. Dia ahli di bidang ekonomi kerakyatan dan gender.

Amva banyak menulis buku puisi. Di antaranya ‘Ketika Aku Gila Cinta’ (2007), ‘Setumpuk Surat Cinta’ (2008), dan ‘Ingin Dimabuk Asmara’ (2009), ‘Cara Mudah Menggapai Impian’ (2008), ‘Matematika Allah’, ‘Umrah Tiap Tahun’, dan ‘Cara si Miskin Naik Haji’.

Amva pernah mendapatkan penghargaan S.K. Trimurti 2014 oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) karena kegigihan dan konsistensinya dalam gerakan gender di tengah maraknya gerakan intoleransi dan budaya patriarki.

Amva dinilai mendobrak, melawan, berjuang di tengah lingkungan yang sarat isu agama dan fundamentalisme. Di pondok pesantren yang dia asuh, Amva mengembangkan nilai-nilai pluralisme dan kesetaraan gender di kalangan santri dan masyarakat sekitarnya. Dia aktif menulis pemikirannya dalam buku dan novel. Sudah belasan buku yang dia lahirkan, bahkan masih banyak yang dalam proses.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI