Suara.com - Dalam tradisi Islam, perempuan menjadi ‘warga’ nomor 2 dalam hal kepemimpinan. Lelaki diutamakan menjadi pemimpin dalam kehidupan, salah satunya dalam lingkungan pesantren.
Masriyah Amva menjadi sosok perempuan berbeda di Indonesia. Dia ‘mendobrak’ patriarki di tradisi Islam dengan menjadi pimpinan pondok pesantren. Status dia ‘Nyai’, sebagai tanda seorang pemimpin perempuan di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin, Cirebon.
Menjadi pemimpin 1.000 santri lelaki dan perempuan, Nyai Amva menghadapi banyak tantangan. Terutama banyak peristiwa kekerasan seksual yang dialami santri perempuannya. Ada juga santri lelaki yang menjadi pelakunya.
Amva juga ulama perempuan yang berani dan kontroversi. Dia dianggap terlalu vulgar membicarakan soal seksual dalam tulisan-tulisan di belasan bukunya. Sebab untuk bicara pendidikan seks di lingkungan pesantren, menurutnya tidak mungkin.
Amva berpendapat, Islam tidak mendiskriminasi perempuan. Sama seperti lelaki, perempuan bisa bebas berkiprah di masyarakat umum.
Bagaimana awalnya Amva bisa menjadi pemimpin pesantren? Seperti apa pembicaraan seksual Amva dalam bukunya?
Suara.com berbincang dengan Amva di kediamannya di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, Jawa Barat belum lama ini. Berikut wawancara lengkapnya:
Dalam tradisi Islam, jarang sekali perempuan memimpin sebuah pondok pesantren. Bagaimana awalnya Anda bisa memimpin pesantren ini?
Ini sebabnya karena suami saya meninggal tahun 2007. Pesantren ini patriarki. Saya menjadi pimpinan di pesantren ini, adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Kalau bicara soal teori kepempinan dalam Islam, kadang tidak sesuai dengan kenyataan. Di sini, pada kenyataannya pesantren ini patriarki, pesantren salaf tradisional.
Saat suami meninggal, dan saya diminta menjadi pemimpin, rasanya gelap. Bagaimana bisa saya memimpin? Terlebih penampilan saya bukan seperi nyai. Sementara anak laki-laki saya baru saja menikah dan belum siap. Kemapaman sosialnya belum ada.
Sementara harus ada yang harus menjadi pemimpin di pesantren ini, jika tidak pesantren akan bubar. Akhirnya kepemimpinan saya diterima oleh kyai-kyai. Karena mereka memandang, tidak ada lagi yang bisa.
Saya tidak suka banyak berteori.
Ini sebuah kenyataan, perempuan juga bisa memimpin dalam Islam. Apa mereka yang menentang, bisa mengusir saya dari sini? Ternyata tidak ada yang menolak.
Seketat apa tradisi Islam memberikan izin kepada perempuan untuk memimpin?
Dulu istri Rasullah, Aisyah Radhiallahu Anha memimpin perang Jamal. Saat itu yang memimpin adalah perempuan yang dominan dan yang dianggap paling mampu, bukan yang diangkat. Jadi otomatis dan hukum alam, dia yang jadi memimpin.
Perempuan itu tidak dilarang untuk memimpin. Agama itu menggambarkan kehidupan. Perempuan memimpin karena kebutuhan.
Kemunculan ulama perempuan di Indonesia sudah banyak, salah satunya di layar TV. Menurut Anda, bagaimana eksistensi mereka saat ini?
Ulama perempuan dari dulu banyak sekali. Tapi arti ulama perempuan yang sebenarnya, mereka terjun ke masyarakat dan memperhatikan gejolak sosial. Bukan hanya memperhatikan dirinya.
Salah satunya, saat ini mereka tengah dikumpulkan untuk dijadikan satu dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Kongres ini diadakan akhir April 2017. Ini kongres ulama perempuan yang pertama, ada dari berbagai negara yang datang.
Bagaimana kalau kepemimpinan perempuan dilakukan karena penunjukan?
Penunjukan dalam kepemimpinan perempuan tidak relevan, seharusnya terjadi dengan sendirinya. Seseorang harus memilih pemimpin yang paling mampu, termasuk yang dipilih adalah perempuan. Kecuali jika orang itu diikat dengan pandangan agama yang sempit, kemudian dia mengalahkan naluri kemanusiaannya.
Pandangan sempit bagaimana?
Memandang teks agama dengan terbatas, dan tidak disesuaikan dengan zaman dan keadaan.
Itu sama dengan orang yang berpikir perempuan wajib berhijab dan bercadar. Mereka mengabil pemahaman itu karena tidak melihat keadaan di Indonesia.
Jangan memandang Islam itu adalah Arab Saudi. Cadar adalah bagian dari tradisi Arab, bukan Islam. Sebab di Arab adalah kawasan berpasir, pakai cadar untuk melindungi kulit dari cuaca panas dan debu.
Bukan kah mengenakan cadar bagian dari ajaran Islam?
Iya, tapi saat itu Islam ada di Arab Saudi, dengan budaya di sana. Salahnya, kebanyakan orang memahami semua perempuan di mana pun harus begitu, padahal tidak. Jika begitu, Islam tidak akan diterima di negara lain.
Anda saat ini sudah memimpin pesantren, kesulitan apa yang Anda hadapi?
Menjaga perempuan di sini kesulitan paling pertama.
Saya dititipkan oleh orangtua siswi untuk menjaga mereka, agar mereka itu bisa menjaga pergaulan. Terutama pergaulan dengan lelaki, jangan sampai mereka bergaul bebas sampai melanggar aturan agama. Jadi kebanyakan orangtua menitipkan anak lelaki dan perempuannya agar mereka dijaga dari pergaulan yang merusak.
Banyak sekali aturan yang saya terapkan untuk menjaga mereka. Tidak boleh keluar malam, tidak boleh keluar tanpa izin, dan tidak boleh memegang ponsel kecuali saat pergi kuliah.
Di pesantren ini ada 900 lelaki dan 500 perempuan, jadi hampir 1.000 santri yang saya asuh. Jika ada melanggar aturan berat, akan dikeluarkan dan dikirim ke pesantren yang mau menerima mereka.
Sebab kalau ada santri yang nakal, dia akan menjadi virus untuk santri-santri lain.
Menjaga perempuan. Apa yang Anda lakukan?
Kebanyakan santri perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Saya banyak sekali mempunyai santri yang menghadapi kasus kekerasan seksual.
Misalnya saja, ada santri perempuan yang masih polos berkenalan dengan lelaki, tidak sedikit lelaki itu yang melakukan kekerasan seksual ke mereka. Padahal lelaki itu memperkenalkan dirinya ke saya dan mengaku ingin berbuat baik. Tapi lelaki itu mencabuli di luar pesantren.
Santri perempuan itu sebenarnya meronta dan melawan, tapi mereka diancam. Hal ini beberapa kali terjadi. Bahkan murid saya ada yang cerita diperkosa oleh saudara dan bapak tirinya.
Mereka takut mengadu karena dalam posisi dibiayai hidupnya oleh pelaku. Ada juga yang waktu kecil digauli oleh tetangga lelaki, dan ibunya tidak tahu. Kekerasan seksual itu terjadi saat orangtuanya pergi ke sawah. Mereka tidak mengerti, peristiwa itu masih terbayang sampai dewasa.
Dari banyaknya kasus itu di pesantren ini, saya jadi merenung betapa sulitnya menjadi perempuan. Sebab kekerasan seksual itu terjadi di lingkungan terdekat, dan dilakukan oleh tetangga dan keluarga sendiri.