Ramos Horta: Jadi Korban Hoax dan Nasib Jurnalis Timor Leste

Senin, 22 Mei 2017 | 07:00 WIB
Ramos Horta: Jadi Korban Hoax dan Nasib Jurnalis Timor Leste
Jose Ramos Horta. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Jose Manuel Ramos-Horta pernah menjadi jurnalis di Timor Leste saat pendudukan Portugis sekitar tahun 1969, saat usianya 20-an tahun. Kecintaannya terhadap jurnalistik karena saat itu negaranya tengah dijajah.

Kesempatan bekerja Timor Leste saat itu kecil, ditambah tidak ada universitas di sana. Ramos Horta muda lebih banyak membaca dan menulis setelah lulus dari sekolah menengah. Banyak membaca, membuat Horta kritis dengan penjajahan yang dilakukan Portugis.

Dia pernah mengkritisi penjajahan Portugis dalam beberapa artikel surat kabar. Sampai akhirnya Horta diasingkan ke Mozambik, salah satu negara jajahan Portugis lainnya selama dua tahun antara 1970 sampai 1971.

Sempat menjadi bagian dari Indonesia, sekarang Timor Leste sudah menjadi negara berdaulat. Horta sempat menjadi presiden kedua dan perdana menteri Timor Leste.

Belum lama ini, peraih Nobel Perdamaian tahun 1996 itu datang ke Jakarta untuk menghadiri Word Press Freedom Day 2017. Dia menjadi salah satu pembicara di panel diskusi “Quality Journalism: a public good for just, peaceful and inclusive societies”.

Dalam diskusi yang dihadiri Vice President of News, Google Richard Gingras dan jurnalis internasional. Mereka membicarakan kebebasan pers, kualitas jurnalistik, sampai jurnalisme masa kini.

Melihat jurnalisme masa kini, Horta menegaskan lebih memilih jurnalisme yang bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan Horta tidak percaya 100 persen kepada media yang meliputnya dan bisa mempublikasi pernyataannya secara utuh. Dia beranggapan media masa kini kental dengan kepentingan pemodal.

Horta mempunyai pengalaman diliput oleh jurnalis asing. Jurnalis yang singgah di Timor Leste selama 3 hari itu memberitakan hal yang tidak menyenangkan untuk Horta. Untuk menyampaikan klarifikasi, Horta lebih memilih menuliskan hak jawabnya di “wall” Facebook pribadi.

“Saya langsung menuliskannya ke wall di Facebook untuk mengcounter cerita di media itu. Jadi bagi saya, sosial media yang tidak bisa terkontrol mungkin lebih baik, daripada tergantung kepada media yang dikontrol oleh industri lain-lain,” kata Horta.

Horta termasuk yang selektif membaca media massa. Dia lebih percaya dengan media sosial.

Horta menyayangkan media massa internasional lebih senang menggambarkan konflik di dunia, daripada menganggat peristiwa inspiratif dan membangun.

“Tragedi di suriah, Yaman, dan Sudan. Kita ketahui keadaan di sana, di sana banyak jurnalis yang berani. Tapi ada banyak cerita tidak memberikan semangat. Padahal ada juga cerita yang menarik di sana, ada tokoh-tokoh yang melakukan hal yang baik di dunia ini, tapi itu semua tidak ada pemberitaanya,” katanya.

“Yang saya ingin katakana, dunia ini tidak hanya berisi tragedi saja, ada juga di luar sana cerita inspirasi, dan indah. Misal di Indonesia, Amerika, dan di negara saya. Cerita itu tidak terdengar, sebenarnya cerita itu harus diceritakan karena cerita ini inspirasional dan membangun harapan kita,” tambahnya.

Kebebasan pers di Timor Leste lebih baik daripada Indonesia. Indeks Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Index) 2017 memberikan peringkat Timor Leste di urutan 98 negara yang mempunyai kebebasan pers. Di kawasan Asia Tenggara, Timor Leste yang paling baik.

Sementara Indonesia di peringkat 124 dari 180 negara. Sementara Filipina di peringkat 127, Burma 131, Kamboja 132, Thailand 142, Malaysia 144, Singapura 151, Brunei 156, Laos 170 dan Vietnam 175. Yang paling buruk Korea Utara di peringkat 180 dan yang terbaik Norwegia di peringkat pertama.

Sejak Timor Leste resmi menjadi sebuah negara berdaulat tahun 2002, media di sana berjuang untuk membangun. Mulai dari membangun sarana fisik sampai membangun sumber daya manusia. Pers Timor Leste pun pernah mengalami ancaman serius. Negara tersebut belum stabil sampai insiden penyerangan terhadap Jose Ramos Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao sekitar tahun 2008.

Hingga kini, masalah serius yang dihadapi dunia pers Timor Leste adalah membangun media yang independen dan minimnya kesejahteraan jurnalis setempat.

Usai menjadi pembicara di panel yang dihadiri jurnalis internasional, suara.com berbincang dengan Horta. Dia banyak bicara soal kebebasan pers di Timor Leste yang sedang dibangun.

Tak hanya itu, Horta juga bicara soal nasib jurnalis di sana. Dia juga mengungkapkan pernah menjadi korban media abal-abal dan hoax.

Berikut wawancara lengkapnya:

Bagaimana kondisi kebebasan pers di Timor Leste?

Kita sangat mempunyai kebebasan pers di Timor Leste. Kita sudah mempunyai media cetak harian, mingguan, bulanan. Selain itu banyak juga radio, dan televisi. Kita juga mempunyai 1 TV nasional yang dibiayai pemerintah, tapi TV ini independen seperti BBC.

Jurnalis di negara kami juga sangat berdedikasih, mereka mendapatkan banyak pelatihan. Banyak penduduk di negara kami sudah menggunakan intenet, terutama generasi mudanya.

Mereka juga aktif menggunakan Facebook dan membeli koran.

Tapi media cetak di negara kami tidak bisa bertahan hidup, karena berita  di media cetak tidak gratis dan tidak bisa diakses bebas karena harus membeli. Ekonomi di negera kami terbatas, artinya kita tidak bisa menemukan banyak bisnis periklanan di sana untuk memasang iklan di media cetak.

Jadi media di negara kami sangat berjuang untuk bertahan hidup.

Hoax menjadi musuh bersama dunia saat ini, hoax ini dilahirkan oleh media abal-abal. Apakah Anda pernah menjadi korban media abal-abal di Timor Leste?

Iya, sering sekali. Tapi itu lah fakta hidup di masa kini.

Seberapa sering Anda mejadi korban media abal-abal?

Saya tidak pernah menghitung. Tapi yang sering ada media yang mengambil foto saya dan menjajarkannya dengan foto seseorang menggunakan photoshop. Lalu menuliskan sesuatu yang diklaim sebagai perkataan saya.

Padahal saya tidak mengatakan itu semua. Publik pun membacanya dan percaya itu sebagai pernyataan saya.

Jadi begitulah kemunculan berita bohong yang menimpa saya. Jadi bagaimana mereka (media abal-abal) mencari pembaca, menyebarkannya, dan semua orang membacanya.

Apakah media abal-abal di Timor Leste tumbuh dengan subur?

Tidak terlalu subur. Orang-orang di Timor Leste sudah paham mana saja berita-berita yang tidak benar. Mereka kritis dan banyak bertanya.

Suatu kali, ada berita hoax tentang Presiden Trump yang menandatangani soal membangun tembok perbatasan di Timor Leste, itu hoax. Tapi  mereka (publik) mempercayainya.

Apa tantangan Timor Leste dalam menghadapi perkembangan media baru di era media digital saat ini?

Sebuah tantangan atau kreteria untuk menghadapi media baru atau digital media saat ini, pemerintah harus terbuka. Pemerintah harus membiarkan publik untuk mendapatkan hak bicaranya.

Publik media juga harus memperkuat profesionalitas dengan sering melakukan training media dan juga memperkuat media dari sisi ekonomi.

Karena media harus bertahan dan membayar upah jurnalis dengan layak. Tapi jurnalis di Timor Leste mempunyai masalah transportasi dan akses komunikasi.

Jadi tantangan kongkrit jurnalis di Timor Leste banyak sekali, begitu juga tantangan politik.

Anda mengatakan banyak jurnalis yang mendapatkan upah tidak layak di Timor Leste. Seberapa banyak?

Timor Leste mempunyai 400-an jurnalis dari berbagai bidang, media cetak, radio dan juga televisi. Gaji mereka sangat standar. Banyak jurnalis di sana yang bertahan hidup dengan gaji itu.

Tapi negara kami masih terus akan berkembang dan ini jadi pekerjaan berat kami. Kami akan terus bekerja.

Di negera kami, selama bertahun-tahun melakukan pelatihan terhadap jurnalis. Untuk menjadi jurnalis yang baik dan kredible dan memberikan informasi yang baik terhadap masyarakat, kalian harus mempunyai klasifikasi.

Misal klasifikasi akademis, agar bisa menuliskan cerita yang baik.

Tapi sayangnya di negara seperti kita berbenturan dengan anggaran, dibayar dengan minim. Setiap hari mereka harus berjuang untuk bertahan hidup. Mereka tidak punya laptop, kalau punya pun mereka tidak bisa membayar untuk internet.

Maka itu lah solidaritas internasional diperlukan, nantinya kita bisa memberikan peluang lebih tinggi untuk jurnlis di negara itu.

Di negara saya, banyak sekali jurnalis yang miskin, tapi mereka banyak berdedikasi dan melakukan kritisi terhadap pemerintah.

Biografi singkat Ramos Horta

Jose Manuel Ramos Horta lahir di Dili, 26 Desember 1949. Dia dalah adalah Presiden Timor Leste kedua sejak merdeka dari Indonesia. Sebelumnya ia menjabat sebagai Perdana Menteri Timor Leste dari 8 Juli 2006 sampai 20 Mei 2007. Ramos Horta juga pernah menjadi menteri luar negeri di masa transisi kemerdekaan Timor Leste. Di masa Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia sejak 1975-1999, Horta bertindak sebagai juru bicara bagi perlawanan Timor Leste.

Horta sangat aktif terlibat dalam pengembangan kesadaran berpolitik di Timor Portugis yang menyebabkannya diasingkan selama dua tahun pada 1970-1971 ke Afrika Timur Portugis. Ramos Horta pernah berpidato di depan Dewan Keamanan PBB untuk mengungkap militer Indonesia yang melakukan pembantaian atas lebih dari 200.000 orang Timor Leste selama 1976 dan 1981.

Ramos Horta belajar Hukum Internasional Publik di Akademi Hukum Internasional Den Haag (1983) dan di Universitas Antioch di mana ia mendapatkan gelar Master dalam Studi Perdamaian (1984). Dia terlatih dalam Hukum Hak Asasi Manusia di Institut Internasional Hak-hak Asasi Manusia di Strasbourg, Perancis (1983). Dia juga mengikuti kelas-kelas pascasarjana dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika di Universitas Columbia di New York (1983). Dia juga adalah anggota Perkumpulan Senior College St Anthony, Oxford, England (1987).

Pada Desember 1996, Ramos Horta mendapatkan Penghargaan Nobel Perdamaian dengan rekan senegaranya, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo. Komite Nobel memilih kedua penerima ini untuk usahanya untuk mencegah penindasan terhadap sekelompok kecil rakyat.

Horta juga pernah ditunjuk menjadi utusan khusus Sekjen PBB untuk Guinea Bissau menggantikan Joseph Mutaboba diplomat asal Rwanda tahun 2013 selama 1 tahun.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI