Hoax menjadi musuh bersama dunia saat ini, hoax ini dilahirkan oleh media abal-abal. Apakah Anda pernah menjadi korban media abal-abal di Timor Leste?
Iya, sering sekali. Tapi itu lah fakta hidup di masa kini.
Seberapa sering Anda mejadi korban media abal-abal?
Saya tidak pernah menghitung. Tapi yang sering ada media yang mengambil foto saya dan menjajarkannya dengan foto seseorang menggunakan photoshop. Lalu menuliskan sesuatu yang diklaim sebagai perkataan saya.
Padahal saya tidak mengatakan itu semua. Publik pun membacanya dan percaya itu sebagai pernyataan saya.
Jadi begitulah kemunculan berita bohong yang menimpa saya. Jadi bagaimana mereka (media abal-abal) mencari pembaca, menyebarkannya, dan semua orang membacanya.
Apakah media abal-abal di Timor Leste tumbuh dengan subur?
Tidak terlalu subur. Orang-orang di Timor Leste sudah paham mana saja berita-berita yang tidak benar. Mereka kritis dan banyak bertanya.
Suatu kali, ada berita hoax tentang Presiden Trump yang menandatangani soal membangun tembok perbatasan di Timor Leste, itu hoax. Tapi mereka (publik) mempercayainya.
Apa tantangan Timor Leste dalam menghadapi perkembangan media baru di era media digital saat ini?
Sebuah tantangan atau kreteria untuk menghadapi media baru atau digital media saat ini, pemerintah harus terbuka. Pemerintah harus membiarkan publik untuk mendapatkan hak bicaranya.
Publik media juga harus memperkuat profesionalitas dengan sering melakukan training media dan juga memperkuat media dari sisi ekonomi.
Karena media harus bertahan dan membayar upah jurnalis dengan layak. Tapi jurnalis di Timor Leste mempunyai masalah transportasi dan akses komunikasi.
Jadi tantangan kongkrit jurnalis di Timor Leste banyak sekali, begitu juga tantangan politik.
Anda mengatakan banyak jurnalis yang mendapatkan upah tidak layak di Timor Leste. Seberapa banyak?
Timor Leste mempunyai 400-an jurnalis dari berbagai bidang, media cetak, radio dan juga televisi. Gaji mereka sangat standar. Banyak jurnalis di sana yang bertahan hidup dengan gaji itu.
Tapi negara kami masih terus akan berkembang dan ini jadi pekerjaan berat kami. Kami akan terus bekerja.
Di negera kami, selama bertahun-tahun melakukan pelatihan terhadap jurnalis. Untuk menjadi jurnalis yang baik dan kredible dan memberikan informasi yang baik terhadap masyarakat, kalian harus mempunyai klasifikasi.
Misal klasifikasi akademis, agar bisa menuliskan cerita yang baik.
Tapi sayangnya di negara seperti kita berbenturan dengan anggaran, dibayar dengan minim. Setiap hari mereka harus berjuang untuk bertahan hidup. Mereka tidak punya laptop, kalau punya pun mereka tidak bisa membayar untuk internet.
Maka itu lah solidaritas internasional diperlukan, nantinya kita bisa memberikan peluang lebih tinggi untuk jurnlis di negara itu.
Di negara saya, banyak sekali jurnalis yang miskin, tapi mereka banyak berdedikasi dan melakukan kritisi terhadap pemerintah.
Biografi singkat Ramos Horta
Jose Manuel Ramos Horta lahir di Dili, 26 Desember 1949. Dia dalah adalah Presiden Timor Leste kedua sejak merdeka dari Indonesia. Sebelumnya ia menjabat sebagai Perdana Menteri Timor Leste dari 8 Juli 2006 sampai 20 Mei 2007. Ramos Horta juga pernah menjadi menteri luar negeri di masa transisi kemerdekaan Timor Leste. Di masa Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia sejak 1975-1999, Horta bertindak sebagai juru bicara bagi perlawanan Timor Leste.
Horta sangat aktif terlibat dalam pengembangan kesadaran berpolitik di Timor Portugis yang menyebabkannya diasingkan selama dua tahun pada 1970-1971 ke Afrika Timur Portugis. Ramos Horta pernah berpidato di depan Dewan Keamanan PBB untuk mengungkap militer Indonesia yang melakukan pembantaian atas lebih dari 200.000 orang Timor Leste selama 1976 dan 1981.
Ramos Horta belajar Hukum Internasional Publik di Akademi Hukum Internasional Den Haag (1983) dan di Universitas Antioch di mana ia mendapatkan gelar Master dalam Studi Perdamaian (1984). Dia terlatih dalam Hukum Hak Asasi Manusia di Institut Internasional Hak-hak Asasi Manusia di Strasbourg, Perancis (1983). Dia juga mengikuti kelas-kelas pascasarjana dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika di Universitas Columbia di New York (1983). Dia juga adalah anggota Perkumpulan Senior College St Anthony, Oxford, England (1987).
Pada Desember 1996, Ramos Horta mendapatkan Penghargaan Nobel Perdamaian dengan rekan senegaranya, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo. Komite Nobel memilih kedua penerima ini untuk usahanya untuk mencegah penindasan terhadap sekelompok kecil rakyat.
Horta juga pernah ditunjuk menjadi utusan khusus Sekjen PBB untuk Guinea Bissau menggantikan Joseph Mutaboba diplomat asal Rwanda tahun 2013 selama 1 tahun.