Suara.com - Jose Manuel Ramos-Horta pernah menjadi jurnalis di Timor Leste saat pendudukan Portugis sekitar tahun 1969, saat usianya 20-an tahun. Kecintaannya terhadap jurnalistik karena saat itu negaranya tengah dijajah.
Kesempatan bekerja Timor Leste saat itu kecil, ditambah tidak ada universitas di sana. Ramos Horta muda lebih banyak membaca dan menulis setelah lulus dari sekolah menengah. Banyak membaca, membuat Horta kritis dengan penjajahan yang dilakukan Portugis.
Dia pernah mengkritisi penjajahan Portugis dalam beberapa artikel surat kabar. Sampai akhirnya Horta diasingkan ke Mozambik, salah satu negara jajahan Portugis lainnya selama dua tahun antara 1970 sampai 1971.
Sempat menjadi bagian dari Indonesia, sekarang Timor Leste sudah menjadi negara berdaulat. Horta sempat menjadi presiden kedua dan perdana menteri Timor Leste.
Belum lama ini, peraih Nobel Perdamaian tahun 1996 itu datang ke Jakarta untuk menghadiri Word Press Freedom Day 2017. Dia menjadi salah satu pembicara di panel diskusi “Quality Journalism: a public good for just, peaceful and inclusive societies”.
Dalam diskusi yang dihadiri Vice President of News, Google Richard Gingras dan jurnalis internasional. Mereka membicarakan kebebasan pers, kualitas jurnalistik, sampai jurnalisme masa kini.
Melihat jurnalisme masa kini, Horta menegaskan lebih memilih jurnalisme yang bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan Horta tidak percaya 100 persen kepada media yang meliputnya dan bisa mempublikasi pernyataannya secara utuh. Dia beranggapan media masa kini kental dengan kepentingan pemodal.
Horta mempunyai pengalaman diliput oleh jurnalis asing. Jurnalis yang singgah di Timor Leste selama 3 hari itu memberitakan hal yang tidak menyenangkan untuk Horta. Untuk menyampaikan klarifikasi, Horta lebih memilih menuliskan hak jawabnya di “wall” Facebook pribadi.
“Saya langsung menuliskannya ke wall di Facebook untuk mengcounter cerita di media itu. Jadi bagi saya, sosial media yang tidak bisa terkontrol mungkin lebih baik, daripada tergantung kepada media yang dikontrol oleh industri lain-lain,” kata Horta.
Horta termasuk yang selektif membaca media massa. Dia lebih percaya dengan media sosial.
Horta menyayangkan media massa internasional lebih senang menggambarkan konflik di dunia, daripada menganggat peristiwa inspiratif dan membangun.
“Tragedi di suriah, Yaman, dan Sudan. Kita ketahui keadaan di sana, di sana banyak jurnalis yang berani. Tapi ada banyak cerita tidak memberikan semangat. Padahal ada juga cerita yang menarik di sana, ada tokoh-tokoh yang melakukan hal yang baik di dunia ini, tapi itu semua tidak ada pemberitaanya,” katanya.
“Yang saya ingin katakana, dunia ini tidak hanya berisi tragedi saja, ada juga di luar sana cerita inspirasi, dan indah. Misal di Indonesia, Amerika, dan di negara saya. Cerita itu tidak terdengar, sebenarnya cerita itu harus diceritakan karena cerita ini inspirasional dan membangun harapan kita,” tambahnya.
Kebebasan pers di Timor Leste lebih baik daripada Indonesia. Indeks Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Index) 2017 memberikan peringkat Timor Leste di urutan 98 negara yang mempunyai kebebasan pers. Di kawasan Asia Tenggara, Timor Leste yang paling baik.
Sementara Indonesia di peringkat 124 dari 180 negara. Sementara Filipina di peringkat 127, Burma 131, Kamboja 132, Thailand 142, Malaysia 144, Singapura 151, Brunei 156, Laos 170 dan Vietnam 175. Yang paling buruk Korea Utara di peringkat 180 dan yang terbaik Norwegia di peringkat pertama.
Sejak Timor Leste resmi menjadi sebuah negara berdaulat tahun 2002, media di sana berjuang untuk membangun. Mulai dari membangun sarana fisik sampai membangun sumber daya manusia. Pers Timor Leste pun pernah mengalami ancaman serius. Negara tersebut belum stabil sampai insiden penyerangan terhadap Jose Ramos Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao sekitar tahun 2008.
Hingga kini, masalah serius yang dihadapi dunia pers Timor Leste adalah membangun media yang independen dan minimnya kesejahteraan jurnalis setempat.
Usai menjadi pembicara di panel yang dihadiri jurnalis internasional, suara.com berbincang dengan Horta. Dia banyak bicara soal kebebasan pers di Timor Leste yang sedang dibangun.
Tak hanya itu, Horta juga bicara soal nasib jurnalis di sana. Dia juga mengungkapkan pernah menjadi korban media abal-abal dan hoax.
Berikut wawancara lengkapnya:
Bagaimana kondisi kebebasan pers di Timor Leste?
Kita sangat mempunyai kebebasan pers di Timor Leste. Kita sudah mempunyai media cetak harian, mingguan, bulanan. Selain itu banyak juga radio, dan televisi. Kita juga mempunyai 1 TV nasional yang dibiayai pemerintah, tapi TV ini independen seperti BBC.
Jurnalis di negara kami juga sangat berdedikasih, mereka mendapatkan banyak pelatihan. Banyak penduduk di negara kami sudah menggunakan intenet, terutama generasi mudanya.
Mereka juga aktif menggunakan Facebook dan membeli koran.
Tapi media cetak di negara kami tidak bisa bertahan hidup, karena berita di media cetak tidak gratis dan tidak bisa diakses bebas karena harus membeli. Ekonomi di negera kami terbatas, artinya kita tidak bisa menemukan banyak bisnis periklanan di sana untuk memasang iklan di media cetak.
Jadi media di negara kami sangat berjuang untuk bertahan hidup.