Ismail Hasani: Setelah Kasus Ahok, Kelompok Radikal Terus Menguat

Senin, 15 Mei 2017 | 07:00 WIB
Ismail Hasani: Setelah Kasus Ahok, Kelompok Radikal Terus Menguat
Peneliti HAM dan Keberagaman, Ismail Hasani. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjadi orang yang ke-97 yang berurusan dengan delik penodaan agama. Ke-96 orang lainnya menjadi terlapor penodaan agama di kurun waktu 1965 sampai 2017.

Pekan lalu organisasi yang fokus memperhatikan masalah hak asasi manusia, demokrasi dan keberagaman, Setara Institut membebeberkan kajian ilmiah tentang persoalan itu. Mereka menemukan banyak masalah di penerapan kasus penodaan agama, terlepas dari kasus yang menjerat Gubernur DKI Jakarta nonaktif itu.

Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan dengan menganalisa dokumen, mengolah data skunder, dan berdiskusi dengan beberapa ahli dan peneliti.

Seretan nama yang dituduh menista agama di antaranya, Lia Eden, Abdul Rahman, eks Pimpinan Gafatar Ahmad Musadeq, Hans Bague Jassin, Arswendo Atmowiloto, Sumardin Tapaya, Yusman Roy, sampai Pimpinan Sekte Kiamat Mangapin Sibuea. Nama-nama itu yang heboh di media, sama dengan Ahok. Mereka dilaporkan 3 kelompok dan 148 perorangan.

Konteks kasus penodaan agama yang terjadi selama ini palimg banyak dilatar belakangi polemik pemahaman keagamaan, polemik kebebasan berpendapat dan berekspresi dan polemik gerakan keagamaan baru atau aliran kepercayaan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, ini dia pangkal masalahnya. UU ini telah diturunkan ke UU Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 dan UU pasal Informasi dan Transaksi Elektronik 28 ayat 2. Ini juga yang menyebabkan dari 97 kasus penodaan agama selama 1965 sampai 2017, 9 kasus terjadi sebelum era reformasi (1998) dan sesudah reformasi sebanyak 88 kasus penodaan agama.

Sekilas delik penodaan agama bertujuan mulia, namun harus dilihat dari sudut pandang yang jernih dan rasional, begitu kata Ismail Hasani. Ismail Hasani adalah pendiri Setara Institut dan memimpin riset ‘Rezem Penodaan Agama 1965-2017’. Pakar hukum itu sejak awal reformasi banyak berkutat di isu toleransi, terorisme dan kebebasan berkeyakinan. Dia pernah meneliti soal gerakan organisasi radikal di Indonesia, bahkan hingga kini.

Suara.com berbincang dengan Ismail di ruang kerjanya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pekan lalu. Dia banyak menganalisa delik penodaan agama lebih banyak dipakai untuk kepentingan ‘jahat’ seseorang. Alih-alih bertujuan menjaga kesucian dan toleransi beragama, delik penodaan agama dipakai untuk kepentingan politik, bahkan pihak swasta untuk menjatuhkan lawan bisnisnya.

Paling hangat, delik penodaan agama menjerat Ahok. Kasus ini banyak turunannya. Mulai dari demo ‘bela Islam’ ormas yang berkali-kali, sampai pemerintah niat membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dinilai merongrong Pancasila.

Namun yang pasti, yang paling menakutkan di balik kasus Ahok dan demo itu adalah semakin tumbuhnya organisasi radikal di Indonesia. Kata Ismai, Presiden Joko Widodo pantas untuk waspada melihat dituasi saat ini.

Lalu, apa buktinya Indonesia lagi rawan organisasi radikal? Bagaimana cara mencegahnya?

Simak wawancara suara.com dengan Ismail Hasani berikut ini:

Setara Institut mencatat hampir 100 ‘korban’ delik penodaan agama sejak 1965 sampai 2017. Bagaimana membaca situasi itu?

Sebanyak 88 kasus penodaan agama terjadi setelah reformasi, sementara 9 kasus terjadi pada reformasi. Artinya pertama, bahwa dalam catatan kami dalam 10 tahun terakhir ada desain politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas. Orang-orang diseragamkan atasnama agama dan moral itu. Isu penodaan agama dijadikan sebagai alat penundukan.

Transisi politik dalam teori selalu melahirkan dua kecenderungan. Pertama, kembalinya kekuatan lama ke panggung politik baru. Kedua, kokohnya kekuatan politik baru dengan mengusung nilai-nilai baru. Tapi khusus di Indonesia, munculnya kekuatan ketiga.

Preseden ini tidak terjadi di berbagai negara yang mengalami proses transisi demokrasi. Kekuatan ketiga ini memanfaatkan instrument demokrasi, tetapi untuk mempromosikan nilai-nilai yang antidemokrasi. Kekuatan ketiga itu bisa ada di tubuh parlemen, partai politik, ormas dan sebagainya.

Artinya 10 tahun kemarin adalah masa penguatan kelompok intoleran…

Betul, dalam 10 tahun terakhir kelompok ini lah yang menguasai ruang publik terkait kebebasan beragama dan berekspresi. Karena itu dengan mudah orang dikriminalisasi seseorang dengan tuduhan penodaan agama.

Lalu kenapa kasus ini meningkat? Karena kekuatan ketiga ini kesulitan mencari kapital politik baru sebagai alat untuk memperluas konstituennya. Makanya kelompok yang digarap oleh kelompok ini menggunakan instrument agama dengan menjadikan berbagai isu yang berhubungan dengan agama dan bisa menyulut. Sehingga ini sama dengan menggunakan umat sebagai alat politik.

Karena itu buat saya, kriminalisi penodaan agama dan aliran kepercayaan, persoalan menunggu giliran saja.

Di masa lalu (orde baru) orientasi politik Indonesia koeksistensi, kerukunan, kedamaian, ketertiban. Atasnama kerukunan represi dijalankan, memang tidak juga suasananya. Sebaliknya saat ini di mana orang bisa merasakan kebebasan berpendapat dan sebagainya, tapi orang dengan mudah menggunakan demokrasi untuk menundukan pihak yang dia tidak kehendaki keberadaannya.

Soal peristiwa yang diikuti dengan tekanan massa dan tidak diikuti tekanan massa. Sejatinya dalam UU PNPS itu, di pasal hukum acara, ketika ada orang yang diduga melakukan penodaan harus diperingari sebelumnya. Tapi dengan tekanan massa, langkah ini hampir tidak dilalui.

Kelompok pro hak asasi manusia mengkritik putusan penjara 2 tahun terhadap Ahok. Bagaimana publik seharusnya membaca putusan itu dengan pikiran jernih tanpa politis, terutama memahami soal pasal penodaan agama?

Saya harus mengatakan, putusan pengadilan terhadap Ahok akan memberikan preseden buruk bagi Indonesia. Ini terlepas dari Pilkada. Karena itu bukan hanya Ahok, tapi semua orang berpotensi mengalami hal yang sama. Karakter dari delik penodaan agama yang multitafsir dan bias rentan dipolitisasi untuk tujuan politik. Pasal ini digunakan sebagai alat pendudukan.

Institusi peradilan bisa menerapkan pasal ini lebih ketat dan berhati-hati. Pasal ini tidak serta merta begitu saja dibawa ke proses yudisial atau peradilan. Untuk jangka panjang, delik penodaan agama ini harus ditarik dari pembahasan Rancangan RUU KUHP.

Mahkamah Konstitusi sebenarnya menilai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama ini bermasalah. Tapi karena belum ada undang-undang baru yang menggantikannya, maka masih dinilai konstitusional. Pemerintah harus mengambil langkah untuk membuat UU baru. Tapi sampai hari ini langkah itu belum dilakukan.

Apakah kebanyakan kasus ini dilatarbelakangi politik?

Tidak, sebagian besar kasus sepele, dan dilatarbelakangi adanya konflik dan polemik. UU ini tidak steril dalam proses delik yang bisa diverifikasi sebagai melanggar. Yang paling penting bukan hanya dengan isu agama tapi tantangan ke depan, mengenai kebebasan berekspresi dan berpendapat dan jug keagamaan.

Kontestasi antar kelompok keagamaan juga bisa menggunakan alasan dalil penodaan beragama.

Apa yang perlu dipahami masyarakat tentang pasal penodaan ini?

Pertama, delik penodaan agama ini telah efektif menjadi alat penundukan bagi pihak-pihak yang berkonflik baik dalam konteks ketegangan berpolitik, atau juga konflik personal.

Dalam riset kami, semua latarnya konflik, kecuali 21 kasus yang diselesaikan di luar pengadilan, ternyata alat penundukan itu tidak efektif.

Jadi bisa dibayangkan delik penodaan agama ini bisa dipakai juga untuk kepentingan bisnis. Ini keluar dari genus sejarah-sejarah tentang penodaan agama yang seharusnya untuk melindungi kesucian agama.

Sekalipun dalam konteks hak asasi manusia, penodaan agama tidak dikenal. Dalam HAM, yang harus dibela adalah personal manusia, bukan agama itu sendiri.

Kedua, tafsir konteks ini kerumunan massa jadi legitimasi pembenar institusi penegak hukum. Sehingga persoalan selain ada pada delik penodaan agama itu sendiri, juga ada pada institusi peradilan.

Organisasi keagamaan subur sejak era reformasi. Bagaimana pergerakan mereka saai ini? Apakah ada penurunan aktivitas atau ada tren penaikan?

Aksi-aksi kemarin sudah bisa dijadikan indikator. Misal di Aksi 212, mereka bukan hanya anggota FPI saja, tapi masyarakat muslim, NU dan Muhammadiyah. Itu aksi betulan, bahkan yang mengadukan Ahok saja seorang Muhammadiyah. Mereka ikut demo karena merasa rentan dan diprovokasi identitasnya.

Pertanyaan penting, mengapa aksi itu bisa besar? Karena dalam 10 tahun terakhir, kelompok ini bekerja sangat efektif memberikan pengaruh dan pandangan keagamaan yang ‘berbeda’. Mereka berkembang sangat pesat. Ditambah, riset kami tahun 2010 mengklaim anggota FPI sebanyak 5 juta.

Kemampuan organisasi ini mempenetrasi kepada masyarakat dan memberikan jawab aktual yang dibutuhkan masyarakat.

FPI hadir di gang kecil dan hadir di tengah persoalan masyarakat. Jadi jangan kaget kalau mereka mendapatkan tempat di hati masyarakat. Apalagi yang digoreng adalah isu keagamaan. Jadi jawabannya, kelompok itu semakin membesar.

Ketegangan berdasarkan isu agama menjadi medium recovery kelompok intoleran dan radikal, pada kasus tertentu itu menjadi recovery kelompok teroris. Seperti pada aksi 212 ada Jamaah Anshorus Syariah yang ikut aksi.

(Catatan: Jamaah Ansharusy Syariah atau JAS adalah sebuah organisasi Islam di Indonesia. Organisasi ini merupakan pecahan dari JAT. JAS didirikan tahun 2014 di Bekasi. Pendirian JAS dilatarbelakangi karena merespon kondisi perbedaan pendapat yang terjadi pada anggota JAT dalam menyikapi fenomena klaim Khilafah Islamiyah oleh ISIS. Amir JAT, Abu Bakar Baasyir telah memutuskan bahwa seluruh anggota JAT yang menolak klaim Khilafah (ISIS) itu harus keluar dari Jamaah dan tidak lagi berada dalam ikatan JAT)

Mengapa ini digunakan medium recovery? Karena orang radikal itu selalu butuh tempaan. Mundur ke belakang, tahun 1999 kelompok ini berkembang cepat karena ada konflik Ambon dan Poso. Radikalisasinya tumbuh melihat saling adu antar kelompok keagamaan. 

Kalau dikaitkan dengan saat ini, mengapa mereka semakin besar?

Kombinasi. Mereka berobsesi menambah dukungan dari bermacam kelompok. Tapi mereka memiliki agenda politik hasil ‘perkawinan yang tidak sah’. Bisa dibayangkan, hal yang tidak dibayangkan sebelumnya ada kelompok yang berbeda haluan ikut mendukung  perlawanan terhadap Ahok.

Tapi di elemen negara, tidak ada penengakan hukum. Dari seluruh kasus pelanggaran kebebasan beragama, seperti perusakan masjid dan geraja, bisa dihitung dengan jari yang diselesaikan di pengadilan. Padahal nyata-nyata ada tindak pidana. Jadi mereka (kelompok intoleran) merasa kebal, bahkan ada yang mengatakan “ini bagian dari dakwah”.

Empat atau Lima tahun lalu, Anda pernah mengatakan ada aktor politik dalam memberikan ‘amunisi’ kepada kelompok FPI dan ormas radikal lainnya. Bagaimana peta ‘amunisi’ mereka saat ini?

Kalau HTI, saya percaya kekuatan dana internal mereka sangat kuat. Seorang sumber menyebutkan, HTI mempunya hampir 10 juta anggota di Indonesia. Hitung saja, jika masing-masing anggota iuran Rp100 ribu perbulan, itu sudah menutupi biaya operasional. Bahkan, jika mereka aksi, pasti menggunakan uang sendiri.

Berbeda dengan FPI. Sejak awal FPI sepeti kondom, bisa dipakai siapa saja dan untuk tujuan apa saja. Proyek pertama mereka di awal reformasi untuk memberantas preman, karena polisi dan TNI tidak mau kotor tangannya.

Lalu sekarang siapa sumber dananya? Mereka selalu mencari partner baru, karena tidak ada lagi patron yang loyal dan tunggal. Sekarang FPI menjadi petualang politik.

Berbeda dengan HTI, FPI tidak punya gagasan ideologi. FPI lebih prakmatis.

(Catatan: Hizbut Tahrir Indonesia adalah bagian dari organisasi Hizbut Tahrir yang berpusat di Palestina. HT ini adalah organisasi Islam yang berpolitik. Didirikan di Al Quds, Palestina pada tahun 1953.  Organisasi ini terang-terangan berideologi Islam dan berjuang untuk pembentukan kembali Khilafah Islam atau negara Islam. Mereka percaya itu semua bisa mempersatukan komunitas muslim di dunia. Mereka ingin negara-negara yang mereka 'duduki' mempunyai sistem hukum Syariah Islam. HT Internasional dibentuk oleh ulama sunni Syaikh Taqiuddin al-Nabhani rahimahullah. Dia adalah seorang sarjana hukum dan hakim pengadilan banding (Qadi) dari Palestina. Sejak 1953 itu, HT sudah terbentuk di 50 negara di dunia. Di Indonesia, terbentuk HTI. HTI masuk ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia mulai sekitar tahun 1983. HT juga masuk Malaysia. HT masuk Indonesia dan diperkenalkan Abdur-Rahman al-Baghdadi. Laporan Internasional Crisis Group tahun 2003 yang berjudul "RADICAL ISLAM IN CENTRAL ASIA: RESPONDING TO HIZB UT-TAHRIR" menyebutkan HTI berdiri di Indonesia sebagai organisasi radikal. Di era orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto, HTI hanya bisa bergerak di kampus. Setelah masuk era reformasi dan kebebasan berpendapat, HTI tumbuh dengan cepat. Saat kasus bom Bali 2002, HTI berada di barisan pendukung Abu Bakar Ba'asyir)

Apakah saat ini negara menggunakan ormas seperti itu untuk agenda politik tertentu?

Sekarang order tidak datang dari penguasa. Jika order  kelompok radikal menganggu, order tidak datang dari dalam rezim yang berkuasa. Tapi order datang dari luar rezim yang berkuasa.

Sependek saya baca Nawacita Jokowi, dia tidak berkompromi pada kekuatan yang anti militer dan kekuatan pro kekuasaan. Justru kekuatan oposisi yang menggunakan ini untuk menundukkan rezim yang berkuasa. Makanya sampai 2019, pendekatan untuk ribut-ribut masih sama.

Antara HTI dan FPI, sejauhmana tingkat ancaman mereka?

Dua-duanya berbahaya, tapi yang paling serius adalah HTI. Sebab mempunyai cita-cita dan gagasan politik. FPI hanya bertujuan jangka pendek meski di permukaan mereka menyebutkan berbagaimacam label agama, tapi itu tidak teruji. Antara visi misi FPI dan tindakan anggotanya tidak sejalan.

Saya pernah meneliti soal ini dan juga paham tentang HTI karena punya kesempatan berdiskusi dengan mereka.

Bagaimana publik harus menilai niat pemerintah untuk membubarkan HTI?

Itu niat yang baik dan harus didukung. Kita dukung pemerintah untuk mengkaji apakah ormas itu memenuhi syarat ada ancaman atau tidak. Tapi harus lewat jalur pengadilan, itu bisa dilalui 1,5 tahun.

Cara berpikirnya begini, secara politik pemikiran HTI harus diadu dengan pemikiran yang dianggap benar oleh negara. Secara politik pula, gagasan berkontes itu sah.

Kalau dipaksakan mereka dibubarkan tanpa lewat jalur pengadilan, ini akan jadi boomerang untuk pegiat hak asasi dan demokrasi. Namun apakah HTI merongrong ideologi pancasila, itu benar.

Tahun 2010, kami survei sudah 35 persen pendukung khilafah di Jabodetabek, ini sudah jadi kewaspadaan untuk pemerintah.  Mereka tinggal memperjuangkan suara 16 persen lagi untuk menang.

Banyak analis terorisme menyatakan kelompok radikal berpotensi untuk menjadi teroris. Apakah ini berlaku untuk HTI?

Tesis itu tidak hilang, justru dalam beberapa kasus ini terbukti, dari intoleransi ke radikal dan radikal ke teroris. Itu tesis yang tak terbantahkan, bahkan secara psikologi menjelaskan seseorang menjadi teroris melalui proses inkubasi yang efektif.

Berbagai peristiwa intoleransi di Pilkada DKI ini inkubasi yang efektif dan masif bagi menguatnya kelompok ini. Makanya bisa kita lihat 2 tahun ke depan, apakah kelompok ini semakin kokoh atau tidak.

Prediksi saya semakin kokoh, sebab pasca pilkada DKI muncul aktor baru yang luar biasa.

Belum lama ini ada sekolah yang siswanya menolak ketua kelas non muslim. Bagaimana Anda melihat ini? Sekolah menjadi tempat pembentukan intoleransi?

Siswa-siswi SMA ini pada 10 samai 20 tahun ke depan adalah pemegang kendali republik ini. Kami meriset di Jakarta, justru sekolah menjadi ajang memberikan paham radikal. Pelakunya guru, mereka sangat bekerja efektif dan intensif.

Anda pernah menulis soal merancang pembangunan Indonesia yang pluralis. Bagaimana caranya?

Di level negara, peraturan perundang-undangan yang diskriminarif harus dihapus. Pemerintah pusat harus memastikan perda diskriminatif tidak dibuat. Di level masyarakat, harus juga dikuatkan. Keluarga harus mempunyai imunitas terhadap intoleransi. Begitu juga di sekolah.

Bagaimana untuk mencegah intoleransi di masa depan? Terutama dalam konteks Pilpres 2019.

Saya yakinkan ke pihak-pihak yang meminta pendapat saya, jika Anda tidak menguasai masjid hari ini Anda akan tertinggal dan akan kalah.

“Anda”, itu siapa?

Jokowi. Sekarang atau tidak sama sekali merebut masjid-masjid itu (dari kelompok radikal). Karena setidaknya kita tidak menggunakan masjid untuk menjelekkan orang lain. Paling tidak menjegah penetrasi mereka. Dalam konteks keberagaman, kami sepakat masjid itu harus direbut. Karena tempat ibadah sudah jadi tempat berpolitik.

Biografi singkat Ismail Hasani

Ismail Hasani adalah seorang pengajar, peneliti, dan penulis. Mantan anggota tim asistensi Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir ini salah satu peneliti paling aktif terjun ke lapangan melakukan riset di bidang HAM, demokrasi dan isu keberagamanan. Termasuk isu terorisme. Ismail fasih bicara perkembangan ormas radikal berlatar agama yang berkembang pascareformasi.

Ismail mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2001) dan Sarjana Hukum dengan konsentrasi Tata Negaradari Universitas Muhammadiyah Jakarta (2012). Di 2004 Ismail, lulus dari program Magister Ilmu Hukum (MH.) Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Ismail mempunyai aktivitas panjang sebagai peneliti. Di antaranya pernah menjadi Direktur Eksekutif Masyarakat Pesantren untuk Pembangunan Indonesia (MP2i), Sekretaris Eksekutif Sentra Komunikasi dan Edukasi Nelayan Indonesia (SAKEN Indonesia), Kepala Departemen Research and Campaign Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Ketua Departemen HAM dan Demokrasi, Puskum HAM UIN Jakarta, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta untuk rumpun mata kuliah Hukum Tata Negara: Ilmu Perundang-undangan, Legal Drafting, Hukum dan Hak Asasi Manusia UIN Jakarta (sampa sekarang), Sekjen The Human Rights Institute (HRI): Jaringan Perguruan Tinggi Islam untuk Hak Asasi Manusia, Associate Researcher Median Institute Jakarta, Aggota Tim Asistensi Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir Berdasarkan Keputusan Presiden No. 111 / 2004, Peneliti Lepas di Komnas Perempuan untuk Program Women Acces to Justice; Gender Mainstreaming dalam Kebijakan Daerah, Peneliti & Manajer Program SETARA Institute (sampai sekarang), Konsultan untuk Pengembangan Keparalegalan di Indonesia, Justice for The Poor World Bank, Konsultan untuk Program Perempuan & Konstitusi, Komnas Perempuan, Koordinator Nasional Jaringan Paralegal Indonesia (JPI) (sampai sekarang), dan Ketua Presidium Akademisi Pengawal Pilar Bangsa (APPi Bangsa).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI