Ismail Hasani: Setelah Kasus Ahok, Kelompok Radikal Terus Menguat

Senin, 15 Mei 2017 | 07:00 WIB
Ismail Hasani: Setelah Kasus Ahok, Kelompok Radikal Terus Menguat
Peneliti HAM dan Keberagaman, Ismail Hasani. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Kalau dikaitkan dengan saat ini, mengapa mereka semakin besar?

Kombinasi. Mereka berobsesi menambah dukungan dari bermacam kelompok. Tapi mereka memiliki agenda politik hasil ‘perkawinan yang tidak sah’. Bisa dibayangkan, hal yang tidak dibayangkan sebelumnya ada kelompok yang berbeda haluan ikut mendukung  perlawanan terhadap Ahok.

Tapi di elemen negara, tidak ada penengakan hukum. Dari seluruh kasus pelanggaran kebebasan beragama, seperti perusakan masjid dan geraja, bisa dihitung dengan jari yang diselesaikan di pengadilan. Padahal nyata-nyata ada tindak pidana. Jadi mereka (kelompok intoleran) merasa kebal, bahkan ada yang mengatakan “ini bagian dari dakwah”.

Empat atau Lima tahun lalu, Anda pernah mengatakan ada aktor politik dalam memberikan ‘amunisi’ kepada kelompok FPI dan ormas radikal lainnya. Bagaimana peta ‘amunisi’ mereka saat ini?

Kalau HTI, saya percaya kekuatan dana internal mereka sangat kuat. Seorang sumber menyebutkan, HTI mempunya hampir 10 juta anggota di Indonesia. Hitung saja, jika masing-masing anggota iuran Rp100 ribu perbulan, itu sudah menutupi biaya operasional. Bahkan, jika mereka aksi, pasti menggunakan uang sendiri.

Berbeda dengan FPI. Sejak awal FPI sepeti kondom, bisa dipakai siapa saja dan untuk tujuan apa saja. Proyek pertama mereka di awal reformasi untuk memberantas preman, karena polisi dan TNI tidak mau kotor tangannya.

Lalu sekarang siapa sumber dananya? Mereka selalu mencari partner baru, karena tidak ada lagi patron yang loyal dan tunggal. Sekarang FPI menjadi petualang politik.

Berbeda dengan HTI, FPI tidak punya gagasan ideologi. FPI lebih prakmatis.

(Catatan: Hizbut Tahrir Indonesia adalah bagian dari organisasi Hizbut Tahrir yang berpusat di Palestina. HT ini adalah organisasi Islam yang berpolitik. Didirikan di Al Quds, Palestina pada tahun 1953.  Organisasi ini terang-terangan berideologi Islam dan berjuang untuk pembentukan kembali Khilafah Islam atau negara Islam. Mereka percaya itu semua bisa mempersatukan komunitas muslim di dunia. Mereka ingin negara-negara yang mereka 'duduki' mempunyai sistem hukum Syariah Islam. HT Internasional dibentuk oleh ulama sunni Syaikh Taqiuddin al-Nabhani rahimahullah. Dia adalah seorang sarjana hukum dan hakim pengadilan banding (Qadi) dari Palestina. Sejak 1953 itu, HT sudah terbentuk di 50 negara di dunia. Di Indonesia, terbentuk HTI. HTI masuk ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia mulai sekitar tahun 1983. HT juga masuk Malaysia. HT masuk Indonesia dan diperkenalkan Abdur-Rahman al-Baghdadi. Laporan Internasional Crisis Group tahun 2003 yang berjudul "RADICAL ISLAM IN CENTRAL ASIA: RESPONDING TO HIZB UT-TAHRIR" menyebutkan HTI berdiri di Indonesia sebagai organisasi radikal. Di era orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto, HTI hanya bisa bergerak di kampus. Setelah masuk era reformasi dan kebebasan berpendapat, HTI tumbuh dengan cepat. Saat kasus bom Bali 2002, HTI berada di barisan pendukung Abu Bakar Ba'asyir)

Apakah saat ini negara menggunakan ormas seperti itu untuk agenda politik tertentu?

Sekarang order tidak datang dari penguasa. Jika order  kelompok radikal menganggu, order tidak datang dari dalam rezim yang berkuasa. Tapi order datang dari luar rezim yang berkuasa.

Sependek saya baca Nawacita Jokowi, dia tidak berkompromi pada kekuatan yang anti militer dan kekuatan pro kekuasaan. Justru kekuatan oposisi yang menggunakan ini untuk menundukkan rezim yang berkuasa. Makanya sampai 2019, pendekatan untuk ribut-ribut masih sama.

Antara HTI dan FPI, sejauhmana tingkat ancaman mereka?

Dua-duanya berbahaya, tapi yang paling serius adalah HTI. Sebab mempunyai cita-cita dan gagasan politik. FPI hanya bertujuan jangka pendek meski di permukaan mereka menyebutkan berbagaimacam label agama, tapi itu tidak teruji. Antara visi misi FPI dan tindakan anggotanya tidak sejalan.

Saya pernah meneliti soal ini dan juga paham tentang HTI karena punya kesempatan berdiskusi dengan mereka.

Bagaimana publik harus menilai niat pemerintah untuk membubarkan HTI?

Itu niat yang baik dan harus didukung. Kita dukung pemerintah untuk mengkaji apakah ormas itu memenuhi syarat ada ancaman atau tidak. Tapi harus lewat jalur pengadilan, itu bisa dilalui 1,5 tahun.

Cara berpikirnya begini, secara politik pemikiran HTI harus diadu dengan pemikiran yang dianggap benar oleh negara. Secara politik pula, gagasan berkontes itu sah.

Kalau dipaksakan mereka dibubarkan tanpa lewat jalur pengadilan, ini akan jadi boomerang untuk pegiat hak asasi dan demokrasi. Namun apakah HTI merongrong ideologi pancasila, itu benar.

Tahun 2010, kami survei sudah 35 persen pendukung khilafah di Jabodetabek, ini sudah jadi kewaspadaan untuk pemerintah.  Mereka tinggal memperjuangkan suara 16 persen lagi untuk menang.

Banyak analis terorisme menyatakan kelompok radikal berpotensi untuk menjadi teroris. Apakah ini berlaku untuk HTI?

Tesis itu tidak hilang, justru dalam beberapa kasus ini terbukti, dari intoleransi ke radikal dan radikal ke teroris. Itu tesis yang tak terbantahkan, bahkan secara psikologi menjelaskan seseorang menjadi teroris melalui proses inkubasi yang efektif.

Berbagai peristiwa intoleransi di Pilkada DKI ini inkubasi yang efektif dan masif bagi menguatnya kelompok ini. Makanya bisa kita lihat 2 tahun ke depan, apakah kelompok ini semakin kokoh atau tidak.

Prediksi saya semakin kokoh, sebab pasca pilkada DKI muncul aktor baru yang luar biasa.

Belum lama ini ada sekolah yang siswanya menolak ketua kelas non muslim. Bagaimana Anda melihat ini? Sekolah menjadi tempat pembentukan intoleransi?

Siswa-siswi SMA ini pada 10 samai 20 tahun ke depan adalah pemegang kendali republik ini. Kami meriset di Jakarta, justru sekolah menjadi ajang memberikan paham radikal. Pelakunya guru, mereka sangat bekerja efektif dan intensif.

Anda pernah menulis soal merancang pembangunan Indonesia yang pluralis. Bagaimana caranya?

Di level negara, peraturan perundang-undangan yang diskriminarif harus dihapus. Pemerintah pusat harus memastikan perda diskriminatif tidak dibuat. Di level masyarakat, harus juga dikuatkan. Keluarga harus mempunyai imunitas terhadap intoleransi. Begitu juga di sekolah.

Bagaimana untuk mencegah intoleransi di masa depan? Terutama dalam konteks Pilpres 2019.

Saya yakinkan ke pihak-pihak yang meminta pendapat saya, jika Anda tidak menguasai masjid hari ini Anda akan tertinggal dan akan kalah.

“Anda”, itu siapa?

Jokowi. Sekarang atau tidak sama sekali merebut masjid-masjid itu (dari kelompok radikal). Karena setidaknya kita tidak menggunakan masjid untuk menjelekkan orang lain. Paling tidak menjegah penetrasi mereka. Dalam konteks keberagaman, kami sepakat masjid itu harus direbut. Karena tempat ibadah sudah jadi tempat berpolitik.

Biografi singkat Ismail Hasani

Ismail Hasani adalah seorang pengajar, peneliti, dan penulis. Mantan anggota tim asistensi Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir ini salah satu peneliti paling aktif terjun ke lapangan melakukan riset di bidang HAM, demokrasi dan isu keberagamanan. Termasuk isu terorisme. Ismail fasih bicara perkembangan ormas radikal berlatar agama yang berkembang pascareformasi.

Ismail mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2001) dan Sarjana Hukum dengan konsentrasi Tata Negaradari Universitas Muhammadiyah Jakarta (2012). Di 2004 Ismail, lulus dari program Magister Ilmu Hukum (MH.) Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Ismail mempunyai aktivitas panjang sebagai peneliti. Di antaranya pernah menjadi Direktur Eksekutif Masyarakat Pesantren untuk Pembangunan Indonesia (MP2i), Sekretaris Eksekutif Sentra Komunikasi dan Edukasi Nelayan Indonesia (SAKEN Indonesia), Kepala Departemen Research and Campaign Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Ketua Departemen HAM dan Demokrasi, Puskum HAM UIN Jakarta, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta untuk rumpun mata kuliah Hukum Tata Negara: Ilmu Perundang-undangan, Legal Drafting, Hukum dan Hak Asasi Manusia UIN Jakarta (sampa sekarang), Sekjen The Human Rights Institute (HRI): Jaringan Perguruan Tinggi Islam untuk Hak Asasi Manusia, Associate Researcher Median Institute Jakarta, Aggota Tim Asistensi Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir Berdasarkan Keputusan Presiden No. 111 / 2004, Peneliti Lepas di Komnas Perempuan untuk Program Women Acces to Justice; Gender Mainstreaming dalam Kebijakan Daerah, Peneliti & Manajer Program SETARA Institute (sampai sekarang), Konsultan untuk Pengembangan Keparalegalan di Indonesia, Justice for The Poor World Bank, Konsultan untuk Program Perempuan & Konstitusi, Komnas Perempuan, Koordinator Nasional Jaringan Paralegal Indonesia (JPI) (sampai sekarang), dan Ketua Presidium Akademisi Pengawal Pilar Bangsa (APPi Bangsa).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI