Suara.com - Kementerian Kesehatan menjadi salah satu ‘pos’ penerima duit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) paling besar. Nilainya mencapat Rp 58,3 triliun. Ini wajar, sebab banyak urusan yang harus ditanggung Kemenkes.
Salah satunya urusan kesehatan di kawasan perbatasan dan daerah terpencil. Wajar juga jika Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek mengaku pusing menghadapi permasalahan urusan kesehatan di negara kepulauan. Banyak tantangan yang dia hadapi.
Pekan lalu, Suara.com mengikuti blusukan Menkes Nila di Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sana, Menkes Nila menyidak pembangunan kesehatan di daerah perbatasan sebagai garda terdepan dari Indonesia. Nila ingin memastikan rakyatnya sehat di sana.
Perempuan yang juga menjabat sebagai board member The Partnership for Maternal Child and Neonatal Health, sebuah lembaga yang melaksanakan inisiatif strategis Sekjen PBB untuk Kesehatan Ibu dan Anak, menekankan pentingnya mencegah kematian ibu dan anak di Nusa Tenggara Timur dengan memastikan para ibu melahirkan di fasilitas kesehatan dan anak yang lahir bergizi baik.
Untuk diketahui, salah satu permasalahan kesehatan di Nusa Tenggara Timur adalah masih tingginya angka kematian ibu saat melahirkan dan banyaknya bayi lahir dengan gizi buruk yang mempengaruhi kehidupannya di masa mendatang.
Sepanjang perjalanan blusukannya, Menkes Nila menceritakan upaya-upaya yang harus dilakukan demi pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di daerah perbatasan.
Menurutnya, menjadi sehat adalah hak asasi manusia yang harus dipenuhi negara.
Berikut petikan wawancara lengkap Suara.com dengan Menkes Nila selama di daerah perbatasan, NTT.
Berbicara soal pelayanan kesehatan di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan, tidak mudah untuk dijangkau. Apa kendala dan masalah yang masih Anda hadapi untuk menjangkau daerah-daerah tersebut?
Saya setuju. Indonesia nggak gampang. Siapa bilang Indonesia enak? Siapa bilang kita bisa dengan mudah mengatakan, masalah kesehatan di negara kita akan mudah kita selesaikan? Saya terus terang, pusing kepala saya.
Kalau seperti kemarin ke Maluku Utara karena memiliki lebih banyak pulau. Bagaimana caranya? Memang satu-satunya adalah puskesmas air. Tapi kalau puskesmas air, persoalannya ombak di sini kadang bisa dua meter.
Di Kepulauan Riau, kita pernah membuat dokter keliling dengan kapal. Tapi banyak masalahnya lagi. Kapal banyak sekali perawatannnya. Puyeng kepala kita pikirkan kapal, bukan pasien.
Begitu juga di Papua misalnya, dengan kondisi geografis seperti itu, pendekatan keluarga belum bisa sempurna dilakukan di daerah seperti Papua.
Dari sekian banyak masalah tersebut, apa yang menjadi fokus dan prioritas Kemenkes saat ini?
Maldistribusi menjadi masalah bagi pemerataan tenaga kesehatan di Indonesia. Artinya, daerah yang agak ke Timur, nggak begitu banyak dokter yang mau ditempatkan disini, termasuk NTT.
Kalau kita lihat data, di Jakarta, perawat, bidan cukup banyak. Satu puskesmas bisa 40-45 dokter. Di NTT, satu puskesmas bisa 0 dokter atau artinya tidak ada dokter.
Ini yang jadi prioritas kami untuk memeratakan tenaga kesehatan sampai ke seluruh Indonesia termasuk daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan.
Apa upaya yang dilakukan Kemenkes untuk mengatasi masalah yang diprioritaskan itu?
Ini persoalan yang harus diselesaikan. Program Kemenkes untuk pemerataan salah satunya dengan Nusantara Sehat. Dengan Nusantara Sehat apabila satu puskesmas kurang sembilan nakes (tenaga kesehatan) kita kirim sembil.
Kalau kekurangan dokter, kita kirim dokter. Tapi masalahnya dokter yang daftar sedikit. Kalau pun daftar, yang lulus tidak separuhnya.
Kita sangat menyaring dokter yang ditetapkan di perbatasan, setelah lulus bisa tinggal di sana dengan baik dan secara psikologis mampu menyelesaikan persoalan. Insentif kita tawarkan 11 jutaan untuk Nusantara Sehat.
Selain itu ada program Nusantara Sehat tapi individu, kalau kurang dokter, kita isi dokter. Mudah mudahan tahun ini bisa kita selesaikan untuk memenuhi kebutuhan dokter di puskesmas.
Lalu ada program Wajib Kerja Dokter Spesialis yang disepakati dengan Kolegium dan Profesi, mudah-mudahan nanti lima tahun ke depan sudah bisa memenuhi kebutuhan dokter spesialis di seluruh Indonesia.
Sebagai kawasan perbatasan dan terpencil, apa saja yang sedang dilakukan Kemenkes untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat di NTT?
Di sini (NTT) masih terjadi kesenjangan rasio dokter 1:100.000. Melalui program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS), saya serahkan sembilan orang dokter spesialis di provinsi NTT yang terdiri dari empat dokter spesialis peserta WKDS mandiri dan lima dokter spesialis tugas belajar.
Empat orang peserta WKDS mandiri yang ditempatkan di RSU Soe terdiri dari satu orang dokter spesialis obsgyn, satu orang dokter spesialis anastesi, satu orang dokter spesialis bedah dan satu orang dokter spesialis penyakit dalam.
Lima orang peserta WKDS tugas belajar dikembalikan kepada instansi asal yaitu, di RSUD Atambua satu orang dokter spesialis bedah, RSUD Lewo Lembatta satu orang dokter spesialis obsgyn, RSUD Ba’a satu orang dokter spesialis anastesi, RSU DR. T.C.Hillers Maumere satu orang spesialis obsgyn dan Dinkes Kabupaten Flores Timur satu orang spesialis anak.
Apa perkembangan positif yang mulai dirasakan masyarakat NTT, dari segi pelayanan kesehatan dan kualitas kesehatan masyarakatnya?
Revolusi KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) sudah dilakukan beberapa tahun yang lalu sudah makin bagus hasilnya. Semua ibu yang melahirkan harus di pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan juga kita latih.
Namun demikian masih ada kematian ibu dan bayi berarti masih ada yang harus kita benahi. Gizi dan pengetahuan ibu hamil juga berperan.
Melalui Program Pendekatan Keluarga, dengan hadirnya tenaga kesehatan kita harapkan yang jadi penyebab kematian ibu dan bayi akan kita selamatkan. Pendekatan keluarga ini agar ibu hamil benar-benar terkawal dengan baik.
Apa target Kemenkes pada tahun ini terkait pelayanan kesehatan di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan? Tahun lalu, pencapaian apa saja yang berhasil diwujudkan terkait pelayanan kesehatan di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan?
Kemenkes terus mendorong peningkatan layanan, optimalisasi rujukan, dan pengembangan layanan inovasi daerah terpencil salah satunya dengan program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS).
Diharapkan WKDS dapat menurunkan angka kesakitan, serta dapat mengedukasi masyarakat sekaligus dapat mengukuhkan bahwa memperoleh kesehatan adalah hak asasi warga negara.
Kami juga akan bangun puskesmas di daerah perbatasan NTT dengan anggaran sangat besar Rp8-14 miliar. Ini betul-betul harus jadi dengan sebaik-baiknya. Uang rakyat dan harus kembali ke rakyat. Harapannya orang ke puskesmas harus senang hati, kita jaga yang sehat tetap sehat, yang sakit jadi sehat sehingga yang dirujuk tidak terlalu banyak.
Selama sepekan Suara.com mengikuti Anda di kawasan perbatasan. Namun Anda terlihat sangat bugar. Apa rahasianya?
Iya, saya senang minum jamu. Jamu temulawak dalam bentuk kapsul, dua kapsul per hari setiap pagi dan sore hari. Saya sudah merasakan manfaat dari minuman jamu tradisional ini. Menyehatkan.
Jamu juga merupakan warisan budaya Nusantara yang maknanya tidak hanya terletak pada bentuk ramuannya saja, melainkan juga falsafah yang ada di balik ramuan tersebut dan aspek spiritual yang sering menyertainya.
Oleh karena itu kami di lingkungan Kemenkes sudah menjadikan jamu sebagai budaya untuk menjaga kesehatan. Jadi marilah minum jamu agar selalu sehat di era kerja, kerja, kerja!
Biografi singkat Nila Djuwita F. Moeloek
Perempuan bernama lengkap Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F. Moeloek, Sp.M (K), ini dilantik sebagai Menteri Kesehatan RI periode 2014-2018 oleh Presiden Joko Widodo pada 27 Oktober 2014.
Namanya sudah tidak asing lagi di bidang kesehatan terutama sejak ditunjuk sebagai Utusan Khusus Presiden RI untuk MDG’s semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono- Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.
Di bawah kepemimpinannya, Nila F. Moeloek menggagas membangun dan melaksanakan Pencerah Nusantara. Ini adalah sebuah gerakan inovasi sosial bidang kesehatan khususnya pada Puskesmas, Indonesia MDG Awards pada 2011-2014, dan peta kemitraan untuk pembangunan yang memuat data kemitraan lintas sektor dan multi aktor untuk mencapai MDGs.
Menkes Nila F. Moeloek lahir di Jakarta 11 April 1949. Beliau meraih gelar dokter spesialis mata dari FKUI pada 1974 dan melanjutkan pendidikan superspesialis di University of Amsterdam, Belanda (1980) dan Kobe University, Jepang (1989). Gelar Doktor (cum laude) diraih 2003 dan pada 2007 diangkat sebagai Guru Besar FKUI.