Gunawan Tjahjono: Ini yang Salah dan Lupa dalam Membangun Jakarta

Senin, 17 April 2017 | 07:00 WIB
Gunawan Tjahjono: Ini yang Salah dan Lupa dalam Membangun Jakarta
Guru Besar Teknik Arsitektur Universitas Indonesia, sekaligus Mantan Rektor Universitas Pembangunan Jaya, Profesor Gunawan Tjahjono. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Apa permasalahan Ibu Kota Jakarta? Para pakar sering menyebutkan banjir, kemacetan, sampai persoalan kualitas lingkungan hidup.

Data sebuah perusahaan analis transportasi di Washington DC,Inrix menempatkan Jakarta kota yang paling macet kedua di dunia tahun 2016. Pekerja di Jakarta harus menghabiskan waktu 47 jam terjebak macet dalam satu tahun.

Sementara, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pernah melakukan studi di awal 2016 yang hasilnya perkiraan dalam waktu jangka waktu 34 tahun ke depan wilayah Jakarta akan tenggelam. Penurunan permukaan tanah Jakarta rata-rata 16 cm per tahun. Pada periode 2007-2008 kecepatan penurunan permukaan tanah di Jakarta berada pada rentang 1-26 cm. Diprediksi 2050 semua wilayah Jakarta akan tenggelam. Penyebab penurunan permukaan tanah ini di antaranya penyedotan air tanah yang berlebihan, sementara pembangunan gedung pencakar langit terus terjadi.

Bicara soal lingkungan, salah satunya kualitas udara. Jakarta sudah diambang buruk. Catatan Greenpeace April 2017, kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya Particulate Matter (PM) 2.5. Warung Buncit dan Kebagusan, Jakarta Selatan, menjadi wilayah dengan polusi udara tertinggi se-Ibu Kota. Akibat kualitas udara dengan nilai itu, maka mengancam kesehatan. Di antara stroke, penyakit jantung, infeksi saluran pernapasan akut pada anak, kanker, dan penyakit paru kronis.

Fakta ‘horor’ tentang Jakarta itu menjadi tantangan ‘klasik’ untuk gubernur terpilih DKI Jakarta. Pekan ini, Jakarta mempunyai gubernur baru yang harus menyelesaikan masalah itu. Sayangnya, Jakarta sudah kritis, kata Profesor Gunawan Tjahjono.

Guru Besar Teknik Arsitektur Universitas Indonesia itu mengatakan banyak yang salah dalam membangun Jakarta. Dia melihat dari kacamata tata kota dan perencanaan wilayah.

Gun, sapaan akrab Gunawan, menilai di balik banyaknya proyek pembangunan di Jakarta, banyak yang tidak penting. Meski jika dilihat sekilas semua itu menandakan Jakarta semakin maju. Namun dari sisi tata kota, kemajuan sebuah wilayah ditentukan oleh kualitas manusianya.

“Apakah pembangunan MRT penting? Apakah pembangunan jalan layang itu penting?” tanya Gun saat berbincang dengan suara.com di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat pekan lalu.

Dalam perbincangan itu, mantan tim panelis debat Pilkada DKI Jakarta putaran pertama itu banyak cerita soal pembangunan Jakarta di era Gubernur Ali Sadikin di era 1960-an. Cara Ali Sadikin menurut dia perlu dicontoh gubernur Jakarta selanjutnya.

Mantan Rektor Universitas Pembangunan Jaya itu menegaskan ada hal mendesak dan penting yang harus dilakukan gubernur baru. Jika itu tidak dilakukan, Jakarta akan semakin kritis dan bukan tidak mungkin prediksi menyeramkan para ahli akan terjadi di masa depan.

“Ini serius dan jangan dianggap remeh,” kata Gun.

Apa saja yang harus dilakukan gubernur baru dalam menata kota Jakarta? Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Prof Gun:

Apakah pembangunan tata kota di Jakarta sudah ideal?

Mana ada pembangunan yang ideal di Jakarta? Jakarta ini sudah kritis. Penyedotan air tanah, permukaan tanah makin rendah, dan persoalan lingkungan serta lahan hijau. Manusianya? Jangan ditanya.

Sejak dulu, untuk menentukan bagus atau  tidaknya tata kota atau pembangunan kota harus sesuai dengan teori pembangunan. Tapi hasilnya belum tentu dianggap ideal oleh orang lain. Sebab teori pembangunan dan tata kota berasal dari orang barat.

Seharusnya dibalik. Sebagai arsitek, saya harus bertanya ke klien yang ingin membangun rumah. Saya harus merumuskan konsep bangunan itu secara bersama. Untuk membuat bangunan yang ideal, saya harus banyak bertanya ke klien. Mulai dari hobi, sifat, kebiasaan dan lain-lain.

Bahkan agar lebih bagus, saya harus ikut aktivitas klien paling tidak selama sepekan. Agar tahu persis sifat dan karakternya. Sehingga saya tahu gambaran dunia dia. Dengan gambaran itu, saya bisa merancang hunian yang nyaman untuk dia.

Hal yang sama juga dilakukan untuk mendesain hunian sebuah komunitas. Sehingga mereka bisa tinggal dengan nyaman di sana.

Kota juga seperti itu. Namun yang menjadi kesulitan, desainer itu ditunggangi kepentingan tertentu dalam membangun kota.

Bagaimana konsep ‘membangun bersama’ seperti yang Anda lakukan dengan klien diterapkan dalam membangun sebuah kota?

Ada negara tertentu yang membuat public hearing. Semua rencana harus bisa dibaca oleh orang lain yang terkena dampak pembangunan itu. Sehingga publik bisa menilai dan memberi masukan, apa saja yang tidak mereka inginkan?

Tapi sistem di Indonesia tidak bisa seperti itu. Karena pemerintah mempunyai anggaran tahunan. Sehingga pembangunan sebuah wilayah dikerjakan oleh konsultan yang tidak tahu seluk beluk kota bahkan keinginan warganya. Sebab konsultan itu membangun berdasarkan teori, bukan riwayat kota. Jadi bagaimana bisa pembangunan tata kota di Jakarta bisa ideal?

Sehingga desain kota bukan lagi “desain for”, tapi “desain with”. Kita mendesain kota secara bersama-sama. Tidak mudah untuk itu, arsitek harus menghilangkan ego sebagai pihak yang lebih tahu. Sehingga kita bisa melihat masalah kota itu, digambarkan sampai akhirnya dipotret desain yang dibutuhakan oleh masyarakat di kota itu.

Setelah kota itu terbangun dengan kesepakatan bersama, maka apapun dampaknya harus ditanggung bersama. Semisal banjir yang tidak mungkin hilang dari Jakarta. Bahkan di dunia, tidak ada satu negara. Bahkan Belanda pun dalam kurun waktu tertentu masih banjir besar.

Sehingga jangan pernah katakan janji akan menyelesaikan banjir, itu omong kosong. Yang ada, harus dipikirkan dalam keadaan banjir, kita bisa bertahan dan sudah siap dengan rencana tertentu. Banjir kan tidak sepanjang tahun terjadi.

Sehingga cara melihat air, manusia, dan kota perlu cara khusus.

Kota itu menentukan peradaban, selain itu yang menentukan wajah kota itu, warganya. Kalau Anda ke Jepang, baru Anda akan merasa melihat manusia sesungguhnya yang menghormati sesama. Mereka tertib mulai dari rumah sampai penggunaan fasilitas publik.

Pembangunan kota itu untuk membangun manusianya agar seperti itu, tertib. Bukan soal membangun kuantitas bangunan, tapi justru kualitas manusianya.

Tujuan pembangunan harus kembali ke motto Indonesia, Pancasila. Membentuk masyarakat yang adil dan makmur, keadilan sosial dan sebagainya. Dalam singkatnya, membentuk masyarakat yang madani. Bukan membentuk masyarakat yang toleransi, menurut saya itu salah.

Toleransi yang berkembang di Jakarta dari sisi membangun kota, yang tidak baik tapi dibiarkan. Yang perlu dibangun, warganya harus mengapresiasi. Sehingga Jakarta ini tidak salah urus dan salah bangun.

Pembangunan Jakarta sudah pesat, bahkan banyak yang memuji dengan pembangunan yang sudah dilakukan…

Bangun infrastruktur itu bagus, tapi untuk apa? Dan untuk siapa? Setiap pembangunan di Jakarta harus bisa menjawab 2 hal itu dulu.

Apakah pembangunan di Jakarta sudah menjawab dua hal itu?

Mana ada yang menjawab?

Salah satunya, MRT diklaim sebagai solusi kemacetan…

(Mantan Menteri Perhubungan) Ignatius Jonan saja nggak setuju dengan MRT.

Yang mau dibangun adalah sebuah sistem yang memungkinkan orang bisa akses ke semua pelayanan. Baru moda transportasinya ditentukan. Apakah yang terbaik adalah MRT? Mau korbankan apa untuk bangun itu?

Jangan-jangan jika saja busway diperbanyak, maka sudah selesai mengatasi kemacetan?

Jika semua koridor terakses ke kawasan terpencil kota, dan membuat sengsara pembawa kendaraan pribadi. Menurut saya itu solusi yang bagus. Jika penambahan Transjakarta terus dilakukan, paling yang marah industri mobil. Mereka kapitalis, biar saja.

Industri mobil mempunyai dosa, kota jadi tidak efisien. Karena kota harus menyediakan lapangan parkir yang begitu banyak.

Sama halnya, membuat banyak fly over itu buat siapa? Apakah untuk masyarakat umum? Nggak kan. 

Bagaimana jika tarif parkir dibuat sangat mahal?

Iya, itu saya setuju. Intinya membuat pengendara mobil itu berpikir berulang untuk jalan di Jakarta. Mungkin tarifnya 10 kali  lipat, Rp40 ribu perjam, sama dengan San Fransisco.

Jadi apa yang membuat kota bisa sehat? Udara yang Anda hirup itu harus bersih kan. Bagaimana bisa sehat kalau tambah mobil dan jalan layang, BPJS Kesehatan bisa bangkrut.

Harus banyak pedestrian. Sayangnya di Jakarta sangat kurang mempunyai fasilitas pejalan kaki. Padahal warga Jakarta akan sehat kalau banyak jalan. Saya juga prihatin, siapa yang desain pedestrian. Kebanyakan pedestrian di Jakarta di bangun di kompeks olahraga, siapa yang mau jalan? Kalau dibangun di pertokoan, pasti banyak yang mau jalan. Tengok saja Orchard Road di Singapura.

Sehingga udara kota itu mutlak harus dijaga. Yang bisa menjaga udara tetap baik adalah pohon. Bisa menjadikan udara bersih, menjaga suhu, mengurangi radiasi dan sebagainya. Saat ini banyak pohon yang dihilangkan di Jakarta, salah satunya saat pembangunan MRT.

Sehingga timbul pertanyaan yang saya tadi, bangun MRT untuk siapa?

Dengan pembangunan Jakarta yang sudah sangat masif, apakah masih on the track mengacu pada fakta-fakta, misalnya Jakarta ada di bawah permukaan air laut dan sebagainya?

Saya belum meneliti itu lebih jauh.

Tapi saya akan contohkan saat Jakarta dibangun oleh Gubernur Ali Sadikin. Yang pertama dibangun Ali Sadikin tahun 1966 yang dibangun lebih dulu adalah fasilitas MCK. Di sepanjang jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk, kalinya penuh dengan MCK.

Setiap pagi ditemui ada yang lagi nyuci, BAB, mandi dan sebagainya. Sehingga kebutuhan warga Jakarta saat itu yang dia pikirkan. Sebab jika satu keluarga tidak punya MCK, kesehatan akan terganggu.

Setelah bangun MCK, Ali Sadikin bangun fasilitas transportasi mulai dari halte bus, mendatangkan bus. Setelah itu dia bangun banyak gelanggang olahraga. Itu sebabnya di zaman itu tidak ada tawuran.

Dia gubernur yang benar-benar membangun dengan memikirkan rakyatnya, bukan citra pribadi seperti saat ini.

Setelah itu Ali Sadikin juga membangun pusat kebudayaan seperti TIM. Dia juga membangun Lembaga Bantuan Hukum (LBH), sebab sadar harus juga dikritik.

Saat itu kondisi Jakarta di tahap awal pembangunan. Beda dengan saat ini…

Betul, saat itu kekurangan uang. Dan sekarang melimpah uang.

Sehingga di Jakarta yang sudah ramai ini harus membangun dengan prioritas. Sekarang prioritas pembangunan Jakarta adalah menciptakan udara dan air yang bersih. Itu sangat vital sekali.

Negara mana yang berhasil membangun kotanya di saat situasi kota yang sudah ‘krisis’?

Di Brazil ada kota Curitiba yang sangat padat sekali. Kota ini yang mencetuskan konsep busway. Kota ini membongkar fly over dan menutup jalan untuk kendaraan pribadi. Sekarang menjadi kota yang sangat hebat. Pembangunan di kota ini menguntungkan masyarakat umum.

Belakangan ini banyak pihak yang mendesak Jakarta harus melaksanakan pembangunan yang berkeadilan. Menurut Anda, seperti apa konsep pembangunan yang berkeadilan ini?

Pembangunan yang beradilan sangat diperlukan di Jakarta saat ini. Maka itu dalam membangun apapun harus jelas, membangun untuk siapa? Sehingga konsep adil yang sederhana kira-kira, masa yang tidak bekerja mendapat bagian yang sama.

Jadi perlu dilihat, pembangunan yang mengakses ke semuanya. Misalnya pembangunan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Penyediaan 3 akses publik itu harus sudah dibangun dan terjangkau. Sehingga untuk merancang kota harus melihat kebutuhan warga itu sendiri secara psikologis dan biologis.

Apakah sampai kini Jakarta menerapkan skala prioritas?

Ada beberapa yang dilakukan. Misalnya sektor kesehatan dan sekolah. Sementara soal akses pekerjaan, saya tidak melihat banyak yang dilakukan.

Misal membangun sarana transportasi dan jalan untuk bisa diakses ke tempat kerja. MRT diklaim bisa menjawab persoalan itu, tapi berapa banyak pekerja yang bisa diangkut?

Soal penggusuran masih ada yang pro dan kontra. Di sisi lain pemerintah mengklaim penggusuran ini untuk memperbaiki kota dan kehidupan masyarakatnya. Bagaimana analisa Anda?

Yang pro penggusuran, suruh tinggal di rumah susun terlebih dulu.

Seharunya orang-orang yang digusur dan disuruh tinggal di rusun itu ditanya, mengapa tidak betah meski sudah diberikan kulkas? Pemerintah tidak pernah tanya, mau mereka itu apa? Padahal saat dipindahkan, ada hubungan yang terputus di kehidupan mereka.

Ada atmosfer yang hilang. Seharusnya pemerintah harus bicara dengan mereka dan tawarkan rusun itu. Bicara juga soal tipe tetangga dan sebagainya. Jangan seperti sekarang, langsung bilang sudah ada tipe (rusun) seperti ini, dan disuruh langsung masuk. Jadi seperti dipaksa.

Lalu apa solusi lain untuk mengatur tempat tinggal di Jakarta? Sebab imej Jakarta saat ini sebagai kota metropolitan dan modern.

Yang ditinggalkan oleh Ali Sadikin adalah Kampung Improvement Program (KIP). Ini harus dilanjutkan. Program ini untuk memperbaiki prasarana dan membiarkan warga membangun sendiri. Mereka tetap tinggal di sana, sehingga relasi sosialnya tidak hilang, semangat gotong royong masih ada. Dalam hal ini nilai-nilai manusia diutamakan dalam pembangunan.

Semial dalam pembangunan Kalijodo saat ini, siapa yang diuntungkan? Menurut saya pengembang. Sebab harga tanah di sana semakin naik dan makin tidak bisa diakses oleh warga miskin.

Harga tanah Jakarta makin mahal, dan makin terjadi ketimpangan ekonomi…

Jelas akan mahal terus. Sebab harga tanah di Jakarta diserahkan kepada sekelompok tertentu. Kapitalisme berjalan begitu.

Bagaimana agar tanah di Jakarta bisa diakses oleh masyarakat?

Gubernur harus membuat kebijakan ketat soal lahan hijau yang membuat pengembang tidak bisa menaikan harga tanah. Harga tanah pun akan turun. Jangan biarkan tanah dibangun oleh pengembang.

Singapura menjadi negara yang berhasil soal menata pemukiman. Sejauhmana kosep kota itu bisa diterapkan di Jakarta?

Saat ini konsep memisahkan tempat tinggal dengan kawasan tempat bekerja sudah ketinggalan zaman. Saat ini konsep mix use atau kawasan bisnis tercampur dengan kawasan tempat tinggal.

Ada wacana untuk memindahka Ibu Kota negara ke Palangkaraya. Bagaimana pandangan Anda?

Saya belum meneliti itu.

Tapi memang banyak negara maju seperti Amerika, Australia, Brazil, Malaysia dan Afrika. Mereka memisahkan kawasan pemerintahan dengan kawasan perekonomian. Tapi ternyata tida sepenuhnya berhasil, salah satu kawasan itu menjadi kita mati.

Kalau pun Indonesia akan melakukan itu, perlu dilihat sisi vitalitas dan karakter kota yang akan ditempatkan. Selain itu efisiensi akses dan keamanan alam. Itu yang menentukan kota itu berjalan dengan baik.

Apakah pemindahan Ibu Kota itu menjadi sosusi untuk mengurangi kepadatan Jakarta?

 Saya belum tahu. Tapi untuk memindahkan persoalan kota, mungkin saja. Namun belum tentu menyelesaikan persoalan.

Negara mana yang sukses memindahkan Ibu Kota?

Mungkin Melbourne setelah tidak jadi ibu kota Australia. Sekarang Canberra jadi Ibu Kota Australia. Yang membuat rencananya sama dengan yang membuat Washinton DC.

Pekan ini, Jakartapunya gubernur baru. Apa yang paling mendesak dilakukan gubernur itu?

Bangun lah manusianya. Salah satu yang sudah berhasil membangun manusia di proyek busway. Dulu orang tidak mau antre, sekarang jadi ingin antre. Jadi menata kota itu berarti menata manusianya juga.

Begitu juga dalam memindahkan orang ke rumah susun, apakah mereka akan lebih beradab jika dipindakan. Nilai apa yang ingin dibuat dalam memindahkan mereka ke rusun? Nilai kemanusiaan.

Misalnya saat ini warga Singapura yang tinggal di rumah susun sangat rindu dengan nilai kampung. Suasana kampung sudah sangat hilang. Warga Singapura yang tinggal di apartemen membutuhkan waktu 15 tahun agar mereka akrab. Pemerintah membuat program perpindahan itu secara serius. Mulai diajarkan naik lift dan etikanya.

Biografi Gunawan Tjahjono

Gunawan Tjahjono lahir di Medan, 11 Desember 1945. Dia adalah profesor di Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Indonesia sejak 2002. Selain mengajar, Pak Gun, sapaan akrab Gunawan, juga menjadi Kepala Badan Penasehat Teknis Perkotaan dan Bangunan Pemprov DKI Jakarta. Dia sering menganalisa dan memberikan saran setiap usulan proyek pembangunan yang masuk ke Pemerintah DKI Jakarta, dari swasta atau pun Pemprov. Kritikan pedas soal pembangunan di Jakarta sering dia layangkan.

Pak Gun mulai dikenal publik saat dia merancang Gedung Pusat Administrasi Universitas, Universitas Indonesia atau yang dikenal sebagai Rektorat UI. Sebagai arsitek, karyanya tersebar di seluruh Indonesia.

Gun menyelesaikan gelar sarjana arsitektur di Universitas Indonesia tahun 1975. Tahun 1983 dia menyelesaikan S2 di University of California at Los Angeles tahun 1983. Gelar Ph.D-nya pun di dapat di sana.

Gun sering menjadi pembicara, Juri Sayembara Arsitektur Tingkat Nasional dan Regional, Ketua Tim Penasehat Arsitektur Kota (TPAK) DKI Jakarta periode 2004-2007, 2007-2010, 2010-2013,2013-2016 dan Penulis Arsitektur dan Perkotaan. Dia juga menjadi Rektor Universitas Pembangunan Jaya pertama di kurun waktu 2011-2015.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI