Suara.com - Apa permasalahan Ibu Kota Jakarta? Para pakar sering menyebutkan banjir, kemacetan, sampai persoalan kualitas lingkungan hidup.
Data sebuah perusahaan analis transportasi di Washington DC,Inrix menempatkan Jakarta kota yang paling macet kedua di dunia tahun 2016. Pekerja di Jakarta harus menghabiskan waktu 47 jam terjebak macet dalam satu tahun.
Sementara, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pernah melakukan studi di awal 2016 yang hasilnya perkiraan dalam waktu jangka waktu 34 tahun ke depan wilayah Jakarta akan tenggelam. Penurunan permukaan tanah Jakarta rata-rata 16 cm per tahun. Pada periode 2007-2008 kecepatan penurunan permukaan tanah di Jakarta berada pada rentang 1-26 cm. Diprediksi 2050 semua wilayah Jakarta akan tenggelam. Penyebab penurunan permukaan tanah ini di antaranya penyedotan air tanah yang berlebihan, sementara pembangunan gedung pencakar langit terus terjadi.
Bicara soal lingkungan, salah satunya kualitas udara. Jakarta sudah diambang buruk. Catatan Greenpeace April 2017, kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya Particulate Matter (PM) 2.5. Warung Buncit dan Kebagusan, Jakarta Selatan, menjadi wilayah dengan polusi udara tertinggi se-Ibu Kota. Akibat kualitas udara dengan nilai itu, maka mengancam kesehatan. Di antara stroke, penyakit jantung, infeksi saluran pernapasan akut pada anak, kanker, dan penyakit paru kronis.
Fakta ‘horor’ tentang Jakarta itu menjadi tantangan ‘klasik’ untuk gubernur terpilih DKI Jakarta. Pekan ini, Jakarta mempunyai gubernur baru yang harus menyelesaikan masalah itu. Sayangnya, Jakarta sudah kritis, kata Profesor Gunawan Tjahjono.
Guru Besar Teknik Arsitektur Universitas Indonesia itu mengatakan banyak yang salah dalam membangun Jakarta. Dia melihat dari kacamata tata kota dan perencanaan wilayah.
Gun, sapaan akrab Gunawan, menilai di balik banyaknya proyek pembangunan di Jakarta, banyak yang tidak penting. Meski jika dilihat sekilas semua itu menandakan Jakarta semakin maju. Namun dari sisi tata kota, kemajuan sebuah wilayah ditentukan oleh kualitas manusianya.
“Apakah pembangunan MRT penting? Apakah pembangunan jalan layang itu penting?” tanya Gun saat berbincang dengan suara.com di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat pekan lalu.
Dalam perbincangan itu, mantan tim panelis debat Pilkada DKI Jakarta putaran pertama itu banyak cerita soal pembangunan Jakarta di era Gubernur Ali Sadikin di era 1960-an. Cara Ali Sadikin menurut dia perlu dicontoh gubernur Jakarta selanjutnya.
Mantan Rektor Universitas Pembangunan Jaya itu menegaskan ada hal mendesak dan penting yang harus dilakukan gubernur baru. Jika itu tidak dilakukan, Jakarta akan semakin kritis dan bukan tidak mungkin prediksi menyeramkan para ahli akan terjadi di masa depan.
“Ini serius dan jangan dianggap remeh,” kata Gun.
Apa saja yang harus dilakukan gubernur baru dalam menata kota Jakarta? Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Prof Gun:
Apakah pembangunan tata kota di Jakarta sudah ideal?
Mana ada pembangunan yang ideal di Jakarta? Jakarta ini sudah kritis. Penyedotan air tanah, permukaan tanah makin rendah, dan persoalan lingkungan serta lahan hijau. Manusianya? Jangan ditanya.
Sejak dulu, untuk menentukan bagus atau tidaknya tata kota atau pembangunan kota harus sesuai dengan teori pembangunan. Tapi hasilnya belum tentu dianggap ideal oleh orang lain. Sebab teori pembangunan dan tata kota berasal dari orang barat.
Seharusnya dibalik. Sebagai arsitek, saya harus bertanya ke klien yang ingin membangun rumah. Saya harus merumuskan konsep bangunan itu secara bersama. Untuk membuat bangunan yang ideal, saya harus banyak bertanya ke klien. Mulai dari hobi, sifat, kebiasaan dan lain-lain.
Bahkan agar lebih bagus, saya harus ikut aktivitas klien paling tidak selama sepekan. Agar tahu persis sifat dan karakternya. Sehingga saya tahu gambaran dunia dia. Dengan gambaran itu, saya bisa merancang hunian yang nyaman untuk dia.
Hal yang sama juga dilakukan untuk mendesain hunian sebuah komunitas. Sehingga mereka bisa tinggal dengan nyaman di sana.
Kota juga seperti itu. Namun yang menjadi kesulitan, desainer itu ditunggangi kepentingan tertentu dalam membangun kota.
Bagaimana konsep ‘membangun bersama’ seperti yang Anda lakukan dengan klien diterapkan dalam membangun sebuah kota?
Ada negara tertentu yang membuat public hearing. Semua rencana harus bisa dibaca oleh orang lain yang terkena dampak pembangunan itu. Sehingga publik bisa menilai dan memberi masukan, apa saja yang tidak mereka inginkan?
Tapi sistem di Indonesia tidak bisa seperti itu. Karena pemerintah mempunyai anggaran tahunan. Sehingga pembangunan sebuah wilayah dikerjakan oleh konsultan yang tidak tahu seluk beluk kota bahkan keinginan warganya. Sebab konsultan itu membangun berdasarkan teori, bukan riwayat kota. Jadi bagaimana bisa pembangunan tata kota di Jakarta bisa ideal?
Sehingga desain kota bukan lagi “desain for”, tapi “desain with”. Kita mendesain kota secara bersama-sama. Tidak mudah untuk itu, arsitek harus menghilangkan ego sebagai pihak yang lebih tahu. Sehingga kita bisa melihat masalah kota itu, digambarkan sampai akhirnya dipotret desain yang dibutuhakan oleh masyarakat di kota itu.
Setelah kota itu terbangun dengan kesepakatan bersama, maka apapun dampaknya harus ditanggung bersama. Semisal banjir yang tidak mungkin hilang dari Jakarta. Bahkan di dunia, tidak ada satu negara. Bahkan Belanda pun dalam kurun waktu tertentu masih banjir besar.
Sehingga jangan pernah katakan janji akan menyelesaikan banjir, itu omong kosong. Yang ada, harus dipikirkan dalam keadaan banjir, kita bisa bertahan dan sudah siap dengan rencana tertentu. Banjir kan tidak sepanjang tahun terjadi.
Sehingga cara melihat air, manusia, dan kota perlu cara khusus.
Kota itu menentukan peradaban, selain itu yang menentukan wajah kota itu, warganya. Kalau Anda ke Jepang, baru Anda akan merasa melihat manusia sesungguhnya yang menghormati sesama. Mereka tertib mulai dari rumah sampai penggunaan fasilitas publik.
Pembangunan kota itu untuk membangun manusianya agar seperti itu, tertib. Bukan soal membangun kuantitas bangunan, tapi justru kualitas manusianya.
Tujuan pembangunan harus kembali ke motto Indonesia, Pancasila. Membentuk masyarakat yang adil dan makmur, keadilan sosial dan sebagainya. Dalam singkatnya, membentuk masyarakat yang madani. Bukan membentuk masyarakat yang toleransi, menurut saya itu salah.
Toleransi yang berkembang di Jakarta dari sisi membangun kota, yang tidak baik tapi dibiarkan. Yang perlu dibangun, warganya harus mengapresiasi. Sehingga Jakarta ini tidak salah urus dan salah bangun.
Pembangunan Jakarta sudah pesat, bahkan banyak yang memuji dengan pembangunan yang sudah dilakukan…
Bangun infrastruktur itu bagus, tapi untuk apa? Dan untuk siapa? Setiap pembangunan di Jakarta harus bisa menjawab 2 hal itu dulu.
Apakah pembangunan di Jakarta sudah menjawab dua hal itu?
Mana ada yang menjawab?
Salah satunya, MRT diklaim sebagai solusi kemacetan…
(Mantan Menteri Perhubungan) Ignatius Jonan saja nggak setuju dengan MRT.
Yang mau dibangun adalah sebuah sistem yang memungkinkan orang bisa akses ke semua pelayanan. Baru moda transportasinya ditentukan. Apakah yang terbaik adalah MRT? Mau korbankan apa untuk bangun itu?
Jangan-jangan jika saja busway diperbanyak, maka sudah selesai mengatasi kemacetan?
Jika semua koridor terakses ke kawasan terpencil kota, dan membuat sengsara pembawa kendaraan pribadi. Menurut saya itu solusi yang bagus. Jika penambahan Transjakarta terus dilakukan, paling yang marah industri mobil. Mereka kapitalis, biar saja.
Industri mobil mempunyai dosa, kota jadi tidak efisien. Karena kota harus menyediakan lapangan parkir yang begitu banyak.
Sama halnya, membuat banyak fly over itu buat siapa? Apakah untuk masyarakat umum? Nggak kan.