Dari mana modal atau dukungan Anda untuk ke Antartika?
Modalnya dari Jepang. Mereka punya dana dan memilih peneliti dari Asia selain Jepang. Terutama peneliti negara Asia yang belum pernah merasakan ke Antartika. Ini juga untuk menginisiasi dan memacu negara lain untuk melakukan penetian yang sama.
Apakah yang Anda bawa dari sana?
Saya membawa batuan dari saya sebanyak 141 jenis batu, seberat 200 kg. Tapi sampai saat ini belum sampai ke Indonesia, karena batuan itu dibawa kapal yang tiba di Jepang 10 April. Sampai ke Indonesia sekitar akhir Mei.
Untuk apa batuan itu jika sudah sampai ke Indonesia?
Saya mempunayai beberapa target. Pertama, untuk penelitian. Saya akan meneliti secara mendalam. Kedua, batu itu untuk bahan mengajar di geologi UGM. Ketiga, batu itu untuk praktikum di laboratorium di UGM. Keempat, berikan ke museum kalau dibutuhkan karena sangat langka sekali dan harus ada sertifikasi khusus.
Itu disertifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup Jepang yang sudah disertifikasi oleh otoritas lembaga penelitian di Antartika. Sehingga nama peneliti masuk ke dalam daftar orang yang bisa membawa batu-batu itu.
Sebenarnya bisa saja dibawa sendiri oleh peneliti tanpa izin, tapi itu melangar Etika. Bahkan membawanya untuk souvenir pun tidak boleh, akan kena screening di bandara Australia.
Misalnya ada peneliti dari Kolombia meneliti lumut di Antartika tidak bisa mengambil sampelnya. Mereka hanya bisa memotret lumut itu.
Bagaimana Anda memastikan proyek itu sukses dengan bekerjasama dengan ilmuan dari negara lain?
Sebelum berangkat kami dipertemukan dalam sebuah pelatihan, seperti winter training. Lalu digabungkan dalam 1 kamar selama penelitian agar saling kenal satu sama lain. Untuk komunikasi menggunakan bahasa Inggris.
Selain itu diputuskan masing-masing orang mempunyai kewajiban sendiri dalam tim. Ada yang tugasnya memasak, yaitu Profesor Sotaru Baba, peneliti dari Universitas Ryukyus Jepang. Dia memang hobi memasak. Kemudian ada yang bertugas mengurusi sampah dan memisahkan sampah itu dalam kategori organik dan non organik.
Sementara saya bertugas untuk mengamati dan mencatat perubahan cuaca setiap hari selama ekspedisi. Saya juga melaporkan cuaca 3 jam sebelum helikopter berangkat pada stasiun penelitian atau juga ke pilot.
Saya dibekali alat otomatis untuk mencatat cuaca mulai dari suhu, kecepatan angin, kecerahan dan kondisi awan. Kemudian jarak pandang, jenis awan, dan kelembapan. Semua itu saya catat setiap hari. Saya laporkan setiap jam 8 malam ke stasiun SOA pakai radio VHS atau juga telepon satelit.
Bagaimana kondisi peneliti geologi di Indonesia?
Geologi itu ilmu dasar, di dalam geologi banyak cabang ilmu. Ada yang mengenai gempa bumi, perminyakan, batu bara, longsor. Kalau saya ahli batuan yang bisa menjelaskan alasan batuan itu bisa ada di satu kawasan. Saya merekonstruksi cerita masa lalu di balik batuan itu. Membaca sejarah bumi dari batuan itu.
Di Indonesia, saya banyak meneliti tentang itu.
Apa penelitian Anda paling menarik di Indonesia?
Saya fokus pada batuan metamorf tekanan tinggi. Salah satunya, saya meneliti batuan metamorf di Bantimala, Sulawesi Selatan. Ternyata batuan metamorf di sana terbentuk di kedalaman 100 kilometer dan terbentuk pada jalur penunjaman yang membentuk suatu palung yang dalam.
Tapi saat ini batuan itu muncul di permukaan karena gempa bumi. Batu itu berusia 110 juta tahun. Batuan yang sama juga ditemukan di Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah. Kemudian dari hasil temuan itu membentuk hipotesa, dulunya Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan satu daratan. Begitu juga di Kalimantan Selatan.
Jadi kami bisa merekonstruksi sejarah bumi.
Ada lagi yang menarik di Pulau Sumatera. Sumatera terbentuk dari beberapa segmen daratan yang bergabung jadi satu. Sumatera merupakan hasil dari penggabungan dari bagian-bagian kecil daratan berbagai benua.
Sejauhmana peluang penelitian geologis di Indonesia?
Selama ini yang membuat peta geologi itu Badan Geologi di Bandung. Di Pulau Jawa, sudah dibuat peta geologi 1:25.000. Tapi di luar Jawa masih belum detil di kisaran peta 1:50.000. Jadi kesempatan geologi untuk berkarya ini masih banyak, seharusnya dibuat peta lebih detil.
Kemudian ahli metamorf di Indonesia masih sangat jarang. Ahli ini hanya ada di UGM, UPN, dan UNHAS. Bahkan di ITB tidak ada ahli metamorf.
Mengapa jumlahnya sedikit?
Ilmu metamorf ini adalah ilmu dasar geologi yang sulit untuk mencari aplikasinya. Ilmu ini sejenis matematika yang membutuhkan bidang ilmu lain untuk menjadi ilmu yang bisa diaplikasikan ke kehidupan sehari-hari di Industri.
Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan uang yang banyak untuk bisa bangun negara. Sehingga bidang geologi di Indonesia ini banyak dikembangkan ke sektor pertambangan, perminyakan dan infrastruktur.
Tap di negara maju, mereka sudah memulai memikirkan ilmuannya untuk mengirimkan sampel batuan dari bulan dan Mars. Nantinya kalau Indonesia sudah menjadi negara maju, pasti ruang untuk peneliti ilmu dasar akan lebih ada.
Kenapa Anda tetap di ilmu metamorf ini? Sementara sudah ada ilmu lain yang lebih menjanjikan?
Kita tidak boleh lupakan ilmu dasar ini.
Anda pernah bekerja di swasta?
Pernah di PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebagai Wellsite geologist yang melakukan supervise pengeboran batubara. Targetnya untuk cari batubara. Saya keluar karena bosan.
Passion saya tidak di sana, saya membutuhkan sesuatu yang tidak monoton. Saya ingin terus melakukan penelitian dan menemukan yang baru.
Setelah ke Antartika, apa target penelitian lain Anda?
Saya msih fokus ke sample dari Antartika. Mungkin membutuhkan waktu 3 tahun untuk sampai publikasi paper. Selain itu saya masih harus melakukan penelitian di Indonesia untuk mengungkap sejarah masa lampau sebuah daratan. Saya pun akan ke Papua.
Berapa biaya penelitian ke Antartika?
Mahal sekali. Peralatan lapangan saya saja, sebuah sepatu nilainya Rp3 juta. Total harga pakaian saya saja Rp20 juta. Belum lagi untuk makan selama 4 bulan, lalu biaya untuk bahan bakar minyak, helikopter, membayar pilot, dan ongkos membangun perlatan penelitin di sana. Jadi sangat mahal. Kira-kira bisa sampai miliaran sekali keberangkatan.
Dengan nilai seperti itu, Indonesia mampu mengirim peneliti ke sana. Tapi kita tidak bisa mengirim tim ekspedisi sendiri dari tim Indonesia saja. Melainkan harus melakukan kolaborasi dengan negara lain.
Biografi singkat Nugroho
Nugroho Imam Setiawan adalah dosen di jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Nugroho menyelesaikan Sarjana Teknik Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Gelar master tekniknya juga didapat dari Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Ilmu Kebumian, di Institut Teknologi Bandung.
Thesisnya mengenai Genesis volcanic Dakah berumur Tersier di daerah Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah. Sementara gelar doktor atau Ph.D dia dapatkan di Earth and Environmental Sciences Division, Graduate School of Social and Cultural Studies, Kyushu University, Japan.
Saat ini Nugroho mempunyai keahlian di bidang petrologi batuan metamorf, petrologi batuan beku, Petrografi, geokimia anorganik, dan mineralogy. Di luar aktivitas mengajar, ilmuan berusia 34 tahun ini aktif di Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Japan Association of Mineralogical and Petrological Sciences, dan Japan Geoscience Union. Nugroho jarang berada di ruang kerjanya, dia keliling Indonesia untuk mencari batu dan meneliti, serta mengungkap sejarah Indonesia lewat bebatuan.