Nugroho Setiawan: ke Antartika Mengungkap Evolusi Bumi Lewat Batu

Senin, 10 April 2017 | 07:00 WIB
Nugroho Setiawan: ke Antartika Mengungkap Evolusi Bumi Lewat Batu
Geolog UGM Nugroho Imam Setiawan ke Antartika. (dok pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mimpi apa Nugroho Imam Setiawan sampai bisa menyandang sebagai ilmuan geologi Indonesia pertama yang melakukan penelitian di daratan es Antartika. Nugroho adalah doktor geologi muda yang mengajar di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Pada 27 November 2016, Nugroho berangkat dari Indonesia ke pelabuhan Pert, Australia untuk menuju ke Antartika. Antartika merupakan benua yang lebih luas dari  Amerika Serikat dan minim kehidupan di sana.

Antartika adalah tempat terdingin di Bumi dengan suhu mencapai -85 dan -90 derajat Celsius di musim dingin. Bagian tengahnya dingin dan kering serta hanya mengalami sedikit curah hujan. Hampir seluruh benua ini diselimuti es setebal rata-rata 2,5 kilometer.

Manusia yang bisa ke Antartika, kebanyakan seorang peneliti. Namun tidak banyak manusia yang bisa bertahan lama di sana, sehingga hilir mudik manusia ke Antartika lebih untuk kepentingan penelitian.

Nugroho bisa ke Antartika melalui seleksi ketat di antara ilmuan top se-Asia. Hampir seratus peneliti geologi Asia bersaing mendaftarkan diri ke Japan Antartic Research Expedition (JARE). Yang terpilih hanya 3 geologis. Program ini 100 persen dibiayai pemerintah Jepang. Selama 2 bulan Nugroho di Antartika untuk mencari batu.

Bicara soal meneliti batu, hal yang mudah untuk ayah 2 anak ini. Bedanya, ini dilakukan di Antartika.

“Untuk berjalan pun sulit, sebab cuaca sangat dingin, hampir -89 derajat. Sehingga mental sangat diuji. Bahkan peneliti top dunia untuk ke Antartika pun harus latihan keras,” kata Nugroho.

Maret lalu, Nugroho pulang ke Indonesia setelah melalui perjalanan menantangnya di Antartika. Kepada suara.com, dia banyak cerita perjalanannya itu. Termasuk cerita membawa oleh-oleh sebanyak 200 kilogram dari Antartika.

Berikut cerita lengkap Nugroho:

Bagaimana awalnya Anda bisa berangkat ke Antartika?

Program Japan Antartic Research Expedition (JARE) sudah ditawarkan tahun 2010. Saya mentaftar saat menjadi mahasiswa S3 tahun pertama di Earth and Environmental Sciences Division, Kyushu University Jepang. Program itu untuk ekspedisi tahun 2012. Kemudian dilakukan wawancara, namun tahun 2012 ada tsunami dan kebocoran nuklir di Fukushima yang menyebabkan program di batalkan sampai waktu yang tidak terbatas.

Tapi ternyata tahun 2015, JARE dibuka lagi. Saya tinggal follow up dan wawancara ulang. Tidak lama diumumkan, saya yang terpilih.

Para peneliti dan ilmuwan dari negara Asia yang belum memiliki basecamp di Antartika. Para peneliti ini dilibatkan secara langsung dan bergabung sebagai observer melalui program Asian Forum for Polar Sciences (AFOPS).

Bagaimana proses seleksi peneliti yang bisa berangkat?

Sangat ketat. Bisa jadi kemungkinan saya tidak terpilih. Karena yang terpilih hanya 3 orang dari seluruh negara Asia. Saya agak lupa jumlahnya, tapi yang saya tahu dari Mongolia mengirim 11 orang, Thailand 4 orang, Vietnam 6 orang, dan lain-lain masih banyak. Yang terpilih akhirnya dari Indonesia, Mongolia dan Thailand.

Berapa orang ilmuan dari Indonesia yang ikut mendaftar?

Ada 2 orang, satu lagi dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).

Anda ilmuan Indonesia yang pertama ikut ekspedisi ke Antartika?

Iya, terutama ilmuan geologi. Jadi ini kesempatan yang sangat langka sekali Indonesia kegiatan di Antartika. Indonesia pernah melakukan penelitian di Antartika kerjasama dengan Australia, tapi berhenti tahun 2005.

Penelitian itu di bidang oceanografi atau di laut. Sementara bidang geologi, Indonesia belum pernah sama sekali melakukan penelitian di Antartika. Bahkan di Asia Tenggara saja belum pernah ada yang melakukan penelitian di sana, mereka hanya melihat-lihat saja. Mereka hanya meneruskan penelitian dari negara-negara maju.

Apakah persiapan Anda untuk berangkat ke sana?

Saya berangkat November 2016. Sebelumnya pada Maret diadakan pelatihan secara kolektif. Kami melakukan winter training di Gunung Norikura, Matsumoto, Jepang. Di sana kami melakukan aktivitas outdoor di salju. Termasuk mendirikan tenda di atas salju, menggunakan peralatan hiking salju, memasak dalam tenda, intinya beradaptasi di kondisi bersalju dan suhu dingin.

Kami juga mendapatkan pendidikan penyelamatan diri, mulai dari materi tali menali, penanganan kondisi darurat dan latihan evakuasi dalam kondisi bersalju.

Berapa total kru yang ikut dalam kapal eksedisi itu?

Semua 80 anggota ekspedisi. Sementara jumlah peneliti yang ikut hanya 34 orang, sisanya supporting team seperti koki, teknisi kapal, pilot, lalu pihak pemerintah. Saat itu mereka mengundang guru SD dan SMP untuk melihat langsung proses dan merasakan penelitian.

Kenapa Anda tertarik meneliti di Antartika?

Di Antartika ada batuan metamorf yang terbentuk dengan suhu yang sangat tinggi. Batu yang seperti itu masih jarang sekali ada di dunia. Secara keilmuan, itu merupakan hal yang sangat langka untuk didapatkan.

Batuan metamorf di Antartika berkualitas sempurna, karena di sana tidak ada kehidupan. Bahkan tidak ada pohon dan manusia yang hidup di sana. Batuannya tidak berubah sama sekali selama jutaan tahun, mempunyai suhu udara yang sangat dingin, kelembaban yang sangat rendah, dan tidak mengalami proses pelapukan menjadi tanah. Sehingga surga untuk geologis untuk mendapatkan batuan yang sangat bagus, segar dan masih utuh.

Bisa Anda jelaskan dengan sederhana pembentukan batu metamorf sehingga menjadi istimewa?

Batu itu terbentuk dengan suhu yang sangat panas, sampai 1.100 derajat.

Geologi itu meneliti batu. Kami membaca batu dari sisi proses. Mengungkap cerita di balik pembentukan batu dan evolusi bumi. Kami bisa baca suhu pembentukan, tekanan dan umur batu tersebut.

Ada batu dari Antartika yang mempunyai suku, tekanan dan umur sama dengan batu yang ada di Srilangka. Jadi itu menunjukan daratan dari Antartika dan Srilangka pernah bersatu di zaman dulu. Sementara saat ini antara Antartika dan Srilangka terpisah ribuan km.

Bagaimana cara Anda mengeksplorasi batu itu?

Saya tidak mengebor sampai dalam, hanya mengambil batu di permukaan saja. Saya hanya memahat batu itu dengan martil dan mengumpulkannya di dalam kantung. Setiap hari saya bawa 15-20 kg. Saya membawanya pakai tas carier 80 liter dengan panggul sendiri. Setiap hari rombongan tim geologi JARE harus menempuh jarak 5–10 kilometer untuk melakukan penelitian.

Berapa lama Anda berada di Antartika?

Efektif saya kerja di lapangan selama 30 hari. Selaa 30 hari kerja cari batu aja.

Tapi total waktu ekspedisi selama 2 Bulan, berangkat dari Indonesia ke Pert, Australia pada 27 November 2016. Lalu sampai Antartika 20 Januari 2017.

Selama 2 bulan di sana, apakah Anda membawa misi sendiri?

Tidak, saya tergabung dalam tim ekspedisi geologi yang mempunyai 8 orang tim. Kita melakukan survei geologi secara bersama.

Kami berangkat dengan kapal ekspedisi JARE, kapal Shirase yang menyimpan 2 helikopter di dalamnya. Ketika sampai di Antartika, kapal ini berhenti di lapisan es, lalu kami di antarkan ke satu titik atau daerah penelitian untuk melakukan survei geologi.

Di sana kami membangun tenda dan tinggal selama beberapa sehari dengan membawa logistik juga. Helikopter hilir mudik dari kapal ke tempat penelitian untuk mengantarkan ke titik lain.  

Bukan kah di Antartika terdapat stasiun internasional? Anda tinggal di sana?

Iya, namanya Syowa, stasiun penelitian milik Jepang di Antartika. Tapi kami tidak tinggal di sana, kami membuat basecamp sendiri karena tempat penelitian kami jauh dari sana.

Tapi ada kesempatan saya untuk tinggal di sana selama 2 hari.

Apakah misi utama ekspedisi itu?

Kami sudah membawa hipotesis batu yang di sana mempunyai suhu pembentukannya semakin ke arah barat semakin tinggi. Kami melakukan survei yang mendalam di sana.

Tantangan fisik apa yang paling sulit?

Sebagai warga negara tropis, tantangan tersulit ketika tinggal di kondisi bersalju. Terlebih aktivitas di luar ruangan yang tidak mempunyai pemanas. Kami juga tidak mandi. Kami di bawah nol derajat di sana. Saya memang biasa di Jepang, tapi aktivitas saya di dalam ruangan pakai pemanas.

Suhu rata-rata di sana rata-rata minus 89 derajat Celsius. Ada 3 area yang saya darati di sana, Pantai Prince Olav, Teluk Lutzow-Holm, dan Teluk Amundsen.

Tenda yang kami dirikan berukuran 2x2 meter, dan satu tenda besar berkapasitas 8 orang untuk pertemuan dan makan. Saya tidur di tenda dengan batuan tajam, bahkan di tengah cuaca badai salju.

Antartika diterpa musim panas dengan matahari bersinar 24 jam setiap hari. Saya harus tidur dalam kondisi terang benderang. Selain itu kondisi gelombang samudara samudra selatan sangat tinggi dan bisa membuat kapal miring 30 derajat. Kebanyakan kru mabuk laut, tapi saya tidak.

Apa pengalaman paling berat atau momen yang tidak terlupakan selama di Antartika?

Mengalami badai.

Saat itu kami berencana tinggal di satu daerah di Antartika selama 3 hari. Tapi dalam perjalanan cuaca sudah buruk, kami was-was jika helikopter nantinya tidak bisa menjemput jika kami tetap melanjutkan penelitian di sana.

Karena angin kencang dan hujan salju. Kami panik. Akhirnya setelah kami di-drop dan turun pesawat, langsung kembali lagi ke kapal. Akhirnya benar juga, kondisi cuaca sangat buruk.

Kami tertahan di kapal sampai 5 hari karena cuaca di luar cuaca buruk, badai salju dan angin kencang. Dalam kondisi cuaca seperti itu di luar ruangan, tidak akan bisa apapun.

Apakah penelitian yang Anda lakukan ada kepentingan langsung dengan Indonesia?

Kepentingan penelitian yang paling dekat atau berpentingan untuk Indonesia di bidang oceanografi dan marine biology. Indonesia masih satu laut dengan Antartika, karena di arus ada laut dari utara ke selatan.

Tapi yang paling berhubungan sekali yaitu meneliti lubang ozon di atas kutub selatan. Itu untuk mengetahui seberapa jauh pelelehan es terjadi di Antartika dan bagaimana dampaknya terhadap naiknya muka air laut pada pulau-pulau di Indonesia. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI