Suara.com - Awalnya rutinitas Gunarti antara rumah dan sawah di tempat tinggalnya di Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Begitu dia tahu desanya akan dibangun pabrik semen, Gunarti berubah.
Gunarti menjadi perempuan pertama yang menggerakkan para ibu di desanya untuk memprotes penambangan baru kapur di desanya. Dia keliling 7 desa menemui para ibu, dan memberi tahu alasan pabrik semen harus diprotes.
Ancaman pembangunan pabrik semen tidak hanya terjadi desanya, namun di beberapa Kabupaten Pati. Penambang mengincar batu kapur di Pegunungan Kendeng. Di sisi lain, gunung itu menjadi sumber penghidupan masyarakat.
“Kalau Kendeng ditambang, sumber mata air bisa habis. Yang terkena dampak pertama kali adalah para ibu. Para ibu yang menggerakkan ekonomi keluarga,” kata Gunarti.
Pekan lalu, suara.com berbincang dengan Gunarti. Dia banyak cerita soal nilai-nilai menjaga ibu bumi atau alam. Menurutnya, alam sudah memberikan segalanya untuk masyarakat Kendeng. Mulai dari sandang sampai papan.
Jika warga membiarkan pabrik semen menambang Kendeng, itu artinya mereka berkhianat.
Jangan heran, warga Kendeng memprotes sampai langsung ke depan Presiden Joko Widodo. Gunarti bicara langsung tentang protesnya ke Jokowi di Istana Kepresidenan.
Gunarti dan ratusan warga Kendeng tak main-main menolak pembangunan semen. Terutama setelah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengeluarkan izin baru pendirian pabrik dan gugurnya, salah satu ‘Kartini Kendeng’, Patmi saat melakukan aksi cor kaki.
Kenapa mereka tak main-main untuk memprotes? Simak wawancara lengkap suara.com dengan Gunarti berikut ini:
Sudah 10 tahun lebih, warga Kendeng protes tambang batu kapur untuk semen. Teakhir, salah satu ibu yang cor kaki dengan semen, Patmi meninggal saat berdemo. Bisa Anda ceritakan perjalanan protes itu sampai kini?
Berawal dari tahun 2006 di Desa Sukolilo, Kabupaten Pati. Ada rencana pendirian pabrik semen.
Awalnya warga tidak tahu, tapi belakangan banyak tanah warga dibeli oleh calo. Yang banyak dibeli di kawasan Tegalan di ereng-ereng Gunung Kendeng.
Isunya akan ditanam pohon Jarak sebagai pengganti bahan bakar minyak. Saat itu isu BBM lagi langka. Tapi tanaman itu tidak ada sejak pembelian tanah, malah yang terjadi rencana pembangunan pabrik semen.
Warga di pegunungan semakin gelisah, mencari kabar-kabar. Setelah itu, mereka bertemu dengan Gunretno, kakak saya. Mulai beberapa bapak-bapak kumpul, membicarakan strategi jika ada pendirian pabrik semen.
Mereka tanya ke kepala desa dan camat, kata mereka tidak ada pendirian pabrik semen. Tapi informasi itu belum terpecaya.
Warga membuat panggung pertemuan di area dekat pegunugan kendeng. Pertemuan itu dilakukan bersama pemerintah kabupaten sampai gubernur, tapi yang datang hanya perwakilan pejabat. Dari pertemuan itu, warga mendapat jawaban positif, akan dibangun pabrik semen.
Apakah warga langsung mengetahui jika penambangan batu untuk semen berdampak buruk?
Awalnya tidak tahu. Tapi warga ada yang merantau ke luar kampung, tahu persis dampak jika ada pabrik semen. Misalnya banyak debu dan dampak untuk resapan air. Karena di Kendeng banyak sumber air.
Akhirnya kaum bapak di kampung keliling desa untuk memberi kabar soal pembangunn semen. Kita ingin memastikan, siapa saja warga yang menjual tanah mereka. Di Sukolilo ada 7 desa.
Anda ikut?
Dari setiap pertemuan kaum bapak, saya satu-satunya kaum ibu yang ikut pertemuan itu.
Saya ikut aktif dalam pertemuan, karena suami saya kalau siang pergi ke sawah. Jadi di keluarga, saya membagi tugas. Saya yang ikut pertemuan, suami yang ke sawah. Kalau semua dilakukan suami, nggak akan ada tenaganya.
Dari pertemuan itu lah terbentuk kelompok Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) tahun 2007. Dari situ, para bapak bisa menyusun strategi menghadapi orang-orang dari PT Semen Gersik dan aparat.
Sementara ibu-ibunya yang belum pada tahu, saya selalu minta agar pertemuan kaum bapak itu melibatkan ibu-ibu. Kalau para ibu tidak tahu, sementara mereka paling banyak ada di rumah, dan jika didatangi orang pro semen, maka tidak begitu saja mau menandatangani surat-surat untuk memberikan lahannya ke PT Semen.
Ibu-ibu di sana sifatnya mudah takut dan diiming-imingi.
Saya juga keliling dari desa ke desa untuk mengabarkan soal bahaya jika pabrik semen berdiri. Saya temui para ibu satu persatu. Saya keliling ke 7 desa dan kampung-kampung sekitar, memberi pemahaman apa pentingnya air untuk kehidupan, seberapa penting tanah yang selama ini memberikan penghidupan manusia.
Setelah mereka paham, akhirnya mereka tidak berniat menjual tanah untuk pabrik semen.
Saat itu ada kepala desa yang memberikan tanahnya ke pabrik semen, banyak warga desa yang menilai itu hak si kepala desa. Padahal kepala desa diberikan beberapa hektar tanah karena dia bekerja untuk masyarakat. Jika kepala desa menjual tanahnya, maka untuk kepala desa selanjutnya tidak ada tanah yang bisa diberikan.
Jadi itu bukan tanah milik kepala desa, tapi tanah milik desa untuk digarap kepala desa. Akhinya warga mulai paham, kepala desa, bupati, dan gubernur bertugas melayani masyarakat.
Ketika mereka mengizinkan pabrik semen beroperasi, maka yang dipakai itu tanah masyarakat. Makanya banyak warga yang tidak merelakan tanahnya diberikan pabrik semen.
Dari mana Anda belajar soal lingkungan?
Saya tidak belajar dari siapapun. Karena saya hidup di desa, jadi anak petani, minta makan dan minum dari hasil ibu bumi (alam).
Makanya saya merasa harus mengasihi, karena saat ini ibu bumi yang lagi terancam. Ibu bumi juga masih kita harapkan memberikan anugerahnya ke anak cucu.
Makanya harus kita bela. Pemahaman seperti itu, tersangkut sendiri di kepala, tidak belajar dari mana-mana.
Kami dididik sejak kecil untuk hidup jadi seorang petani, mendapatkan makan dari ibu bumi. Ketika alam rusak, keturunan kami sengsara.
Apa yang paling sulit meyakinkan warga untuk tidak menyerahkan tanah? Sebab banyak juga warga yang pro pabrik semen.
Nggak sulit. Tapi yang menjadi sulit ketika bersentuhan dengan aparat kepala desa. Kalau ada pertemuan, selalu dibubarkan oleh polisi dan orang bayaran PT Semen.
Dianggapnya kami rapat gelap. Tapi kami selalu mengemasnya pembelaan terhadap ibu bumi, sumber makan warga desa.
Ketika pabrik semen itu ada dan menyentuh kehidupan warga, mengambil gunung, merusak mata air. Ketika sudah hingga, maka hilanglah semua. Karena yang butuh makan dan minum dari alam bukan hanya manusia. Tapi tumbuhan dan hewan juga butuh.
Terlebih gunung kendeng itu gunung karst. Ketika hutan, airnya akan mengalir ke celah batu dan airnya tersimpan di gua dan menjadi sumber mata air. Meski kemarau, airnya tidak akan kering.
Makanya begitu tahu itu, para ibu mulai sadar sumber kehidupannya harus dijaga.
Warga sempat menggugat ke pengadilan…
Mulai tahun 2008 kami maju ke pengadilan. Karena PT Semen Gersik dan Pemkab Pati melanggar perda tata ruang. Tata ruang saat itu peruntukannya untuk kawasan pertanian dan pariwisata. Tapi sebelum perubahan perda tata ruang itu rampung, diubah jadi kawasan industri dan pertambangan.
Sebelum kalah di pengadilan, PT Semen Gersik itu sudah mundur dari Sukolilo tahun 2009. Sementara putusan MA tahun 2010, pabrik semen sudah tidak bisa melakukan PK (peninjauan kembali).
(Mahkamah Agung dalam putusan Peninjauan Kembali No. 99/PK/TUN/2016 telah memutuskan bahwa Kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih dimana PT. Semen Indonesia akan melakukan penambangan, merupakan Kawasan Bentang Alam Karst yang harus dilindungi. Putusan Mahkamah Agung itu berdasarkan Surat Badan Geologi Kementerian ESDM Nomor 3131/05/BGL/2014 tertanggal 1 Juli 2014)
Setelah tahun 2010, ada PT SMS (PT Sahabat Mulai Sakti), anak perusahaan Indosemen, mau masuk ke Kecamatan Tambakromo di Kabupaten Pati. Wilayah itu masih satu gunung. Kami di Sukolilo membantu warga di sana untuk juga menolak, kami berjalan di ke sana bersama para ibu.
Ada berapa total pabrik semen yang ingin menambang semen di Pati?
Masih ada Indosemen yang mau masuk. Di Rembang ada Semen Indonesia (dulu Semen Gersik di Sukolilo).
Jadi di desa Anda, pabrik semen belum sempat berdiri?
Belum, makanya kami tolak sebelum itu terjadi. Kalau pabriknya sudah ada, kami akan kualahan. Bagi kami, kalau bisa sih jangan sampai terjadi.
Karena Jawa Tengah seharusnya peruntukannya menjadi lumbung pangan nusantara. Jadi jangan dijadikan pabrik semen.
Salah satu perlawanan Anda untuk menolak penambangan semen adalah dengan cor kaki. Dari man aide perlawan model begitu?
April 2016 sudah pernah cor kaki.
Di gerakan penolakan semen di Pegunungan Kendeng, kalau ingin melalukan apapun, kita selalu adakan pertemuan dan rapat bersama. Kesepakatan yang kita hasilkan, itu lah yang dipatuhi. Jadi nggak ada satu yang harus begini dan begitu. Entah itu jalan kaki atau mendirikan tenda, itu kesepakatan bersama.
Cor kaki, karena itu melambangkan tanah kita sedang dibelengguh pabrik semen. Kita tak bisa bergerak apa-apa kalau akhirnya nanti pabrik semen masuk.
Terbukti di kawasan Purwakarta, Jawa Barat saat sudah ada pabrik semen, semua warga tersingkir di sana. Sekarang, siapa yang sejahtera? Jadi pemerintah kalau bisa jangan sewenang-wenang. Yang rusak harus diperbaiki. Kalau sudah rusak akan datang bencana.
Anda juga berdiskusi dengan Mama Aleta, pejuang lingkungan dari Nusa Tenggara Timur…
Kita sama-sama membela lingkungan dan menjaga kelestarian ibu bumi. Saat itu (2006) saya belum kenal Mama Aleta, tapi setelah selesai tahun 2009, saya baru mendengar Mama Aleta. Kita sama-sama membela lingkungan agar tetap bisa menjadi sumber kehidupan untuk anak cucu.
Menurut kami, nggak dizinkan Jawa Tengah untuk didirikan pabrik semen sangat logis. Sebab Jawa Tengah seharusnya untuk lumbung pangan. Kalau Anda ingat, Soko Guru Negara itu adalah petani. Kalau nggak ada petani, siapa yang mau kasih makan orang-orang di kota?
Yang sudah ingin jadi petani, jangan diusik. Yang sudah menjadi sawah, ya sudah jadi sawah. Yang sudah jadi gunung, biarkan menjadi gunung. Yang laut, menjadi laut.
Jadi kita bisa hidup seimbang. Bukan mengusik satu sama lain.
Anda menolak pembangunan?
Kita mendukung pembangunan yang berkelanjutan, untuk kehidupan yang berkelanjutan.
Pabrik semen, bagi kami pembangunan yang merusak. Mereka mengambil gunung. Siapa yang bisa bikin gunung itu kembali? Siapa yang bisa kembalikan sumber mata airnya? Kalau gunung itu ditebas, mungkin akan habis beberapa tahun, setelah itu ditinggal.
Tapi tuhan yang membuat gunung, membutuhkan ribuan tahun. Gunung itu nggak akan tumbuh lagi, ini sudah di luar keinginan manusia.
Pertanyaan saya, pabrik semen itu untuk siapa? Semua orang hidup yang paling utama dibutuhkan makan dan minum. Semua itu dari tanah, makanya tanahnya harus dijaga. Tanah juga butuh air yang ada di pegunungan.
Kalau semen, bukannya kami tidak butuh. Tapi semen di Indonesia ini sudah over, banyak pabrik yang ditutup, dan semen dijual ke luar negeri sudah murah.
Padahal, bayi lahir itu butuh air, bukan semen.
Dalam hitung-hitungan, tanah 1 hektar bisa mempekerjakan 250 orang, untuk sekali musim tanam sampai panen. Dalam 1 tahun, 1 hektar membutuhkan tenaga kerja 500 orang. Kalau 2.600 hektar tanahnya di ambil, berapa tenaga kerja yang menganggur.
Kalau tanah itu dipakai untuk pertanian, semua air terjaga. Sementara semen hanya memberikan penghidupan untuk 1 generasi, sementara generasi selanjutnya hanya kena dampaknya saja.
Anda ingin pembangunan yang berkelanjutan di Pati. Pembangunan yang seperti apa?
Saya belum terpikir, tapi yang penting jiwa manusia di sini harus dibangun.
Jangan semua dihitung dengan uang. Kalau uang masih bisa dibikin manusia, kalau gunung nggak bisa dibikin.
Anda menangis saat bertemu Presiden Jokowi. Apa yang Anda bicarakan?
Saya sempat ngobrol. Saya sampaikan mengenai apa yang dilakukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang mengeluarkan izin baru.
Padahal Pak Jokowi pernah bertemu dengan warga Kendeng Agustus 2016. Kami bilang maunya Kendeng jangan ada pabrik semen. Pak Jokowi bilang, Kendeng harus diadakan KLHS, diteliti ulang. Kalau memang pabrik semen tidak layak berdiri di Kendeng, semua harus pergi.
Dikasih waktu 1 tahun. Selama 1 tahun jangan ada izin yang keluar dulu, pabrik yang sudah berdiri harus berhenti beroperasi dan menghormati KLHS ini.
(KLHS merupakan bagian yang diwajibkan oleh Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah membuat KLHS guna memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. KLHS diatur tata laksananya oleh Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2016 yang menekankan prinsip pembangunan berkelanjutan, jaminan atas keterlibatan masyarakat, dan mekanisme pelaksanaan KLHS.)
Akhirnya tim KLHS mempersingkat waktu kerja dan komitmen 6 bulan selesai. Akhir April 2017, laporan itu akan dikeluarkan. Jangankan menunggu sampai akhir April, setelah Pak Jokowi ke Kendeng, pabrik-pabrik banyak yang beroperasi. Sampai Ganjar mengeluarkan izin lagi.
Jadi saya bicara sama Pak Jokowi, seolah-olah Gubernur Jawa Tengah ini ada di atas presiden. Presiden saja berembug dengan masyarakat dan dipatuhi. Tapi Ganjar tidak berembug.
Anda percaya Jokowi akan menghentikan izin pabrik semen?
Kalau KLHS itu jujur dengan bukti yang nyata membuktikan Kendeng tidak layak ditambang. Lalu juga tidak hanya meneliti sumber air dan gunungnya, tapi juga meneliti manusianya. Manusia ini sudah banyak bicara tidak boleh goa dan tempat tinggalnya dirusak. Manusia harus dilindungi.
Apakah warga dilibatkan dalam survei KLHS?
Kalau disurvei dan ditanyai satu persatu, saya tidak tahu. Karena kami merasa itu belum ada. Kita sudah stor petisi tandatangan sebanyak 6.000 tandatangan ke KLHK, ke Gubernur. Itu bukti kita suarakan kami tidak menerima dengan pendirian pabrik semen.
Generasi Anda di Kendeng menolak pabrik semen. Bagaimana dengan generasi selanjutnya?
Warga di sini tidak bersekolah formal. Tapi kami sekolah apa saja, bukan hanya baca dan tulis. Kami belajar soal memahami lingkungan dan pertanian. Sejak kecil kami diajarkan. Kami sekolah di rumahnya sendiri, dikasih tahu sama orangtuanya sendiri.
Ada pihak yang menuding aksi cor semen ditunggangi, bagaimana komentar Anda?
Terserah orang mau bicara apa. Ketulusan nggak harus disuarakan. Kita lihat saja buktinya nanti. Isu itu sejak tahun 2006 sudah ada. Kalau kita melayani isu, kita nggak jalan.
Dari mana dana untuk ke Jakarta, membeli semen dan menjalankan aksi-aksi lainnya?
Warga dari Kendeng ada yang pekerjaannya, setelah selesai bertani, mereka merantau ke Jakarta. Mereka yang merantau memberikan uang, karena nggak bisa ikut aksi. Itu lah yang memberikan kekuatan.
Untuk membela ibu bumi nggak harus ke Jakarta. Yang punya panen banyak, mereka kasih beras. Apakah itu dinamakan didanai orang?
Waktu dulu, sering pergi aksi dengan jual ayam dan beras. Kita bareng-bareng ke sawah mencari keong. Keongnya dijual, dan uangnya untuk aksi.
Kita masih punya keong, karena ada sawah. Pemberian itu semua belum seberapa dari yang diberikan ibu bumi ke kita. Jadi tidak terhitung, berapa materi yang dikeluarkan.
Biografi singkat Gunarti
Gunarti lahir 21 April 1974 di Sukolilo, Kabupaten Pati. Dia adalah ibu rumah tangga dengan 3 orang anak. Kesehariannya, Gunarti ke sawah untuk menanam padi dan mengurus ketiga anaknya.
Sejak kecil, Gunarti tidak pernah bersekolah. Dia dididik orangtuanya menjadi petani. Di tengah kesibukannya menjadi ibu rumah tangga dan petani, Gunarti memimpin para ibu di desanya untuk mencegah pendirian pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng. Dia pun aktif membina anak-anak di desanya memberikan pemahaman tentang alam.
Meski tak sekolah, Gunarti hafal betul dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan semen di Kendeng. Dia hafal di luar kepala undang-undang lingkungan hidup. Gunarti berasal dari komunitas warga sedulur sikep. Ini adalah komunitas masayarakat yang menganut ajaran Samin.