Suara.com - Tewasnya Patmi, petani di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah karena menolak penambangan gunung kapur di sana menambah daftar korban kejahatan lingkungan di Indonesia.
Patmi dan puluhan warga kendeng mencor kakinya dengan semen. Itu tanda, mereka tidak ingin bernasib buruk karena alamnya sengaja di rusak demi uang.
Sebelum tragedi Patmi kendeng, di akhir tahun 1990-an konflik lahan antara masyarakat adat dan pengusaha terjadi di Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat di sana melawan penambangan marmer yang merusak lingkungan suku Mollo.
Aleta Baun, perempuan perkasa memimpin aksi penolakan itu. Dia menghadapi ancaman pembunuhan saat menolak penambangan marmer di sana. Bersama ratusan perempuan, Mama Aleta menghentikan beberaa kawasan penambangan marmer itu.
Pegunungan Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan terdiri dari 63 gunung yang diperkirakan mengandung 3,5 triliun meter kubik marmer. Di pegunungan itu terdapat 5 kecamatan dan 42 desa dengan jumlah 3.000-4.000 kepala keluarga.
Aksi Aleta diakui internional. Baru-baru ini dia mendapatkan pengakuan dari penghargaan Hak Asasi Manusia, Yap Tian Hien 2016.
Sekarang, Aleta menghimpun dana untuk dipakai dalam perjuangan masyarakat adat yang lingkungannya terancam rusak karena ‘keserakahan manusia’.
Suara.com menemui Aleta di sebuah hotel di kawasan Jakarta Selatan belum lama ini. Dia banyak cerita tentang kisahnya mempertahankan kampungnya dari kerusakan lingkungan karena tambang. Menurut Aleta, apa yang terjadi di Mollo juga terjadi di kebanyakan kawasan ‘subur’ di Indonesia.
Penambangan yang merusak lahan terus terjadi, bahkan dengan dalih mengembangkan destinasi pariwisata. Salah satunya, dia sebutkan pengelolaan Pulau Komodo yang tidak adil. Bahkan peristiwa penolakan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah harus disikapi serius oleh pemerintahan Joko Widodo.
“Jangan sampai nanti ada korban, baru pemerintah bergerak,” seru Aleta.
Berikut wawancara lengkap Aleta:
Yap Tian Hien bukan penghargaan pertama Anda. Bahkan Anda pernah dapat penghargaan lingkungan hidup kelas Internasional. Apa makna berbagai penghargaan yang Anda dapat?
Sudah banyak sekali saya dapat pengakuan, bahkan dari negara. Saya rasa, yang pempengaruhi penghargaan ini karena banyak komunitas yang tidak menonton langsung apa yang saya lakukan. Tidak semua media menayangkan keseluruhan itu semua.
Banyak komnitas juga banyak yang tidak mengerti pernyataan itu. Walau pun ada berita, masyarakat tidak tahu baca.
Orang-orang yang mengerti tentang penghargaan itu, misal mereka yang ada di kota, sebenarnya ada nilai tambah untuk saya. Mereka memberikan apresiasi tentang penghargaan ini yang saya dapat. Mereka juga ikut bangga.
Tapi yang menjadi pertanyaan dan kegelisahan saya, apakah kebanggaan mereka terhadap yang saya ini akan mendukung saya, bagaimana mereka menjaga lingkungan. Itu yang menjadi pernyataan saya ketika mendapat penghargaan dan mereka mengatakan, “terimakasi Mama Aleta sudah menjaga lingkungan.”
Dalam hati kecil, apakah yang memberikan penghargaan itu juga mencintai lingkungan? Atau kah jangan-jangan mereka penghianat lingkungan? Itu masih dalam pertanyaan saya.
Sejauh yang saya lihat, di NTT sampai sekarang tidak bersih dari pertambangan.
Selain itu, penghargaan yang saya terima ini membuat orang yang ingin membuka tambang di NTT, selalu berpikir panjang. Mereka memperhitungkan dampak yang akan saya dan masyarakat di sana lakukan.
“Eh kamu mau diberikan izin untuk menambang, tapi apakah Aleta setuju atau tidak dengan tambang itu. Kalau Aleta tidak mendukung, berarti itu kasus yang akan dia bongkar dan kamu akan kalah. Sebaiknya kamu jangan masuk ke daerah itu.”
Jadi itu kira-kira komentar-komentar yang disampaikan kepada perusahaan yang ingin membuka tambang di NTT.
Bisa Anda ceritakan lebih rinci, seperti apa contoh ketakutan perusahaan tambang untuk beroperasi di NTT?
Satu kali, ada iklan dari perusahaan air minum yang mempunyai tema ‘sekarang sumber air sudah dekat’. Perusahaan itu mendatangkan banyak air kemasan, dia coba masuk dan menjual air itu ke Kabupaten Mollo. Pemerintah sudah memperingatkan, mereka akan berhadapan dengan Mama Aleta.
Tapi peringatan itu tidak didengar, pada akhirnya perusahaan itu masuk ke Mollo, dan dia gagal. Karena masyarakat menghadang mobil air kemasan yang masuk, membuat pagar jalan, sampai berkejaran di hutan.
Masyarakat bilang, kalau perusahaan itu mengambil air dari gunung dan memberikannya ke orang-orang untuk minum dengan gratis, tidak apa-apa. Tapi jangan menjualnya.
Penolakan tambang atas nama rakyat terjadi di beberapa tempat. Salah satunya di Rembang, Jawa Tengah yang menolak pabrik semen. Apakah perlawanan yang Anda lakukan bisa dilakukan di daerah lain?
Bisa, saya pun sering menelepon Gunarti (petani Rembang yang menolak tambang Semen). Saya banyak bicara soal cara saya di Mollo. Langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan? Sampai saya tuntun ke pengadilan.
Indonesia bermasalah dengan sumber daya alam, maka kita juga bermasalah dengan sejarah. Sumber daya alam tidak bisa dipisahkan dengan sejarah dan keturunan kita. Sebab tubuh manusia tidak turun dari langit. Tuhan menciptakan manusia dari bumi, dan tubuhnya dilengkapi oleh alam.
Mengapa Tuhan menciptakan tumbuhan dan hewan lebih dulu sampai pada akhirnya menciptakan manusia? Karena manusia membutuhkan alam. Alam untuk melengkapi manusia. Jadi manusia ini adalah bagian dari tubuh bumi.
Bumi memang tunduk di bawah kaki manusia, tapi kalau manusia berbuat jahat maka bumi akan berontak. Pemberontakan itu sudah terjadi kok. Sebut saja tsunami, Lumpur Lapindo, dan sebagainya.
Jadi ketika teman-teman yang berjuang di Rembang, tidak susah memahami mereka. Mereka ingin kembali ke bumi dan bersepakat dengan bumi dan alam.
Pasca keberhasilan penolakan tambang marmer di Gunung Mutis, apa tantangan Suku Mollo yang dihadapi saat ini?
Masyarakat adat tidak punya duit, kita tidak punya senjata. Senjata kita adalah ritual adat. Duit kita adalah komitmen, tekun, bersabar, dan mau. Jadi tantangan selanjutnya ke Mollo itu bertubi-tubi. Apalagi kita melawan matahari. Dari tantangan itu, kita banyak mendapatkan solusi.
Pemerintah mengancam masyarakat karena menolak pembangunan. Kita diancam akan dimasukan ke penjara dan diusir dari kampung. Ada tembakan peringatan, pemukulan, siksaan teror, dan caci maki.
Sampai sekarang masih diperlakukan seperti itu?
Sudah tidak. Kita sudah berhenti memprotes tahun 2012. Karena tambang sudah tutup semua.
Dulu, kami tiduran di lokasi tambang itu selama 1 tahun lebih, kami berjuang dari 1995, sampai dengan 2012. Kami menutup 4 tambang dan mengambil kembali hutan adat seluas 16 ribu hektar. Itu perjuangan tidak mudah
Kami sampai berlumpur-lumpur. Meski dikatakan sebagai pihak yang menang, sampai sekarang, kami tidak percaya dengan pengadilan. Makanya dulu, kami tidak membawa kasus itu ke pengadilan.
Karena terjemahan Undang-Undang Dasar tidak benar. Tidak sesuai dengan hukum adat yang berlaku.
Bisa Anda ceritakan ulang dengan singkat perjuangan Anda dan perempuan di Mollo?
Tahun 1980, pemerintah keluarkan izin tambang batu marmer di Mollo. Saat itu banyak poho di hutan ditebang, bencana pun menerpa. Banjir dan longsor, bahkan air sudah tercemar karena pemotongan marmer di gunung-gunung. Akhir 1990, kami mulai berjuang menghentikan tambang itu, semua perempuan awalnya.
Kami diintimidasi dan diancam dengan berbagaicara oleh negara. Puncaknya, kami duduki lokasi penambangan itu, ada 150 perempuan. Setahun kami tinggal di lokasi tambang dengan mengerjakan aktivitas perempuan di sana. Misal dengan menenun pakaian tradisional. Semakin banyak dukungan, akhirnya perusahaan itu menghentikan aktivitasnya tahun 2007.
Saya dibacok dengan parang, dipukul, dan diancam akan dibunuh, saat pulang ke rumah malam hari. Padahal saya pulang ke rumah untuk menyusui bayi saya yang berumur 2 bulan.
Pegunungan Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan terdiri dari 63 gunung yang diperkirakan mengandung 3,5 triliun meter kubik marmer. Di pegunungan itu terdapat 5 kecamatan dan 42 desa dengan jumlah 3.000-4.000 kepala keluarga.
Pascaperjuangan dan keberhasilan Anda, bagaimana Anda dan teman-teman memastikan generasi Mollo selanjutnya mempertahankan apa yang sudah didapat?
Kami mengelola organisasi selanjutnya. Kami membuka sekolah adat agar generasi selanjutnya belajar soal hidup berkelanjutan. Kita juga mendekatkan diri dengan alam, dengan membuat gereja di hutan, membuat pemukiman adat di hutan, dan membuat pohon Natal tanpa menebang. Jadi mereka membangun kebanggaan dengan bumi.
Anda juga membuat Mama Aleta Fund, untuk apa?
Ini adalah lembaga bantuan untuk mengumpulkan dana untuk perempuan pejuang lingkungan. Akan diluncurkan awal April besok. Sebagian dana yang sudah terkumpul dari uang yang saya dapat dari The Goldman Environmental Prize 2013 sebesar senilai 150 ribu dolar Amerika Serikat (sekitar Rp2 miliar).
Saya melihat dan merasa, perempuan pihak yang paling dikorbankan saat alam sudah rusak. Perempuan ini paling dekat dengan alam. Dana ini untuk penguatan komunitas-komunitas.
Sejak tahun 2014, Anda menjadi anggota DPRD di Kabupaten Mollo. Bagaimana Anda bisa mendorong pembuatan perda-perda yang berpihak kepada rakyat dan kearifan lokal?
Saya masih pegang Nawacita dari Jokowi. Saya tertolong ketika masuk ke DPR dengan slogan Nawacita itu.
Saya masuk ke DPRD dari latar belakang tidak jelas dan tak tahu berpolitik. Saya seperti sangat dipenjara. Tetapi, yang saya pikirkan, saya coba menguatkan masyarakat. Karena saya dipilih oleh masyarakat, saya kuatkan komunitas masyarakat.
Suara saya di parlemen sangat minus. Bahkan saya sama sekali tidak mau berbicara. Saya tidak punya ruangan untuk bicara karena bukan orang yang berpolitik. Saya bukan orang yang bagus untuk berpolitik. Percuma komentar saya di parlemen.
Saya memanfaatkan jabatan di DPR untuk kembali ke kampung dan menguatkan masyarakat. Karena hanya rakyat yang bisa mengubah sesuatu yang diputuskan oleh parlemen dan pemerintah.
Sementara kalau saya di parlemen tidak akan mengubah apapun. Bahkan sampai kucing keluar tanduk juga tidak akan berhasil mengubah. Sebab semua keputusan DPRD adalah keputusan forum.
Bagaimana jika ada perda yang harus disahkan oleh DPRD, tapi perda itu bertentangan dengan nilai-nilai adat dan cenderung merusak alam. Bagaimana dengan suara Anda di DPR?
Ini kan forum, kalau hanya saya yang bersuara, tidak akan pengaruh dan tidak didengar. Maka itu bercuma bersuara. Yang akan bersuara itu adalah masyarakat. Saya mendukung masyarakat untuk menolak perda itu.
Kalau rakyat yang protes, maka akan cepat selesai. Tapi kalau anggota dewan yang protes, tidak akan selesai.
Kementerian Pariwisata tengah mengembangkan kawasan wisata baru di Indonesia. Salah satunya Pulau Komodo dan Labuan Bajo. Bagaimana masukan anda agar pariwisata itu tetap berpihak ke masyarakat adat setempat?
Saya senang dengan pengelolaan pariwisata yang serius di daerah. Itu medapatkan investor, dan jadi pemasukan PAD (pendapatan asli daerah) di daerah. Tapi yang saya sarankan, bagaimana memertahankan keaslian lingkungan yang ada tetap utuh.
Kemarin kita bangga Pulau Komodo masuk ke keajaiban dunia, tapi keindahan itu banyak dinikmati oleh orang asing, banyak orang asing ke Indonesia. Seharusnya Pulau Komodo jadi kebanggaan orang Indonesia yang sebenarnya dia bisa mencintai lingkungan.
Ketika pemerintah membangun pariwisata di mana-mana, banyak masyarakat yang tidak tahu apa itu tanah, air dan hutan.
Di Mollo, kami selalu katakan, “kami akan jual apa yang bisa dibuat, tapi kami tidak jual apapun yang kami tidak bisa buat.”
Kami jual kain tenun, karena kami bisa buat. Tapi kita tidak jual tanah, karena tidak bisa produksi tanah. Ini yang belum dipahami banyak orang. Mereka menganggap aset adalah tanah yang bisa dijual.
Sehingga nantinya pariwisata Indonesia hanya dimanfaatkan orang di luar daerah itu. Saya tidak ingin NTT seperti Bali. Di Bali, sebanyak 50 persen orang adalah pendatang, dan hanya 20 persen penduduk asli.
Apakah kita membangun pariwisata untuk PAD atau untuk kesejahteraan masyarakat? Kalau untuk mencari PAD saja, tidak perlu ada rakyat. Bagaimana orang mendapat duit besar di depan orang yang tidak mampu makan. Jadi rakyat kita mau ditaruh di mana?
Bagaimana masukan Anda agar pengelolaan itu tak rugikan masyarakat?
Dikelola oleh penduduk setempat dan dikunjungi orang asing. Jangan yang mengelola orang asing dan dia tinggal di sana juga. Jadi double dapat keuntungan orang asing itu. Pengelolaan pariwisata di NTT, ada orang asingnya.
Biografi singkat Aleta Baun
Aleta Baun lahir di lahir di Desa Lelobatan, Molo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, 16 Maret 1963. Dia adalah aktivis lingkungan untuk hak-hak masyarakat adat penentang penambangan marmer di Nusa Tenggara Timur. Saat ini Aleta juga duduk sebagai anggota DPRD Nusa Tenggara Timur dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sejak namanya muncul di berbagai media massa internasional, dia banyak mendapatkan penghargaan dan pengakuan internasional. Dua di antaranya Goldman Environmental Prize 2013 dan Yap Thiam Hien Award (YTHA) 2016. Saat ini Aleta sering dilibatkan dalam diskusi-diskusi dan advokasi penolak kerusakan lingkungan, termasuk aktif di advokasi protes para petani di Rembang.