Aleta Baun: Jangan-jangan Pemberi "Award" Pengkhianat Lingkungan

Senin, 27 Maret 2017 | 07:00 WIB
Aleta Baun: Jangan-jangan Pemberi "Award" Pengkhianat Lingkungan
Aleta Baun. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Bisa Anda ceritakan ulang dengan singkat perjuangan Anda dan perempuan di Mollo?

Tahun 1980, pemerintah keluarkan izin tambang batu marmer di Mollo. Saat itu banyak poho di hutan ditebang, bencana pun menerpa. Banjir dan longsor, bahkan air sudah tercemar karena pemotongan marmer di gunung-gunung. Akhir 1990, kami mulai berjuang menghentikan tambang itu, semua perempuan awalnya.

Kami diintimidasi dan diancam dengan berbagaicara oleh negara. Puncaknya, kami duduki lokasi penambangan itu, ada 150 perempuan. Setahun kami tinggal di lokasi tambang dengan mengerjakan aktivitas perempuan di sana. Misal dengan menenun pakaian tradisional. Semakin banyak dukungan, akhirnya perusahaan itu menghentikan aktivitasnya tahun 2007.

Saya dibacok dengan parang, dipukul, dan diancam akan dibunuh, saat pulang ke rumah malam hari. Padahal saya pulang ke rumah untuk menyusui bayi saya yang berumur 2 bulan.

Pegunungan Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan terdiri dari 63 gunung yang diperkirakan mengandung 3,5 triliun meter kubik marmer. Di pegunungan itu terdapat 5 kecamatan dan 42 desa dengan jumlah 3.000-4.000 kepala keluarga.

Pascaperjuangan dan keberhasilan Anda, bagaimana Anda dan teman-teman memastikan generasi Mollo selanjutnya mempertahankan apa yang sudah didapat?

Kami mengelola organisasi selanjutnya. Kami membuka sekolah adat agar generasi selanjutnya belajar soal hidup berkelanjutan. Kita juga mendekatkan diri dengan alam, dengan membuat gereja di hutan, membuat pemukiman adat di hutan, dan membuat pohon Natal tanpa menebang. Jadi mereka membangun kebanggaan dengan bumi.

Anda juga membuat Mama Aleta Fund, untuk apa?

Ini adalah lembaga bantuan untuk mengumpulkan dana untuk perempuan pejuang lingkungan. Akan diluncurkan awal April besok. Sebagian dana yang sudah terkumpul dari uang yang saya dapat dari The Goldman Environmental Prize 2013 sebesar senilai 150 ribu dolar Amerika Serikat (sekitar Rp2 miliar).

Saya melihat dan merasa, perempuan pihak yang paling dikorbankan saat alam sudah rusak. Perempuan ini paling dekat dengan alam. Dana ini untuk penguatan komunitas-komunitas.

Sejak tahun 2014, Anda menjadi anggota DPRD di Kabupaten Mollo. Bagaimana Anda bisa mendorong pembuatan perda-perda yang berpihak kepada rakyat dan kearifan lokal?

Saya masih pegang Nawacita dari Jokowi. Saya tertolong ketika masuk ke DPR dengan slogan Nawacita itu.

Saya masuk ke DPRD dari latar belakang tidak jelas dan tak tahu berpolitik. Saya seperti sangat dipenjara. Tetapi, yang saya pikirkan, saya coba menguatkan masyarakat. Karena saya dipilih oleh masyarakat, saya kuatkan komunitas masyarakat.

Suara saya di parlemen sangat minus. Bahkan saya sama sekali tidak mau berbicara. Saya tidak punya ruangan untuk bicara karena bukan orang yang berpolitik. Saya bukan orang yang bagus untuk berpolitik. Percuma komentar saya di parlemen.

Saya memanfaatkan jabatan di DPR untuk kembali ke kampung dan menguatkan masyarakat. Karena hanya rakyat yang bisa mengubah sesuatu yang diputuskan oleh parlemen dan pemerintah.

Sementara kalau saya di parlemen tidak akan mengubah apapun. Bahkan sampai kucing keluar tanduk juga tidak akan berhasil mengubah. Sebab semua keputusan DPRD adalah keputusan forum.

Bagaimana jika ada perda yang harus disahkan oleh DPRD, tapi perda itu bertentangan dengan nilai-nilai adat dan cenderung merusak alam. Bagaimana dengan suara Anda di DPR?

Ini kan forum, kalau hanya saya yang bersuara, tidak akan pengaruh dan tidak didengar. Maka itu bercuma bersuara. Yang akan bersuara itu adalah masyarakat. Saya mendukung masyarakat untuk menolak perda itu.

Kalau rakyat yang protes, maka akan cepat selesai. Tapi kalau anggota dewan yang protes, tidak akan selesai.

Kementerian Pariwisata tengah mengembangkan kawasan wisata baru di Indonesia. Salah satunya Pulau Komodo dan Labuan Bajo. Bagaimana masukan anda agar pariwisata itu tetap berpihak ke masyarakat adat setempat?

Saya senang dengan pengelolaan pariwisata yang serius di daerah. Itu medapatkan investor, dan jadi pemasukan PAD (pendapatan asli daerah) di daerah. Tapi yang saya sarankan, bagaimana memertahankan keaslian lingkungan yang ada tetap utuh.

Kemarin kita bangga Pulau Komodo masuk ke keajaiban dunia, tapi keindahan itu banyak dinikmati oleh orang asing, banyak orang asing ke Indonesia. Seharusnya Pulau Komodo jadi kebanggaan orang Indonesia yang sebenarnya dia bisa mencintai lingkungan.

Ketika pemerintah membangun pariwisata di mana-mana, banyak masyarakat yang tidak tahu apa itu tanah, air dan hutan.

Di Mollo, kami selalu katakan, “kami akan jual apa yang bisa dibuat, tapi kami tidak jual apapun yang kami tidak bisa buat.”

Kami jual kain tenun, karena kami bisa buat. Tapi kita tidak jual tanah, karena tidak bisa produksi tanah. Ini yang belum dipahami banyak orang. Mereka menganggap aset adalah tanah yang bisa dijual.

Sehingga nantinya pariwisata Indonesia hanya dimanfaatkan orang di luar daerah itu. Saya tidak ingin NTT seperti Bali. Di Bali, sebanyak 50 persen orang adalah pendatang, dan hanya 20 persen penduduk asli.

Apakah kita membangun pariwisata untuk PAD atau untuk kesejahteraan masyarakat? Kalau untuk mencari PAD saja, tidak perlu ada rakyat. Bagaimana orang mendapat duit besar di depan orang yang tidak mampu makan. Jadi rakyat kita mau ditaruh di mana?

Bagaimana masukan Anda agar pengelolaan itu tak rugikan masyarakat?

Dikelola oleh penduduk setempat dan dikunjungi orang asing. Jangan yang mengelola orang asing dan dia tinggal di sana juga. Jadi double dapat keuntungan orang asing itu. Pengelolaan pariwisata di NTT, ada orang asingnya.

Biografi singkat Aleta Baun

Aleta Baun lahir di lahir di Desa Lelobatan, Molo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, 16 Maret 1963. Dia adalah aktivis lingkungan untuk hak-hak masyarakat adat penentang penambangan marmer di Nusa Tenggara Timur. Saat ini Aleta juga duduk sebagai anggota DPRD Nusa Tenggara Timur dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Sejak namanya muncul di berbagai media massa internasional, dia banyak mendapatkan penghargaan dan pengakuan internasional. Dua di antaranya Goldman Environmental Prize 2013 dan Yap Thiam Hien Award (YTHA) 2016. Saat ini Aleta sering dilibatkan dalam diskusi-diskusi dan advokasi penolak kerusakan lingkungan, termasuk aktif di advokasi protes para petani di Rembang.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI