Di luar Indonesia, adalah negara yang berhasil menjauhkan agama dari kepentingan politik?
Di negara sekuler, agama biarlah diurus oleh umatnya. Negara sebagai lembaga publik, tidak boleh mencampuri urusan keyakinan warganya. Jadi negara sekuler bukan negara anti agama. Tapi tidak mau intervensi keyakinan warganya.
Yang tepat yah begitu.
Dalam Islam, agama menitipkan satu pesan saja, keadilan. Islam tidak pernah menitipkan pesan ke negara untuk meng-Islam-kan seluruh rakyat Indonesia. Nggak bisa itu. Bahkan di Arab Saudi, agama non muslim diberikan hak juga. Arab Saudi juga banyak kerjasama dengan negara non muslim.
Di dunia, tidak ada negara yang hanya ekslusif satu agama.
Apa itu toleransi menurut Anda? Apakah ada kekhasan toleransi di Indonesia?
Toleransi sebenarnya berarti saya menghargai Anda dengan seluruh integritas, keyakinan dan tradisi. Yang penting Anda tidak merugikan saya. Kalau Anda merugikan saya, itu masalah. Tolak ukur merugikan itu sudah ditentukan dalam hukum-hukum yang berlaku di negeri itu.
Kalau Anda mengagresi hak saya, negara akan turun tangan. Tapi kalau soal beda agama, keyakinan, dan mazhab, negara tidak boleh campur tangan. Bahkan negara tidak boleh mengatur agama untuk turun tangan.
Negara tidak boleh melarang agama tertentu tidak boleh hidup. Dunia ini tidak boleh dibuat satu corak.
Bagaimana untuk menumbuhkan sikap toleransi di kalangan masyarakat dan pemuka agama? Agar masyarakat, khususnya pemuka agama tidak menjadi penyulut ketidakharmonisan.
Secara doktrin sudah sangat cukup, tapi kadang-kadang ada pemimpin agama yang membangun komunitas ke dirinya menyerempet orang lain. Jangan kepada orang yang beda, antara tokoh sesama umat agama pun bisa saling sikut-sikutan juga.
Sebenarnya mereka berebut pasar, sebenarnya politis juga.
Misalnya ustad A mencela ustad B. Padahal sama-sama Islam, tapi mereka berkompetisi berebut pasar.
Apakah postif perilaku pemuka agama yang berebut jumlah umat?
Sebenarnya positif. Tapi mereka berebut untuk melayani umat. Kalau berebut pasar untuk mendominasi, membuat basis, dan untuk mengalahkan yang lain, itu buruk. Jadi bukan untuk menghegemoni dan mencari pengikut.
Kalau untuk berniat mencari pengikut, ya sudah duniawi. Sudah kepentingan materi. Kalau mau yang ikhlas, melayani. Kan sekarang, banyak yang berebut banyak pengikut. Semakin banyak pengikut, semakin banyak fasilitas.
Anda melihat kebanyakan ulama di Indonesia seperti itu?
Terserah Anda yang melihatnya.
Bagaimana di negara lain?
Timur Tengah sudah hancur begitu. Tinggal beberapa negara saja yang belum hancur karena ada diktator saja. Di Indonesia negara yang demokratis, tapi kalau isu SARA ini ‘digoreng’, akan hancur juga.
Dan penggorengnya pasti tokoh-tokoh agama juga. Karena yang mempunyai logika menggoreng sentiment agama orang-orang itu juga. Jadi agama apapun akan kokoh, tergantung umat dan pemimpinnya.
Bagaimana seharusnya yang dilakukan pemerintah untuk mengakhiri perpecahan sikap intoleran ini?
Kalau ada masalah konflik berbau SARA, pemerintah harus mempertemukan kelompok itu. Agar yang konflik bisa duduk bareng. Sesama rakyat Indonesia sesungguhnya ingin berbuat baik bersama. Jadi berkompetisi dalam melayani bangsa ini, jangan memperebutkan pengaruh.
Biografi singkat Masdar Farid Mas’udi
Masdar Farid Mas'udi adalah sosok kyai atau ulama yang moderat. Pemikirannya sebagai tokoh Nahdalatul Ulama selalu kontroversi karena membela kaum minoritas dan melawan kelompok intoleran. Masdar, menghabiskan masa kecilnya di pesantren. Dia adalah lulusan ilmu syariah di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan gelar masternya didapat dari ilmu filsafat Universitas Indonesia.
Lelaki yang lahir 18 September 1954 itu mengawali karir sebagai pemikir Islam di Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Kiprahnya di NU mulai cemerlang saat menjadi Wakil Ketua Tim Asistensi Pemikiran Sosial Keagamaan untuk Rois Am KH. Ahmad Sidiq dan Ketuan Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid. Setelah itu dia menjadi Wakil Ketua RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiy ) PBNU selama 10 tahun sampai reformasi. Pada 2004, Masdar ditunjuk sebagai Pelaksana Harian (PLH) Ketua Umum PBNU setelah Keputusan Majlis Syuriah PBNU, selama Hasyim Muzadi menjadi CAWAPRES 2004.
Masdar pun pernah berkarir sebagai jurnalis di era 80-an, ini karir professional pertamanya. Dia pun banyak menjadi pengajar dengan kuliah Islamologi, salah satunya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Dia pernah menjadi Komisioner Ombudman Nasional, Anggota Tim Seleksi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sekarang, Masdar masih aktif menulis dan mengajar di tengah kesibukannya menjadi Komisioner Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).