Masdar Mas'udi: Kafir, Karena Nafsu Politik Orang Beragama Tinggi

Senin, 13 Maret 2017 | 07:00 WIB
Masdar Mas'udi: Kafir, Karena Nafsu Politik Orang Beragama Tinggi
Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Masdar Farid Mas'udi. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Provokasi atas nama agama terus berlangsung di tengah hiruk pikuk pemilihan kepala daerah serentak di Indonesia. Di Pilkada Jakarta, kampanye dan teror dengan menyebarkan kebencian terus terjadi dengan cara yang berbeda.

Terakhir, sekelompok orang menyerukan menolak memandikan atau mengurus jenazah orang yang memilih pemimpin yang menistakan agama. Meski tak langsung menyebut nama, sulit terbantahkan jika itu ditujukan ke calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Terlepas dari pro dan kontra Ahok, menyebar kebencian dengan mengatasnamakan SARA bisa menghancurkan negara. Contoh kasus, terjadi di negara-negara Timur Tengah.

Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Masdar Farid Mas'udi melihat gejala itu terjadi lantaran hubungan antara agama dan politik sangat dekat. Menurutnya, adanya partai dengan berselimut keagamaan justru menyulut isu SARA makin kuat.

Sebab agama dan keyakinan warga negara dipakai untuk kepentingan politik mendapatkan kekuasaan. Padahal, demokrasi di Indonesia seharusnya tidak membeda-bedakan warga dari soal suku, agama, ras dan golongan tertentu.

Salah satu contoh agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik adalah pernyataan jika muslim tidak boleh memilih pemimpin dari kalangan non muslim. Masdar menegaskan pernyataan itu salah ditafsirkan. “Perbedaan keyakinan, agama dan etnik itu kehendak Allah untuk membuat dunia ini dinamis,” kata Masdar.

Untuk mendapatkan penjelasan lebih lengkap, Suara.com menemui Masdar di kantor Baznas, Jakarta pekan lalu. Masdar banyak menuangkan pemikirannya soal hidup bertoleransi dan meluruskan isu SARA yang terjadi. Berikut petikan lengkap:

Sejak Pilkada di Jakarta, isu SARA mengugat dan membuat seolah masyarakat terpecah. Terakhir, isu larangan memandikan jenazah pendukung penista Agama. Bagaimana pandangan Anda soal kejadian ini?

Kalau dibahas, ini sangat sensitif. Sekarang ini, orang mudah tersinggung.

Sebenarnya, semua kitab agama, terutama kitab umat Islam meyakini bahwa ada ayat yang mengatakan sekiranya Allah menghendaki, Allah bisa saja menjadikan seluruh umat manusia di dunia ini satu agama dan satu keyakinan.

Artinya perbedaan keyakinan, agama, tradisi dan segala macam itu kehendak Allah. Supaya ada dinamika, kalau semua seragam tidak akan ada dinamika. Bahkan, satu agama pun bisa dipahami dengan berbagai hal.

Jadi tidak mungkin manusia ini dijadikan satu corak, satu paham, dan satu ideologi. Allah tidak menghendaki itu. Yang dikehendaki-Nya adanya perbedaan bahasa dan warna kulit. Bahasa, termasuk keyakinan dan nilai-nilai yang dipahami.

Itu sudah kodrat dan takdir.

Kalau ada perbedaan, kan pasti akan ada motivasi untuk berkompetisi. Perbedaan keyakinan, agama dan etnik itu kehendak Allah untuk membuat dunia ini dinamis.

Maka, normalnya ketika kita beda Agama, dalam Al Quran sudah dikatakan “bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Ya sudah kita sama-sama jalan. Apa yang diyakinkan agama masing-masing, jalankan dengan baik. Yang penting kita berbuat kebaikan bersama-sama.

Bagaimana cara menjelaskan perbedaan agama itu kepada masyarakat Indonesia dalam konteks ke-Indonesiaan? Sebab Indonesia mempunyai berbagai macam suku dan agama.

Bandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia sebenarnya paling hebat menyadari ke-bhinekaan itu. Mana ada negara di dunia yang memiliki semua agama di negeri yang sama. Jumlah kepercayaan dan agama di Indonesia tak terhingga. Ratusan jumlahnya. Tidak ada di negeri lain.

Bahkan di negara Islam, paling hanya 1 persen yang beragama non-Islam. Di Indonesia luar biasa, agama berkumpul dengan semua mazhab dan alirannya. Selama ini Indonesia baik-baik aja.

Tapi banyak juga tudingan sesat dan kafir antara orang yang memeluk keyakinan itu. Misal yang selalu dituding sesat adalah Syiah dan Ahmadiyah…

Ya tentu saja, sesungguhnya semua agama memandang yang lain itu sesat. Jadi sesama orang sesat jangan saling menyalahkan dan saling mengejek.

Atau juga semua agama merasa paling benar. Jadi sesama yang benar jangan saling bertengkar.

Kalau soal anggapan masing-masing sesat itu soal terminologi. Lagi-lagi, normanya “bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Silakan pegang sekeras-kerasnya dan sekencangnya keyakinan itu. Jadi masing-masing punya hak untuk menjalankan keyakinan.

Tapi jika di lihat di media massa, banyak pihak yang saling mengkafirkan…

Sebenarnya banyak orang yang sudah paham. Buktinya Indonesia ini sejak dahulu kala punya macam-macam agama, bahkan di belahan dunia lain tidak ada, cuma di Indonesia yang ada. Karena prinsip Bhinneka Tunggal Ika itu berjalan.

Ketika ada agenda lain yang lebih menonjol dalam hidup keagamaan jadi kekuasaan, ini memang menjadi sensitif. Karena kalau berebut kekuasaan itu “kalah menang”. Misal dalam pemilihan gubernur, kan hasilnya yang terpilih nanti hanya 1 orang.

Jadi memang ketika orang beragama tapi yang dipakai nalar politik, maka pasti akan terprovokasi untuk menistakan yang lain. Lebih-lebih ketika kesadaran dan nafsu politiknya tinggi.

Maka sebaiknya dan seharusnya, agama jangan terlalu berhimpitan dengan politik.

Apakah tidak boleh ada partai yang mengakui berideologi agama?

Partai agama itu sebenarnya kurang tepat. Karena partai mempunyai agenda mengelola kekuasaan untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan kelompok. Makna publik itu terbuka, semua rakyat Indonesia itu publik. Tanpa melihat keyakinan, suku dan agamanya. Semua harus diperlakukan sama.

Ketika Anda Beragama A dan memimpin negeri ini, maka Anda tidak boleh mendiskriminasi warga yang yang beragama B, C, atau D. Meski ada orang seagama sama dengan Anda dan dia salah, harus dihukum. Sebaliknya, jika beda agama tapi benar, maka harus dibela dan harus dihormati sebagai orang benar.

Negara harus objektif, tidak boleh subjektif. Tidak boleh memandang warganya berdasarkan SARA. Kalau negara dibajak oleh logika agama yang sempit dan ekslusif, hancur negeri ini. Dalam Islam, hal itu tidak boleh. Karena pemimpin harus memperlakukan rakyatnya dengan adil dan setara.

Terlepas dari hiruk pikuk Pilkada Jakarta, bagaiamana sebenarnya publik harus bersikap soal larangan memilih pemimpin Non Muslim. Sebab hal yang seperti ini terus terjadi berulang? Apakah Al Maidah berbunyi seperti itu?

Dalam Al Quran, pemimpin yang tidak boleh dipilih adalah yang memerangi kamu. Kalau beda agama, tidak apa-apa. Tidak masalah.

Tapi kalau pemimpin yang memusuhi dan memerangi, itu yang tidak. Tidak usah dijelaskan pakai ayat, semua orang juga paham untuk tidak pilih pemimpin yang seperti itu.

Mengapa ada propaganda yang muslim tak boleh pilih calon pemimpin non muslim?

Mungkin juga karena masing-masing agama nafsu politiknya tinggi. Sensitif kalau ada kompetisi politik.

Maka catatan penting saya, agama harus menarik diri dari identifiksi pada politik. Agama harus bergumul pada pembinaan etika dan moralitas, serta harus menghormati kemanusiaan secara universal. Apapun agama dan sukunya, selama manusia, harus diperlakukan dengan setara.

Anda menyebut Agama harus dijauhkan dari kepentingan politik. Apakah seharusnya parpol politik yang berideologi agama harus mengubah landasannya?

Agama boleh saja memberikan masukan kepada politik, tapi  harus bertolak pada nilai yang inklusif. Islam juga bicara soal negara, tapi yang digarisbawahi adalah keadilan.

Jika kamu memerintah antara manusia, maka memerintahnya dengan keadilan. Negara yang adil akan berdiri kokoh meski negera itu atheis.

Negara Indonesia juga ujungnya keadilan. Ketuhanan basis spiritual kita, kemanusiaan adalah basis moral kita, persatuan Indonesia adalah basis kehidupan sosial kita. Ini sangat-sangat Islami.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI