Suara.com - Khofifah Indar Parawansa adalah menteri di Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla yang sering keliling Indonesia. Ia mendatangi kota, sampai kawasan pedalaman.
Pekan lalu, suara.com mengikuti blusukan Khofifah selama 4 hari ke Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Di sana, Khofifah ingin memastikan bantuan sosial (bansos) langsung sampai ke masyarakat. Sebab bansos jadi sasaran empuk untuk disunat oknum nakal.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU itu banyak cerita soal terobosan untuk mengurangi kebocoran bansos. Salah satunya inovasi integrasi berbagai program pemerintah.
Khofifah merasakan tugas ‘unik’ menjadi Menteri Sosial sejak pemerintahan Jokowi. Dia menyebut jika kementeriannya banyak mengurusi hal-hal yang bukan ranah penugasannya. Bahkan di Kalimantan Selatan, Khofifah sempat ke kawasan terpencil di Desa Nawin, Kecamatan Haruai, Kabupaten Tabalong. Di sana, Kemensos membangun puluhan rumah di kawasan hutan untuk masyarakat adat yang belum tercatat secara administrasi negara.
“KAT (komuitas adat terpencil) merupakan wilayah yang tidak dikunjungi Kementerian Desa, karena tidak terdata. Lalu, diurus siapa? Ini kan orang Indonesia. Makanya saya sebut Kemensos ini Kementerian Sosial dan lain-lain,” kata dia.
Sepanjang perjalanan blusukannya, Khofifah juga cerita kisah-kisah unik selama keliling Indonesia. Termasuk kunjungannya ke Puncak Jaya, Papua yang menjadikannya menteri Indonesia pertama yang menginjakan kakinya ke sana.
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Khofifah:
Anda adalah menteri pertama Indonesia yang menginjakan kaki di Puncak Jaya, Papua. Bagaimana ceritanya?
Tidak mudah mendapatkan izin ke Puncak Jaya. Di sana banyak sniper (penembak jitu) hebat. Tapi saya mencoba menelepon Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmayanto dan Kepala Kepolisian Indonesia saat itu, Jenderal Badrodin Haiti. Mereka bilang, siap. Ya sudah saya siapkan berangkat.
Saya berpikir ke sana bawa apa. Saya bawa banyak poster Presiden dan wakil presiden. Saya bawa bendera dari yang kecil, sedang, dan besar. Saya juga bawa poster foto presiden dan wapres. Saya berikan poster itu. Saya bilang, bapak ini presiden Indonesia. Kalau bapak bersedia, bisa saya berikan poster ini ke bapak. Dia menerimanya.
Saat itu penjagaan sangat ketat. Tapi apa jadinya kalau kepala pemerintah di sana pun belum pernah ke Puncak Jaya? Saya ingin memastikan masyarakat di sana mendapatkan haknya sebagai warga negara.
Sebagai menteri, Anda sering keliling Indonesia untuk mengecek perjalanan program pemerintah, terutama pemberian bantuan sosial. Mengapa hal ini Anda lakukan? Bukan kah sudah ada dinas-dinas sosial di pemerintah daerah yang mengawasi?
Dinsos bukan anak buah saya, fungsinya koordinasi. Ada 95 persen sampai dengan Desember garis Dinsos dengan Kemensos hanya garis koordinasi. Saya sudah sudah mengirimkan surat ke Kementerian Dalam Negeri sejak Mei 2015. Jika dinas sosialnya banyak fungsi, nggak akan jalan.
Fungsi-fungsi di Kemensos banyak sekali, sementara fungsi di bawahnya tidak support, sampai budget nggak support. Misal ada kasus KDRT di Pontianak dan Tangerang, mereka larinya ke Kemensos. Ada anak terlantar di Trenggalek, larinya ke Kemensos. Urusan itu seharusnya bisa dihandle oleh daerah.
Saya sudah keliling Indonesia pun, banyak kepala daerah yang tidak mengerti soal PKH (Program Keluarga Harapan). Ada yang sampai menjabat 2 periode saja, ada yang masih tidak mengerti PKH. Karena dana PKH dari APBN tidak turun ke lewat APBD, tapi langsung ke rakyat.
Makanya, jika ada penurunan kemiskinan di daerah sesungguhnya yang memiliki signifikansi adalah program dari pemerintah pusat. Itu pun masih banyak yang tidak mengerti.
Makanya kalau kunjungan ke daerah, saya selalu bawa Buku Merah Putih. Buku itu berisi daftar penerima dan besaran yang diterima daerah tertentu. Bahkan sampai SDM-nya. Dari situ harapannya, bupati, wakil bupati dan SKPD bisa tahu. Harapan saya mengkoordinasikan program-program yang seharusnya menjadi komitmen bersama. Ini proritas nasional dan daerah.
Artinya, apakah seharusnya posisi Dinas Sosial berubah menjadi di bawah Kemensos agar mudah dalam menjalankan program di daerah dan memperlancar komunikasi dengan pusat…
Nggak lah, ini kan era otonomi daerah. Yang penting koordinasinya nyambung, kepala daerahnya terkomunikasikan dan mau mengawal. Ada salah satu bupati di Luwu Utara, dia mengawal PKH sejak menjadi wakil bupati. Sehingga setelah jadi bupati, dia sudah tahu garis depan penanganan fakir miskin dan PKH adalah para pendamping PKH.
Kalau ketemu bupati seperti ini keren banget, jadi merasa terbantu. Makanya pendamping PKH-nya sampai dapat semacam tambahan honor dari Pemkab Rp1 juta sebulan. Tahun 2017 ini Pemkab memberikan motor untuk pendamping PKH. Kalau bupati seperti ini, nggak usah ruwet.
Kemarin saya lihat omongan Menteri Keuangan Sri Mulyani, APBN Rp2.000 triliun ini buat apa yah? Wapres Jusuf Kalla juga mengingatkan dari tahun ke tahun, uang itu jadi apa? Kalau pandangan saya di Kemensos, uang yang mengalir ke Kemensos ini harus sampai ke warga.
Saya punya cerita, dulu untuk memastikan bantuan sampai ke warga, saya sampai datangi warga ke rumahnya. Itu bukan H-1 (sebelum pemberian bantuan), tapi H-1 sampai 2 jam di lokasi. Ceritanya lucu-lucu, sampai ada petugas dinas sosialnya memandu di belakang saya.
Apakah Anda banyak menemukan dana sosial ini tidak tepat sasaran?
Pernah saya menghadiri penerimaan PKH di Bandar Lampung, kok wajah penerima PKH-nya kinclong-kinclong banget. Saya langsung evaluasi, saya curiga mereka sebagai penerima yang masuk data error (bukan penerima PKH).
Begitu juga saat di Balikpapan saat pencairan dana PKH, kinclong juga. Jangan-jangan ini juga masuk data penerima yang error.
Setelah itu saya minta ke pendamping PKH, agar saya diajak ke rumah si penerima PKH itu. Saya pun ke rumahnya. Ternyata benar, dia penerima yang tepat. Rumah dia berukuran 3x3 meter, kontrakan, dan tanpa kamar. Rumahnya ada di belakang pasar.
Jadi kita sering tertipu dengan orang kulit bersih, dianggapnya sebagai orang berada. Padahal dia dari keluarga yang kurang mampu. Sebab orang Banjar memang kulitnya putih-putih bersih, sama dengan orang Palembang.
Cara seperti itu saya lakoni untuk memastikan penerima bantuan tepat sasaran. Mungkin data saya lebih detil dari staf Kementerian Sosial.
Anda juga teliti sampai memeriksa barang-barang bantuan sosial. Bahkan Anda memeriksa berat timbangan rastra (raskin)…
Itu biasa. Saya itu orang sangat detail. Lagi pula kan beda antara pengambil kebijakan eksekutuf dengan DPR. Eksekutif adalah eksekutor dari seluruh kebijakan yang ada.
Misalnya soal KAT (komunitas adat terpencil), saya sudah bilang tidak perlu mencari kawasan KAT yang jauh, cari yang saya bisa mudah ditinjau. Di Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan, KAT disebut suku anak dalam atau orang rimba.
Di banyak tempat KAT belum teradministrasikan atau terdata oleh pemerintah. Mereka belum terintegrasi dengan pemerintahan administrasi terdekat.
Bahkan KAT merupakan wilayah yang tidak dikunjungi Kementerian Desa, karena tidak terdata. Lalu, diurus siapa? Ini kan orang Indonesia. Makanya saya sebut Kemensos ini Kementerian Sosial dan lain-lain. Karena mengurus apa yang tidak diurus kementerian lain. KAT ini dibuatkan rumah oleh Kemensos.
Integrasi bantuan sosial salah satu cara agar bantuan tepat sasaran. Seperti apa konsep integrasi ini?
Pak Jokowi beberapa kali berpesan, Bansos terintegrasi dalam 1 kartu. Lalu Maret 2016 rencana itu dibawa ke Rapat Terbatas di Istana Kepresidenan.
Tapi tahun 2015 sudah dimulai pembicaraan bagaimana bansos diberikan dalam 1 kartu. Bisa atau tidak digunakan sistem perbankan?
Karena dulu ada berita, ada KKS (Kartu Keluarga Sejahtera) digadaikan kartunya, lalu ada yang memotong dana sosial. Jika menggunakan sistem perbankan, hal seperti itu harusnya sudah bisa dihilangkan.
Sebelum dibahas Maret 2016, Febuari 2016 saya konsolidasi dengan perbankan. Saya berpikir, apa mau orang diberikan kartu yang tidak berduit. Akhirnya bisa dengan transaksi zero cost. Saya bertemu dengan BNI, ternyata bisa dilakukan dengan sistem seperti itu.
Akhirnya Bank Indonesia dan OJK mendukung memberikan masukan dari sisi perbankan. Menteri BUMN juga membantu mengkonsolidasikan perbankan.
Sebab nasabah penerima bansos ini, nasabah imut-imut, bukan UMKM. Mereka bisa tarik tunai sampai nol rupiah. Ini kerja keras aparatur perbankan di semua lini sampai merombak kultur pelayanan. Biasanya mereka melayani agen, ini yang melayani yang imut-imut.
Sehingga jika bansos non tunai ini berjalan, bisa mewujudkan pemerataan ekonomi, pengentasan kemiskinan, pengurangi gini rasio. Kalau PKH dan rastra ini terintergrasi, penguatan dan pemerataan akan terbangun.
Kemiskinan masih menjadi problem di Indonesia. Namun berdasarkan catatan BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia per September 2016 turun menjadi 27,76 juta jiwa. Apa yang dilakukan di Kemensos untuk menurunkan kesenjangan ekonomi?
Terlalu jauh jika Kemensos menurunkan kesenjangan ekonomi. Karena ada peran pembangunan infrastruktur. Dari sisi ekonomi makro, ada pembukaan lapangan kerja. Tugas Kemensos bukan untuk pembentukan usaha kecil menengah atau juga pembukaan lapangan kerja.
Kami ada program e-Warung. Jika program ini jalan, akan sangat signifikan menurunkan kesenjangan. Lewat e-Warung dengan sendirinya orang akan punya peluang bekerja. e-Warung ini basisnya kube (Kelompok Usaha Bersama), satu kube rata-rata 10 orang.
E-warung akan menjadi pusat transaksi penerima bansos dan subsidi. Jika bansos makin terintegrasi, semisal rastra nilainya hampir Rp21 triliun dan PKH Rp12 triliun. Total bantuan sosial dan subsidi itu bisa tembus sampai Rp148 triliun.
Sementara Bulog akan mengirim beras dan gula dalam bentuk karungan. Jika masyarakat di e-Warung membantu membungkuskan gula, akan mendapatkan fee Rp300 per-pack. Sementara fee penjualan perkilogram Rp500 rupiah.
Jika per 1 kg mereka mendapatkan Rp500, jika seorang penerima (KPM) mendapatkan 12 kg, maka e-warung mendapatkan Rp6.000 untuk proses distribusi gula itu. Targetnya ada 500-1.000 KPM, maka satu e-warung punya profit bersih Rp6 juta perbulan. Belum lagi ditambah fee PKH, Rp1.300 perKPM, kemudian dari fee pembayaran listrik, dan PDAM, ini market yang besar.
Keluarga kurang mampu diberikan peluang untuk membentuk e-warung. Saat ini kebanyakan e-warung itu dari CSR BNI dan BRI. Sebab tahun kemarin Kemensos belum mendapatkan dana APBN untuk e-warung. Tahun 2017 ini sudah terbentuk 2.500 e-warung. Kita butuh 10.000 e-warung.
Sejauh mana program e-warung ini bisa kurangi kemiskinan?
Saya berharap 2 tahun mengelola e-warung sudah bisa mandiri. Setelah 2 tahun tidak terima PKH dan rastra, sebab sudah bisa mandiri.
Kalau target pengentasan kemiskinan bukan dari Kemensos, tapi RPJM.
Dulu saya mengusulkan ke Menpan untuk menambah 1 direktorat penanganan fakir miskin. Direktorat penanganan fakir miskin baru ada di 2016, DIPA-nya baru cair akhir tahun. Jadi penanganan fakir miskin di perkotaan dan pedesaan itu berbeda. Data kemiskinan kita di desa jumlahnya 2 kali lipat daripada di desa. Jadi memang harus pendekatan kewilayahan.
Anda termasuk sosok menteri yang sederhana, jarang menggunakan manik-matik…
Anda saja yang tidak pernah lihat… hahaha…
Salah satunya saya perhatikan, Anda selalu pakai sepatu yang sama saat blusukan. Ada cerita apa di balik sepatu itu?
Dari dulu saya begini, bukan karena menjadi menteri. Saya harus cari baju yang cocok di segala situasi. Saya pagi suka diundang ke pengajian, siang ke seminar, dan malam ada apa lagi. Di mana saya bisa dapat baju yang multifungsi seperti itu. Belum tentu sempat ganti baju di tengah jalan.
Begitu juga sepatu. Ini sepatu yang luar biasa, di banjir juga saya pakai. Berlumpur juga saya pakai, bahkan ke Istana Kepresidenan pun tetap pantas. Sepatu ini produksi Tanggulangin. Saya mau pesan lagi, tapi sudah tidak diproduksi. Sepatu ini sudah lama banget, 6 tahun lebih.
Soal baju pun begitu, saya pakai baju lama untuk pengumuman kabinet Pak Jokowi. Baju itu saya pakai waktu jadi menterinya Gus Dur. Saya banyak baju putih.
Sepatu saya ini sudah banyak menjadi saksi perjalanan.
Ada kisah penarik?
Saat saya ke Bima untuk mengunjungi korban banjir di sana. Jika saya ke daerah, 60 perjalanan selalu mengecek gudang logistik. Lalu banjir di Bima yang terdampak hampir 90 persen. Saya harus pastikan warga tidak kekurangan beras. Saat itu distribusi beras lumpuh. Jalur tidak mudah di akses.
Saya pun memeriksa gudang Bulog, saat itu 500 ton beras terendam. Beras sudah terendam 5 hari. Saat itu saya datang, ada genangan air yang di dasarnya berwarna putih. Saya kira itu plester semen di lantai. Saya turun ke air itu, nyebur. Padahal aroma bau di gudang itu sudah seperti terasi. Saya tidak punya pilihan sepatu ganti. Begitu sampai di mobil, sepatu ini saya bersihkan dengan tissue basah dan pakai pengharum.
Tapi aroma bau itu tidak hilang. Lalu saya jemur di kawasan pengungsian. Besok paginya saya jemur lagi, tapi aromanya tidak hilang lagi.
Mengapa Anda tidak ganti sepatu saja? Beli yang baru?
Repot. Kalau saya pakai sepatu yang ada hak tinggi, bisa menancap kalau jalan. Nggak sempat urusi orang, malah repot mengurusi sepatu. Saya tipe yang setia dengan satu barang, kecuali baju. Tapi bukan berarti hanya punya satu saja.
Seperti tas, saya punya beberapa, tapi yang sering saya pakai hanya 1 ini saja. Karena terlalu ribet kalau ganti-ganti tas.
Waktu tahun 1992, saya menjadi anggota DPR. Saya lihat ada orang sibuk sekali. Saya sudah siap, tapi dia masih repot ganti-ganti. Satu saat barang ketinggalan, maka satu bus ikut ribet semua. Dari sana saya pikir, sangat ribet. Jangan membuat ribet, sehingga substansi jadi hilang.
Biografi singkat Khofifah
Khofifah lahir di Surabaya, 19 Mei 1965. Ia menghabiskan masa kecil dan remajanya di Surabaya yakni saat mengenyam pendidikan di SD Taquma pada (1972-1978), lalu melanjutkan (1978-1981) di SMP Khodijah Surabaya, dan pada tahun 1981 SMA Khodijah Surabaya dan tamat pada tahun 1984.
Gelar sarjananya didapat di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya. Dia juga kembali bersekolah S1 di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah, Surabaya. Sementara gelar master dia raih di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta.
Tokoh berpengaruh di Nahdalatul Ulama (NU) ini sejak lama aktif dalam kegiatan sosial dan berbagai organisasi kemasyarakatan. Tahun 2011 dia dinobatkan sebagai tokoh penggerak masyarakat dari Islamic fair of Indonesia.
Namanya mulai menyita perhatian saat membacakan pidato pernyataan sikap Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) dalam Sidang Umum MPR 1998 lalu. Itu menjadi pidato kritis pertama terhadap pelaksanaan Orde Baru dalam ajang formal nasional setingkat Sidang Umum MPR.
Karier politik sebagai anggota DPR dimulai pada 1992 dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sampai tahun 1998. Kemudian dia hijrah ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Khofifah pernah menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Sekarang selain menjadi Menteri sosial, Khofifah adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU.