Djayadi Hanan: Peta Politik Pilkada Jakarta Babak 2, Siapa Menang

Senin, 27 Februari 2017 | 07:00 WIB
Djayadi Hanan: Peta Politik Pilkada Jakarta Babak 2, Siapa Menang
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Hasil perhitungan cepat Mujani Research and Consulting (SMRC) di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta menunjukan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno mau ke putaran dua Pilkada. Sementara Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni sudah mengakui kekalahannya.

Data perolehan suara yang dihimpun SMRC mengejutkan. Anies-Sandi mendapatkan suara yang selisihnya tipis dari Ahok-Djarot. Ahok-Djarot unggul mendapatkan 43,19 persen dan Anies-Sandi 40,12 persen.

Perolehan suara Anies-Sandi naik di tengah kasus penodaan agama yang menjerat Ahok, serta kasus SARA di Jakarta. Apakah ini kebetulan?

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan memprediksi babak kedua Pilkada DKI Jakarta akan sangat ketat. Di atas kertas, Anies seharusnya menang karena akan memperoleh limpahan 17 persen suara yang didapatkan Agus SBY.

Baca Juga: Timses Ahok: Kenapa Tiba-tiba Memaksa Bikin Aturan Seperti Itu

Namun yang namanya politik, kata Djayadi tak bisa diprediksi dengan pasti. Lebih-lebih politik di Indonesia.

Djayadi mencatat kebanyakan pasangan calon kepala daerah yang ikut berlaga di 101 Pilkada Serentak adalah ‘pemain cabutan’. Mereka muncul, bukan tokoh partai asli pengusung. Ini memprihatinkan dan buruk untuk kehidupan politik di Indonesia.

Bahkan di Jakarta, sosok Ahok dan Anies juga ‘pemain cabutan’. Ahok adalah mantan politisi Gerindra yang saat ini bukan politisi parpol. Sementara Anies, mantan Menteri Pendidikan yang tidak secara langsung terkait partai tertentu. Kelebihan, mereka menang tenar.

Fenomena seperti itu sebagai masalah klasik lemahnya rekruitmen di partai. Masalah ini tak selesaikan sejak masa reformasi 1998. Partai hanya dijadikan alat segelintir orang untuk ambisi kekuasaan. Jika ini dibiarkan, apa bahayanya?

Berbincang dengan suara.com di meja kerjanya di Universitas Paramadina pekan lalu, Djayadi banyak cerita fenomeja politik masa kini. Dia juga memaparkan peta politik di Pilkada DKI Jakarta babak kedua nanti. Dia juga menganalisa kemungkinan isu SARA masih marak di Pilkada Serentak babak kedua di sejumlah daerah.

Baca Juga: Isu Boikot Salat Jenazah Pro Ahok, Pemerintah Diminta Bertindak

Berikut wawancara lengkapnya:

Saya mengikuti analisa Anda terkait pilkada. Anda selalu menyoroti soal lemahnya rekrutmen di Parpol. Bisa Anda jelaskan hal itu?

Secara umum, sentralitas figur personal memang gejala umum dalam sistem presidensil. Dalam partai politik disebut sebagai presidensialisasi partai politik. Itu gejala dominannya sentralitas figur di luar partai karana ada pemilihan umum langsung di pusat dan daerah. Fenomena itu diperberat oleh situasi di parpol.

Di era reformasi ada dua hal yang tertinggal untuk diperbaiki, yaitu perbaikan reformasi birokrasi dan reformasi partai politik. Kenapa reformasi partai politik jadi lupa? Bisa saja memang lupa, atau memang disengaja lupa. Karena yang melakukan reformasi setelah 1998 adalah partai. Yang mereka reformasi terlebih dulu adalah yang ada di luar partai, bukan dalam partai.

Ini soal kekuasaan. Jika reformasi dalam diri partai bisa melepaskan kekuasaan, partai tidak akan melakukan reformasi dalam dirinya dulu. Kira-kira teorinya begitu.

Apakah hambatan partai untuk bisa serius mengelola kadernya yang nantinya bisa dijadikan calon pemimpin?

Problem utama partai di Indonesia adalah demokrasi internal partai. Partai di Indonesia hidup di alam demokrasi dan menciptakan iklim demokrasi. Partai dikuasi oleh figur-figur tertentu, sebab bisa jadi ada tradisi partai dikuasai keluarga atau keturunan tertentu. Atau juga karena keuangan partai dikuasai oleh figur tertentu.

Atau juga ada partai baru yang didirikan hanya untuk kendaraan politik orang yang mendirikan. Misal Partai Demokrat. Partai itu didirikan karena Susilo Bambang Yudhoyono akan maju sebagai presiden (tahun 2004). Sehingga banyak orang yang mengatakan Demokrat isinya hanya SBY Fun Club. Begitu juga terjadi di Gerindra.

Beda dengan Golkar, karena dia partai lama dan sudah cukup terlembaga. Hanya saja Golkar masih tergantung dengan kekuasaan untuk menjalankan operasional partai, salah satunya biaya operasional. Ketika reformasi terjadi, Golkar tidak bisa tergantung pada kekuasaan. Tapi saat ini Golkar bergantung kepada beberapa orang untuk membiayai pendanaan parpol.

Kenapa rekrutmen partai menjadi lemah? Karena tidak ada demokrasi di dalamnya. Artinya, partai itu bisa melakukan rekrutmen dengan baik jika ada sirkulasi kepemimpinan dan kaderisasi yang jelas.

Saat ini seseorang bisa pimpinan partai karena keterdekatan khusus dengan pihak yang dianggap berpengaruh, bukan karena karier partai. Ini membuat kaderisasi menjadi mampet. Saat ini yang menjalankan partai bukan sistem.

Bahkan untuk menentukan calon presiden, tidak ada sistem. Bisa ditunjuk ketua partainya. Begitu juga untuk menentukan calon kepala daerah. Ini buruk. Sehingga partai tidak bisa melakukan rekrutmen yang baik dan tidak bisa mencerminkan aspirasi masyarakat.

Namun Golkar pernah mempunyai sistem yang baik saat menentukan calon presiden, mereka menggelar konvensi.

Sehingga tidak aneh ada sosok yang bagus dan masuk partai, tapi tidak dilihat atau di-cuekin. Sehingga orang itu lebih memilih membesarkan namanya sendiri. Dia menggunakan uangnya sendiri, atau mencari pendanaan dari yang lain. Saat sudah terkenal, itu menjadi jalan pintas untuk ‘membeli’ partai.

Hal lain, sistem partai di Indonesia sangat majemuk atau partai banyak. Untuk menjadi kepala daerah, seseorang harus mempunyai elektabilitas dan aksestabilitas lintas partai. Orang yang bagiamana bisa begitu? Orang di luar partai. Jadi tidak perlu masuk partai untuk berkuasa.

Hal terakhir yang membuat rekrutmen partai jadi lemah adalah orientasi partai. Partai politik di Indonesia tidak mempunyai ideologi, apapu pun jadi.

Apakah hal-hal seperti itu hanya terjadi di Indonesia?

Nggak juga. Di Filipina dan di beberapa negara Amerika Latin juga terjadi. Sistem politik keadaan negara mereka hampir sama.

Cuma bedanya, ideologi partai menjadi hal penting di sana. Di Brazil, calon pemimpin independen sangat dimudahkan dalam aturan UU. Di Indonesia sangat dipersulit karena dianggap deparpolisasi. Sebab partai politik dianggap mewakili suara masyarakat.

Partai politik sangat terancam. Bayangkan jika ada calon independen sangat populer, tidak bisa kompromi dengan partai, dan menang pemilu, maka akan membahayakan pihak partai.

Lalu mengapa masih tetap seperti ini keadaan partai politik di Indonesia? Sebab belum ada hal yang bisa memaksa partai harus mereformasi internal dirinya. Ini juga dikarenakan di partai politik kebanyakan menjadi politisi, bukan negarawan.

Negarawan akan sukarela mengorbankan segalanya untuk rakyat. Negarawan di Indonesia ada, tapi sedikit. Kalau negarawan banyak, maka Anda tidak perlu jadi jurnalis dan tidak perlu ada media, sebab di negara semua berjalan dengan baik. Sementara politisi tidak akan memikirkan rakyat jika dipaksa. Orientasi mereka ke kepentingan pribadi dan partainya.

Bagaimana cara memaksanya?

Lewat institusi dan undang-undang. Sementara UU Partai Politik dan keuangan partai politik masih memberikan ruang yang besar untuk tidak akuntable ke masyarakat. Salah satu yang bisa membuat partai bisa bertanggungjawab ke rakyat lewat keuangan partai.

Tapi keuangan partai didapat dari pengusahana dan pemilik partai itu. Jika begitu, uang itu termasuk milik swasta dan tidak harus dipertanggungjawabkan ke publik. Saat ini hubungan antara partai politik dan masyarakat sangat lemah.

Lalu bagaimana cara memperkuatnya, keuangan partai politik disubsidi oleh negara.

Jika negara mennsubsidi 30 persen dana mereka, maka partai wajib melakukan audit keuangan atau laporan. Sehingga mereka transparan. Selama ini keuangan parpol tidak jelas.

Sehingga publik dilibatkan. Istilahnya, publik mempunyai saham lewat subsidi dana parpol lewat uang APBN. Tapi partainya harus diperbaiki dulu, jangan sampai mereka kena korupsi.

Masih ada calon tunggal di Pilkada Serentak di 101 daerah kemarin. Bagaimana analisa Anda?

Fenomena calon tunggal ini bentuk ekstrem dari terbatasnya sarana untuk melakukan pencalonan. Jumlah calon memang sedikit, paling hanya 3 calon. Ada di 34 daerah calonnya hanya 2 pasangan calon.

Sehingga ini artinya alternatif kepemimpinan sangat sedikit. Sebenarnya jumlah calon sedikit nggak masalah kalau ada mekanisme sebelumnya dari partai. Tapi kebanyakan pemimpin tiba-tiba muncul.

Ini menunjukkan terbatasnya saluran untuk melakukan rekruitmen politik. Padahal jumlah partainya banyak. Menurut teori, banyaknya jumlah partai karena jumlah aspirasi masyarakat banyak dan berbeda-beda. Tapi ini, partainya banyak tapi aspirasinya hanya satu saja.

Itu terjadi jika, misalnya, ada bentuk kong kalikong curang. Partai tujuannya hanya menang, maka partai mencari orang yang mau menang dan hanya berkerumun di satu calon. Bisa juga sebaliknya, bisa saja ada calon yang membeli suara partai untuk menang agar lawannya tidak mendapatkan dukungan partai.

Dari daerah yang hanya mempunyai calon tunggal, apakah Anda menemukan bukti cara seperti itu?

Nggak ada bukti keras, tapi kita bisa menduga.

Hasil Survei SMRC mencatat Ahok dan Anies diprediksi melaju ke putaran kedua. Perolehan suara mereka tipis. Faktor apa saja yang menyebabkan perolehan suara mereka terbilang tinggi?

Ada dua yang paling utama yang menjadi keunggulan Anies dalam menghadapi Ahok. Pertama, kedekatan karakteristik sosiologis dengan pemilih Jakarta. Penduduk Jakarta, 80 persen lebih muslim. Kedua, kualitas personal. Kualitas personal dibagi 2, kualitas kapasitas dan kualitas emosional.

Kapasitas kapasitas menurut persepsi masyarakat, Ahok dan Anies tidak terlalu beda. Tapi kualitas emosional, Anies sangat unggul. Anies dinilai santun, mengayomi dan perhatian.

Sehingga tingkat kesukaan masyarakat terhadap Anies paling tinggi daripada yang lain. Itu yang menyebabkan dia bisa meroket.

Selain itu, lawan Anies satu ‘camp’, Agus Harimurti Yudhoyono, tidak perform. Misal di debat Agus terlihat sekali tidak siap. Lalu Sylviana tidak berhasil menutup kekurangan Agus. Sehingga pemilih yang ada di satu ‘camp’ Agus dan Anies yang banyak dari kalangan pemilih anti pemimpin non muslim, maka berpikir cenderung ke Anies.

Sehingga Anies meroket sejak Desember. Selain itu suara Anies melonjak karena dukungan berbagai peristiwa mulai dari penodaan agama Ahok, demo-demo, dan seterusnya.

Hanya saja kedekatan afinitas sosiologis tidak bisa menjebol secara langsung tembok pertahanan Ahok-Djarot, tentang persepsi masyarakat mereka adalah gubernur yang mempunyai kinerja yang baik.

Tingkat penerimaan masyarakat ke Ahok itu konsisten sejak 2015. Masyarakat Jakarta cocok dengan kinerja Ahok. Sehingga rattingnya tinggi sampai 70 persen. Makanya banyak pemilih muslim, banyak memilih Ahok karena alasan itu.

Isu SARA, terutama agama dan ras masih terasa setelah tahap pertama pencoblosan pilkada serentak. Misal di Aceh, Papua dan yang paling kentara di Jakarta. Dari sisi politik, mengapa isu ini masih dimaikan? Seberapa laku?

Dalam kenyataan sangat laku. Isu SARA atau politik identitas, secara umum di mana pun akan ada. Ratusan tahun orang meneliti soal ini, selalu ditemukan jika kondisinya memungkinkan isu SARA muncul.

Mengapa bisa terjadi? Pertama jika pemilunya kompetitif. Kedua, aturan pemilu yang mengatur soal syarat pemenangan harus 50 persen plus 1. Terakhir, ada perasaan jika faktor agama dan etnis jadi pertaruhan dan sedang dalam berbahaya dan harus ada pertahanan.

Sehingga isu kinerja incumbent bisa dilawan isu-isu yang sifatnya emosional. Misal isu agama dan etnis.

Kenapa 90 persen lebih non muslim memilihnya Ahok, apakah tidak ada kaitan dengan agama. Atau di Pluit, mungkin 100 persen pilih Ahok, apakah tidak terkait isu etnis.

Maka itu Ahok banyak menangi di Jakarta Utara dan Jakarta Barat sementara Anies di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur…

Betul. Itu menunjukan faktor identitas penting. Jakarta Utara dan Jakarta Barat memang banyak etnis tertentu yang mendukung Ahok. Begitu juga selatan dan timur.

Ada suara 17 persen dari Agus SBY yang diperebutkan Ahok dan Anies di babak kedua pilkada. Apa yang harus dilakukan mereka untuk mendapatkan suara itu?

Sekarang ini pertarungan mereka sudah mikro, tidak lagi lewat media. Ibarat sepakbola, ini sudah pertarungan man to man marking. Setiap TPS akan dilihat, ada perapa pemilih yang pindah suara. Tinggal siapa yang paling kuat saja dari sisi energi.

Misal kemampuan menyampaikan pesan dan tim yang cukup. Ini perang darat. Sambil menggunakan perang udara lewat media sosial,  karena ini tak akan terbatas.

Mungkin akan mentarget 20 persen warga yang tidak datang ke TPS, diupayakan mereka harus memilih. Bisa juga terjadi upaya demobilisasi atau menghalangi orang datang ke TPS.

Jangan lupa, di pilkada yang bertarung bukan hanya kandidat, tapi juga pendukung.

Di atas kertas, karakter pemilih Agus hampir sama dengan pemilih Anies. Sebanyak 99 persen dari 17 persen yang memilih Agus adalah muslim.

Kalau mereka akhirnya ke Agus, alasannya mungkin karena anti Ahok. Kalau menggunakan itu, Anies akan lebih mungkin mendapatkan limpahan suara dari Agus.

Tapi sentimen anti Ahok yang berbasis pada sentiment agama, sifatnya tidak stabil atau naik turun. Sementara pemilu putaran kedua hanya 2 bulan lagi, ini lama sekali dan banyak hal bisa terjadi. Bisa terjadi apa pun, misal skandal dan blunder di Anies dan Ahok. Maka belum tentu Anies yang akan mendapatkan limpahan suara dari Agus.

Tapi kalau dirincikan, sebanyak 17 persen suara Agus itu, ada sekitar 17,7 persen yang terang-terangan memilih karena alasan agama. Pemilih seperti itu pasti ke Anies kan. Yang lain, memilih mengaku karena alasan program. Sehingga hampir pasti Anies mendapatkan 3 persen pemilih dari Agus.

Sehingga 14 persen yang diperebutkan oleh Anies dan Ahok.

Apa yang harus dilakukan pemerintah, dan kandidat agar pilkada babak kedua ini jadi tenang?

Nggak bisa adem.

Yang harus dilakukan adalah penegakan hukum yang tegas. Misal memanfaatan informasi hoax. Lalu jangan membiarkan adanya celah melakukan kecurangan. Kandidat juga harus mempengaruhi pendukungnya untuk tidak menyebar kebencian.

Negara mana yang bisa dijadikan contoh sukses pemilu yang berbalut SARA, tapi berhasil meredamnya?

Negara barat seperti Amerika yang sudah sepakat jika isu-isu itu tidak bisa dijadikan bahan dagangan politik. Tapi kita tidak bisa melarang orang-orang yang bicara di masjid, yang mengatakan kalau pilih pemimpin harus yang muslim.

Itu kan di masjid, sepanjang itu ada di lingkungannya, tidak masalah. Tapi kalau ada kekerasan, langsung tindak dengan tegas.

Biografi singkat Djayadi Hanan

Djayadi Hanan merupakan doktor lulusan Ohio State University, Amerika Serikat. Keahliannya mencakup hubungan antar lembaga Negara, sistem presidensial di dalam konteks multi-partai dan implikasi presidensialisme  multi-partai terhadap pelembagaan demo-krasi dan kebijakan publik.

Djayadi meraih gelar Ph.D. dari Departemen Ilmu Politik, Ohio State University, Amerika Serikat. Gelar MA-nya diperoleh dari Ohio University, Athens-Ohio, Amerika Serikat.

Ia pernah menjadi research fellow di Kennedy School, Harvard University, direktur penelitian di Universitas Paramadina, dan program officer di The National Democratic Institute (NDI), Jakarta. 

Selain kerap diundang sebagai pembicara di berbagai seminar maupun media massa, ia menulis beberapa artikel untuk jurnal dan surat kabar nasional. Buku terbarunya, Me-nakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia, diterbitkan oleh Mizan (2014).

Saat ini Djayadi menjadi Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting SMRC.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI