Asvi Warman Adam: Sejarah Pers Antara Tirto atau Abdoel Rivai

Senin, 20 Februari 2017 | 07:00 WIB
Asvi Warman Adam: Sejarah Pers Antara Tirto atau Abdoel Rivai
Sejarahwan senior, Asvi Warman Adam. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Apakah dalam penetapan Hari Pers Nasional bisa dipakai jalur ‘kompromi’?

Bisa saja.  

Soal sejarah pers, sebenarnya sudah lengkap ditulis Ahmat Adam di buku “Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan”.

Dimulai saat VOC mulai menyadari manfaat pers sebagai pemberi kabar aturan hukum dan kebijakan pemerintah saat itu. Tahun 1831 terbit surat kabar partikelir yang pertama. Lalu berkembang setelah itu, kelompok pribumi mengelola media massa sendiri.

Beberapa nama di antaranya Tirto Adhi Soerjo yang mendirikan Medan Prijaji tahun 1907. Tapi apakah betul Medan Prijaji sebagai surat kabar pribumi pertama? Sebenarnya ada juga Abdoel Rivai yang lebih awal menerbitkan Bintang Hindia tahun 1901.

 Saya berpandangan, Tirto memang tokoh yang fenomental, tapi Abdoel Rivai juga tokoh yang berbeda.

Sehingga penetapan Hari Pers Nasional bisa saja mengacu dari peristiwa sejarah yang dilakukan mereka. Mungkin saya usulkan untuk nenambah nama peringatan lain, misal Hari Media atau Hari Surat Kabar.

Atau kalau pun mau diganti, bisa diusulkan nama-nama tokoh yang bisa dijadikan rujukan Hari Pers Nasional. Atau mengapa tidak gabungkan saja semua menjadi 1 bulan penuh merayakan Hari Pers Nasional. Saya terinspirasi dari keputusan PDP Perjuangan yang menjadikan bulan Juni menjadi bulan Soekarno.

Karena Madan Prijaji ini diterbitkan Januari 1907, bisa saja HPN dirayakan sepanjang Januari sampai puncaknya pada 9 Febuari.

Seberapa kuat Tirto Adhi Soerjo dijadikan rujukan untuk pelurusan HPN?

Ini tokoh yang sangat kuat dari sisi prestasi. Namanya juga sudah sangat terkenal di dalam sejarah Indonesia. Dari segi keperluan sejarah, Tirto sudah jadi Pahlawan Nasional dan dikukuhkan jadi Bapak Pers Nasional sebenarnya di tahun 1970.

Medan Priyayi atau yang tulisannya Medan Prijaji adalah koran mingguan pertama di Jawa. Tirto di sana sebagai pengelolanya. Segmen mingguan adalah kelompok terpelajar pribumi dengan megambil isu tentang kesejahteraan pribumi, pendidikan dan politik.

Mingguan ini dikelola secara independen. Isu yang pernah diangkat misal kritik tehadap kaum priyayi korup dan pejabat pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan.

Sebelum menerbitkan Medan Prijaji, Tirto sempat menerbitkan Soenda Berita di antara 1903 sampai 1905, setetelah Medan Prijaji tutup menerbitkan Putri Hindia. Selain tokoh pers, dia juga membentuk Sarekat Dagang Islam.

Kalau Abdoel Rivai?

Makanya saya berpandangan lain dari pendapat sejarahwan dan pencatat pers. Kenapa tidak diangkat tokoh lain yang belum jadi pahlawan nasional? Meski nama Abdoel Rivai ini belum banyak dikenal, meski jasa sangat besar. Dia ini maestro juga.

Bisa Anda ceritakan, siapa dia?

Dia seorang dokter dan juga wartawan, pernah memprakarsai surat kabar Pewarta Wolanda tahun 1990. Surat kabar ini terbit di Amsterdam dengan bahasa Melayu. Bersama Henri Constant Claude Clockener Brousson, Rivai menerbitkan Bintang Hindia pada Juli 1902. Meski berbeda dengan Tirto, Abdoel Rifai ini dulu lebih ‘kooperatif’ terhadap Belanda. Dia memimpin surat kabar Milik Belanda.

Di dalam surat kabar itu dia mengajarkan kemajuan, dia menjadikan bumiputera ini sebagai kemajuan jurnalisme. Pada waktu itu, Rivai mempunyai strategi mengajarkan nasionalisme dan kebangsaan. Dia mengatakan melandalaskan pada bangsawan usul, berlandaskan pada asal usul.

Jadi menjadi bangsawan karena pikirannya. Dia mencoba itu melalui media.

Dia juga seorang koresponsen pribumi yang pertama yang menulis surat kabar di Indonesia. Dia ke Belanda, Paris dan Eropa.

Dia lebih mendunia dibanding Tirto. Dia juga seorang dokter di Belgia.

Lalu mana yang pantas menjadi rujukan?

Saya setuju saja jika Tirto dijadikan sebagai tonggak pers 1 januari itu. Tapi saya ingin ingatkan Tirto sudah jadi pahlawan nasional, kenapa nggak tokoh lain? Tapi saya nggak menolak Tirto.

Namun bisa saja tidak terpatok pada sesuatu yang pertama atau yang tua. Misal kapan tonggak dimulainya media online di Indonesia? Sebab itu bagian dari pers moden saat ini.

Apakah Anda melihat penetapan HPN 9 Febuari sebuah kekeliruan sejarah?

Itu pilihan yang sudah terjadi.

Saya kira bukan tidak relevan, itu diambil dari hari lahir PWI, sah saja. Namun belakangan ada pihak yang menggugat, ingin hari yang lebih jernih memandang sejarah pers. Tapi persoalannya, menggeser satu peringatan sejarah tidak mudah.

Tidak mudah seperti apa?

Memang ada kepentingan politik yang keras. Jadi melahirkan hari besar tidak lah mudah, penuh kepentingan politik.

Tapi perlu dilihat, saat ini Hari Pers Nasional ini penting, karena diselenggarakan di daerah. Daerah akan diberikan dana lebih jika dikunjungi presiden. Pembangunan pun akan cepat. Itu kita manfaatkan saja.

Tapi jangan dilupakan nilai-nilainya.

Biografi Asvi Warman Adam

Asvi Warman Adam lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 8 Oktober 1954. Saat ini Asvi bergelut dalam pelurusan sejarah Indonesia, yang banyak diputarbalikkan oleh rezim Orde Lama dan Orde Baru. Asvi merupakan seorang sarjana Sastra Prancis lulusan Universitas Indonesia, setelah sebelumnya menamatkan gelar sarjana muda pada bidang yang sama di Universitas Gadjah Mada. Tahun 1984, dia belajar di EHESS (École des Hautes Études en Sciences Sociales) Paris, hingga meraih gelar doktor pada tahun 1990.

Sosok seperti Asvi menang tak banyak di Indonesia. Dia banyak berkiprah mencari fakta-fakta baru dari sejarah Indonesia. Salah satunya, dia banyak meneliti tentang Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan bayak orang, ribuan versi pemerintah.

Asvi sempat memberikan kesaksiannya di Pengadilan Rakyat Internasional kasus 1965 di Den Haag, Belanda. Dia sebagai ahli yang bersaksi tentang peristiwa kejahatan kemanusiaan di masa orde baru. Asvi pernah diminta Komnas HAM untuk meneliti pelanggaran HAM Orde Baru tahun 2003. Asvi pun aktif dimintai pendapatnya oleh negara untuk penetapan hari besar di Indonesia. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI