Suara.com - Salah satu warisan orde baru yang dianggap harus diluruskan adalah Hari Pers Nasional yang dirayakan setiap 9 Febuari. Komunitas pers beranggapan jika HPN ini tidak tepat ditetapkan pada 9 Febuari.
HPN selama ini mengacu pada hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Semasa orde baru, PWI menjadi kepanjangan tangan pemerintah yang otoriter. Di tangan Soeharto selama 32 tahun, pers terkekang dan tidak ada kebebasan.
Di akhir-akhir masa pemerintahan Soeharto, PWI memaklumi pembredelan sejumlah media.
Sehingga organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berinisiatif mengajak komunitas pers lain untuk mengkaji ulang HPN. Akhirnya, pekan lalu AJI, PWI dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) bertemu. Mereka organisasi pers terbesar dan diakui Dewan Pers setuju Hari Pers Nasional (HPN). Mereka sepakat jika untuk mengubah HPN. Sebab saat ini tidak semua komunitas pers setuju dengan penetapan 9 Febuari sebagai HPN.
Lalu kapan ‘hari baik’ HPN seharusnya? Sejarahwan senior, Asvi Warman Adam menilai hari pers nasional harus berdasarkan peristiwa yang bisa dipertanggungjawabkan sebagai tonggak pers Indonesia.
Dia punyai ide mengacu pada kiprah Tirto Adhi Soerjo dan Abdoel Rivai. Keduanya tokoh pers klasik yang menjadi jurnalis dan menerbitkan surat kabar di awal tahun 1990-an, saat Indonesia masih dijajah Belanda.
Asvi setuju jika sejarah di Indonesia yang dibentuk selama orde baru harus diluruskan. Selama menjadi sejarahwan, dia memang ahlinya dalam meluruskan sejarah Indonesia. Sebutlah G30S atau juga berbagai sejarah politik pemerintahan.
Lalu bagaimana tentang pers Indonesia? Dari mana memulainya untuk pelurusan sejarah itu?
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Aswi di kantor Dewan Pers pekan lalu:
Segelintir masyarakat media dan organisasi jurnalis masih meragukan sejarah pers di Indonesia. Anda pernah menulis ‘Pelurusan Sejarah Indonesia’. Bagaimana pandangan Anda tentang sejarah pers Indonesia?
Sejarah memang harus terus diungkap. Pelurusan sejarah mulai dilakukan sejak reformasi pascaSoeharo jatuh. Saya beranggapan penggunan sejarah sangat perlu karena sejarah saat Orde Baru ditulis untuk kepentingan penguasa dan legitimasi untuk pemerintah.
Di masa lalu terjadi perekayasaan sejarah. Jadi diharapkan saat ini sejarah ditulis dengan tepat karena mendengarkan kesaksian korban.
Tentang sejarah pers Indonesia, saya tidak mendalami langsung. Saya juga tidak pernah meneliti secara langsung. Hanya saja, saya sering dilibatkan sejak dulu dalam diskusi mengenai pers, terutama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Memang ada beberapa hal yang perlu dilihat secara jernih, misal mengenai Hari Pers Nasional (HPN). Selama ini HPN masih diprotes asal usulnya.
Tanggal HPN 9 Febuari dinilai tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah pers Indonesia. Lebih pantas dianggap sebagai ulang tahun PWI. Organisasi ini di akhir-akhir masa orde baru membiarkan pembredelan sejumlah media terjadi. Sehingga 9 Febuari diminta untuk diubah. Bagaimana pandangan Anda?
Ini sudah saya sering sampaikan di beberapa kali kesempatan diskusi. Saya berpikir jika 9 Febuari digusur sebagai hari Pers Nasional, akan mempunyai dampak lain. Bagaimana kalau tanggal HPN digeser saja? Atau dicarikan peringatan lain sejenis dengan peringatan hari pers. Jadi pilihan saya, menggusur, menggeser atau membangun kembali.
Apakah polemik sejenis pernah terjadi di penetapan hari besar nasional?
Di bidang media, penetapan Hari Radio menjadi masalah karena diambil dari tanggal kelahiran Radio Republik Indonesia (RRI) 11 September 1945. TVRI juga punya ulang tahun, 24 Agustus 1962.
Belakangan ada gagasan untuk membuat Hari Penyiaran. Penetapan Hari Penyiaran ini dilatarbelakangi dengan hari lahirnya Solosche Radio Vereniging (SRV) 1 April 1933. Radio ini berdiri di Solo dan didanai oleh Pakubuwono. Ini radio pertama yang dikelola pribumi dan mempunyai konten lokal yang mengandung siaran ketimuran.
Siarannya pernah ke mancanegara. Ketika di Istana Kepresidenan ada pertunjukan Tari Serimpi (Yogyakarta) yang diiringi dengan gamelan. Siaran itu dipancarkan dari Solo. Nmaun isi siaran ini sampai ke Belanda. Momen ini penting, dan diusulkan menjadi hari penyiaran.
Begitu juga Hari Lahir Pancasila. Hari Lahir Pancasila pernah diperingati sampai tahun 1965. Namun tahun 1970 dilarang oleh Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Sebab mereka mengatakan 1 Juni tidak tepat sebagai Hari Lahir Pancasila. Karena Mohammad Yamin lebih dulu pidato daripada Soekarno.
Saat Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR, dia mencoba untuk membuka kesempatan memperingati Hari Lahir Pacasila. Kiemas mengadakan acara di MPR. Tetapi itu pun belum disebut sebagai Hari Lahir Pancasila, melainkan Hari Pidato Soekarno 1 Juni.
Ketika itu AM Fatwa berkirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Isinya, jika Hari Lahir Pancasila disetujui, maka kelompok lain juga akan protes.
Tapi akhirya 1 Juni 2016 Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres yang menyebukan 1 Juni sebagai hari lahir pancasila. Ini perjalanan panjang sekali sejak 1970 sampai 2016. Perjalanan perdebatan itu sangat panjang dan politis.
Hari Kebangkitan Nasional juga pernah jadi sengketa dan perdebatan. Padahal sudah diperingati sejak 1948. Saat itu Bung Karno dalam suasana tertekan karena Indonesia masih dalam keadaan terbatas. Bung Karno berpikir, rakyat Indonesia perlu diingatkan satu momentum yang melambangkan kebangitan bangsa.
Mulanya peringatan itu sebagai Hari Pembangunan Nasional. Namun Ki Hajar Dewantoro saat itu yang memimpin acara itu, dia mengingat Budi Oetomo. Maka mulai saat itu setiap 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Namun masuk ke era reformasi, muncul tuntutan dari kalangan Islam, kenapa Budi Oetomo yang Jawa Centris itu dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional? Kenapa tidak Syarekat Islam, karena lebih besar dampak politiknya dari Belanda.
Selain Budi Oetomo dan Syarekat Islam, sebenarnya ada organisasi lain yang juga berperan soal pendidikan. Dia adalah Jamiatul Khair. Sementara Budi Oetomo dan Syarekat Islam bukan organisasi yang nasionalis. Syarekat Islam tidak membolehkan non muslim jadi anggota, sementara Budi Oetomo bertitik berat kepada Jawa.
Namun saya mengusulkan saat itu untuk mengambil jalan tengah. Bisa saja 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, tapi di dalam peringatannya tetap membicarakan hari lahir Budi Oetomo dan Hari Lahir Sarekat Islam.