Suara.com - Media massa di Indonesia kini tengah dihantam merebaknya hoax atau berita bohong. Sehingga media massa tidak lagi dipercaya sebagai mata dan telinga masyarakat.
Hoax kentara sejak setahun lalu, ketika pertarungan politik pemilihan umum kepala daerah di Jakarta berbungkus isu kebencian terhadap agama dan ras. Sasarannya adalah Basuki Tjahaja Purnama yang mencalonkan kembali sebagai gubernur DKI Jakarta.
Bahkan media dituduh partisan terhadap salah satu calon gubernur. Kompas TV dan Metro TV menjadi sasaran empuk massa intoleran yang anti Ahok di demo 2 Desember 2016 atau aksi 212 dan Demo 11 Januari 2017 atau demo 112. Demo kemarin berujung pada aksi kekerasan pada jurnalis Metro TV.
Media massa di Indonesia tak hanya menjadi bisnis industri strategis, melainkan banyak diincar kepentingan politik. Beberapa media terang-terangan berafiliasi kepada partai politik. Di antaranya yang kentara adalah Metro TV yang dimiliki Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, TVone dimiliki mantan Ketua Golkar Aburizal Bakrie, dan MNC Grup dimiliki Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo.
Adanya media partisan sebenarnya bukan hal baru. Di era orde baru dan orde lama, banyak media dimiliki partai atau kelompok tertentu. Pencatat sejarah pers Indonesia sekaligus jurnalis senior Atmakusumah Astraatmadja menilai saat ini kondisi pers Indonesia lebih baik, namun dalam situasi darurat. Pertumbuhan media massa yang pesar tak diikuti dengan kepatuhan wajib kode etik jurnalistik. Redaksi media yang berafiliasi ke parpol sangat sulit independen.
Di sisi lain, banyak luka sejarah pers masa lalu yang belum selesai hingga kini. Salah satunya kontroversi penetpan Hari Pers Nasional (HPN) yang baru dirayakan 9 Febuari pekan lalu. Oleh sebagian komunitas pers, HPN lebih pantas sebagai hajatan Persatuan Wartawan Indonesia. Mengapa demikian? Luka apa saja yang masih mengganjal?
Suara.com menemui Atmakusumah yang sudah sangat sepuh di kediamannya di Cipinang, Jakarta pekan lalu. Dia banyak mengulas soal sejarah pers yang tidak pernah terungkap sebelumnya. Salah satunya soal pembredelan kebebasan pers masa lalu dan keadaan pers saat ini.
Berikut wawancara lengkapnya:
Tak banyak pencatat sejarahwan pers di Indonesia. Anda salah satu yang rajin mengamati peristiwa-peristiwa perjuangan kebebasan pers di Indonesia. Bahkan Anda juga menjadi korban pengekangan pers di era orde baru. Peristiwa apa yang menurut Anda perlu diingat oleh publik tentang kebebasan pers di Indonesia?
Pasca terjadi peristiwa Malari tahun 1974, ada 11 surat kabar di beberapa kota di Jakarta dan daerah dibredel. Ada 14 wartawan yang menurut seorang pejabat departemen penerangan, itu tidak boleh lagi menjadi wartawan.
Ketika saya masuk jadi humas Press assistant dan information specialist pada U.S. Information Service (USIS) di Jakarta yang langsung di bawah presiden AS, ada diplomat Amerika yang ingin tahu pandangan pemerintah ke saya.
Salah seorang diplomat Amerika Serikat bertanya ke Dirjen di Kementerian Penerangan saat itu soal pandangan pemerintah terhadap wartawan-wartawan yang medianya dibredel. Kataya, ada 14 wartawan yag diblacklist dan masuk daftar hitam pemerintah. Saya tanya sama diplomat itu, siapa saja? Tapi tidak dikasih tahu.
Lalu saya tanya, apakah ada dari Harian Indonesia Raya? Katanya, ada 4 orang. Akhirnya saya tanya, apakah Atmakusuma ikut kena blacklist? Iya termasuk, kata dia.
Lalu saya bilang, di Harian Indonesia Raya, saya memang nomor 4. Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksi, Enggak Bahau'ddin sebagai wakil pemimpin redaksi, Kustiniyati Mochtar sebagai pemimpin redaksi, dan saya sebagai redaktur pelaksana. Keempat itu diblacklist, makanya tidak pernah bekerja di pers lagi sejak peristiwa Malari.
Bahkan tahun-tahun awal pascaperistiwa Malari, saya menulis di Koran selalu dengan nama samara. Karena tidak ditulis, apakah yang diblacklist itu bisa menulis di media massa atau tidak. Makanya saya pakai nama samaran. Tapi dua tahun kemudian, saya menulis lagi dengan menampilkan nama saya.
Siapa yang mengambil keputusan blacklist ke-14 wartawan itu?
Saya tidak tahu. Karena zaman orde baru, tidak ada yang tahu siapa mengambil keputusan apa. Saya hanya diberitahu oleh staf kedutaan itu. Saya tidak pernah melihat dokumen larangan itu.
Saya cek dengan direkrut jenderal di Kementerian Penerangan, dia selalu menjawab “jangan menyusahkan kami”.
Hal ini luput dari pemberitaan media saat itu.
Di zaman orde baru berkuasa, kalau ada wartawan yang ingin menjadi pemimpin redaksi, wakil pemimpin redaksi dan redaktur pelaksana, harus ada surat izin dari Departemen Penerangan, jadi kutipannya “diperbolehkan untuk menjabat”.
Ketika saya diminta untuk memimpin sebuah majalah ekonomi, kembali pihak Departemen Penerangan mengatakan “jangan menyusahkan kami”. Makanya setelah itu saya sudah tidak masuk di media pers.
Media cyber atau media online menjadi tantangan di era media massa modern saat ini. Dampaknya, muncul banyak informasi hoax atau bohong. Maka Dewan Pers memutuskan membuat aturan baru dengan melakukan verifikasi ketat media massa saat ini. Media akan diberikan semacam barcode atau penanda. Namun ini dikritik sebagai pembredelan gaya baru. Bagaimana pandangan Anda?
Saya melihat ada kritik seolah-olah verifikasi ini seperti mendekati pembatasan gaya orde baru.
Saya menganggap ini situasi darurat. Karena berkembangnya begitu banyak media yang mengaku sebagai pers, padahal isinya bukan pers. Kata pers di Indonesia sangat diobral. Misalnya, para mahasiswa yang menerbitkan media cetak menyebut dirinya sebagai pers kampus.
Saya biasa mengatakan, bukan pers dong. Pers harus independen dan memenuhi standar jurnalistik professional. Kalau media kampus, mana mungkin independen. Karena diterbitkan dengan dana rektorat. Pasti rektor menentukan kebijakan redaksioanalnya. Kecuali diterbitkan di luar universitas.
Sekarang ini, media yang isinya tidak mencerminkan karya jurnalistik pers murni.
Jadi, Dewan Pers hanya sekadar ingin memberikan gambaran ke masyarakatan media komunikasi massa yang memenuhi persyaratan. Media pers dan bukan pers sudah banyak saat saya di Dewan Pers. Dulu waktu saya di Dewan Pers ada 1.000-an.
Saat saya jadi Ketua Dewan Pers, saya ingin memperbanyak pakar untuk mengerjakan banyak pekerjaan. Karena kalau dikerjakan oleh masing-masing anggota dewan pers dan masing-masing sibuk, jadi tidak dikerjakan. Dewan Pers dulu tidak punya dana untuk membayar pakar.
Jadi verifikasi itu memberikan petunjuk. Tapi dikhawatirkan oleh para pengkritik, takut media massa yang belum diberikan ketetapan oleh Dewan Pers sebagai media massa, tidak dibaca orang meski isinya bagus.
Saya kira tidak begitu. Media yang belum mendapat tanda (barcode) oleh Dewan Pers, terus saja jalan. Sepanjang tidak melanggar hukum, tidak masalah.
Pada akhirnya yang menentukan media hidup atau tidak adalah pembaca. Sama dengan televisi dan radio, mereka akan ditinggal pemirsanya kalau tidak sesuai dengan kaidah pers.
Di zaman orde baru, banyak pembredelan, bahkan ANTARA selama 10 hari tidak bekerja. Yang bisa terbit saat itu hanya Harian AB atau Angkatan Bersenjata milik ABRI dan Berita Yuda milik Angkatan Darat. Oplah koran itu besar saat orde baru, karena mendapatkan kontribusi dari pemerintah orde baru. Oplahnya dibeli 30 ribu eksemplar.
Oplah Koran Suara Karya juga dibeli oleh Departemen Penerangan karena milik Partai Golkar. Koran itu disebarkan gratis ke pegawai negeri. PNS saat itu tidak berani membaca koran selain koran Suara Karya. PNS saat itu hanya berani baca koran langganan mereka di rumah.
Setelah masuk ke reformasi, pemerintah tidak memberikan subsidi. Akhirnya Harian Berita Yuda dan Harian AB mati. Begitu juga Suara Karya.
Bagaimana Anda memandang potret pers saat ini?
Rata-rata memenuhi kode etik jurnalistik. Masyarakat sudah semakin cerdas juga untuk memilih.
Di awal-awal reformasi, pers banyak mendapatkan tekanan dari pihak tertentu. Mereka mendemo karena pers tidak pakai standar kode etik jurnalistik. Kantor media itu sampai didatangi massa. Saat itu Dewan Pers menanganinya dan meminta masyarakat tidak melakukan intimidasi ke pers. Kalau ada berita yang dianggap tak benar, harus lewat jalur klarifikasi.
Sejak saat itu juga Dewan Pers aktif ke Kepolisian dan Kejaksaan untuk kerjasama jika ada kasus yang berhubungan dengan pers, harus diselesaikan lewat UU Pers, bukan pidana. Kami menjelaskan, apa itu kebebasan pers. Di kalangan luar pers, tidak mudah memahami kebebasan pers.
Bagaimana media pers yang dimiliki politisi, bahkan ketua partai politik tertentu?
Siapa pun bisa memiliki perusahaan pers. Mau orang kaya, miskin, atau juga politikus.
Tapi ada kepentingan politik pemilik…
Kalau pembacanya tidak suka, akan ditinggalkan. Misal Suara Karya, Harian AB, dan Berita Yuda. Di era Pemilihan Presiden 2004, banyak media partisan, setelah itu mati sendiri karena masyarakat sadar. Tidak ada pembaca yang bodoh.
Prinsipnya, melarang orang pihak di luar redaksi menentukan kebijakan redaksional. Termasuk pemilik saham. Dalam kenyataaan, mereka ikut campur.
Pernah ada media massa yang ditinggal jurnalisnya ramai-ramai karena pemodal atau pemilik perusahaan ikut campur. Jadi perlawanan atas ikut campur pemodal bisa dilakukan oleh orang dalam redaksi, bukan hanya ditinggalkan pembaca.
Masih ada ganjalan tentang Hari Pers Nasional. Terutama di kalangan jurnalis, ada yang mengatakan tidak relevan tanggal ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia dijadikan HPN. Sebab PWI di era akhir masa Orde baru tidak memperjuangkan pembredelan sejumlah media massa. Bagaimana pendapat Anda?
Memangnya hari ulang tahun PWI tidak bagus? Itu kan keputusan pemerintah orde baru. Saya memang pernah menjadi bendahara PWI cabang Jakarta. Tapi saat pembredelan Januari 1974, saya diberhentikan menjadi pengurus.
Beberapa media diberedel saat itu dan ada wartawan yang tidak boleh lagi bekerja di di media massa. Lalu tahun 1994 kembali terjadi pembredelan media oleh pemerintah. Media itu adalah Tempo, Majalah Editor, dan Tabloid Detik.
Kemudian 8 wartawan dan kolumnis membuat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Desa Sirnagalih, Bogor atau bisa disebut sebagai Deklarasi Sirnagalih. Saat itu PWI mendukung dengan keputusan pembredelan itu. Ada peryataan dari PWI pusat dan didukung oleh PWI cabang Jakarta.
Dalam Deklarasi Sirnagalih, AJI menyatakan menolak segala bentuk campur tangan, intimidasi, sensor dan pembredelan yang mengingkari kebebasan berpendapat dan hak warga negara memperoleh informasi.
AJI juga menolak wadah tunggal organisasi kewartawanan tunggal, PWI. Pemerintah memang memutuskan PWI sebagai organisasi tunggal.
Saat itu PWI memecat 13 anggota yang ikut dalam deklarasi Sirnagalih, di antaranya Gunawan Muhammad (Tempo) dan Yoseph Adi Prasetya (dulu Harian Jakarta Jakarta, saat ini Ketua Dewan Pers).
Saat itu PWI Jakarta juga meminta semua pemimpin redaksi tidak mempekerjakan penandatangan Deklarasi Sirnagalih sebagai wartawan. Putusan itu dikeluarkan 17 Maret 1995 dalam konfrensi pers Ketua PWI Jakarta saat itu, Tarman Azzam (saat itu Pemimpin Redaksi Harian Terbit).
Tapi saat itu PWI Pusat tidak menuliskan permintaan semua pemimpin redaksi tidak mempekerjakan penandatangan Deklarasi Sirnagalih sebagai wartawan.
Dampak seruan PWI itu, ada 2 wartawan koran yang diberhentikan karena menjadi anggota AJI. Ada juga yang memindahkan wartawannya di bagian lain, non redaksi.
Tapi, saya ingin mengingatkan jangan hanya mengingat PWI ketika dirusak pada masa ketui oleh Harmoko yang setelah itu jadi Menteri Penerangan. Dirusak dalam arti menjadikan PWI sebagai kepanjangan tangan pemerintah.
Kalau pemerintah dari dulu begitu, sejak zaman Soekarno. Menjadikan organisasi masyarakat sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Jangan lupa, PWI ini didirikan oleh orang-orang pendukung kebebasan pers. Tapi yah terserah, pendapat itu perlu dikumpulkan.
Media seperti apa yang bisa hidup di masa orde baru?
Media yang kompromistis.
Di kalangan para wartawan ini ada 3 kategori pendirian atau sikap. Di Indonesia, wartawan yang kita kenal paling independen, tidak mau berkompromi dengan kepentingan ekonomi dan politik di luar pendirian redaksi, adalah Mochtar Lubis dan Suwardi Tasrif.
Di bawahnya, yang tidak sekeras Mochtar Lubis dan yang lebih lunak dengan campur tangan pemerintah, misalnya Auw Jong Peng Koen (pendiri Kompas), Rosian Anwar (Pimpinan Redaksi Harian Pedoman). Yang lebih lunak dan kompromistis adalah Jakob Oetama (Kompas).
Kemerdekaan pers, sejak zaman kolonial belanda, tidak pernah ada kebebasan pers. Terus sampai Jepang masuk Indonesia. Belanda banyak mengeluarkan undang-undang untuk membredel pers, melarang pemberitaan tertentu.
Bahkan saat penjajahan Jepang, ditempatkan seorang penasihat militer di media massa. Sebetulnya itu pejabat sensor, pers tidak bisa menyiarkan dan mencetak berita sebelum disensor oleh pejabat itu.
Setelah Indonesia merdeka, sudah mulai kebebasan pers, tapi tidak bebas banget. Sebab tahun 1948, ada pembredelan pertama yang dilakukan Presiden Soekarno terhadap ‘koran kiri’. Koran itu memuat tajuk rencana yang menyebut “Soekarno bombastis”.
Di antara tahun 1945-1949, beberapa wilayah Indonesia masih dikuasai Belanda. Di daerah yang masih dikuasai Belanda, tidak ada kebebasan pers. Bahkan di daerah yang dikuasi oleh Republik Indonesia di bawah Soekarno, juga tidak ada kebebasan pers.
Saat Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), kebebasan pers mulai tampak. Karena isi undang-undangnya lebih liberal. Saat itu Harian Indonesia Raya bisa terbit, 29 September tahun 1949. Lalu koran ini ditutup tahun 1958.
Sepanjang berdiri di masa orde lama, koran itu mengalami sekitar 5 kali pembredelan. Setelah tahun 1958 kebebasan semakin tertekan.
Tahun 1965, pemerintah membredel 47 surat kabar yang dituduh sebagai kepanjangan tangan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ada juga koran Soekarnois yang dibredel dan koran lain pendukung Soekarno.
Di awal masa Soeharto berkuasa, sebenarnya ada kebebasan pers, terutama di tahun 1965-1967. Saat itu Soehato jadi pelaksana presiden Soekarno. Indonesia Raya bisa terbit tahun 1968, meski harus punya izin terbit.
Namun dari tahun ke tahun jadi lemah, terutama saat media membongkar korupsi pemerintah. Salah satunya Januari tahun 1974, 10 koran dan 1 majalah berita dibredel. Selanjutnya tahun 1978, ada 7 surat kabar yang dibredel.
Termasuk Kompas dan Harian Merdeka. Mereka bisa terbit seminggu kemudian setelah minta maaf kepada Presiden Soeharto dan keluarga pimpinan nasional.
Ini meyedihkan sekali. Setelah itu tahun 1994, Tempo dibredel dan meminta maaf juga. Tapi tidak menyatakan meminta maaf dengan keluarga pimpinan nasional.
Masuk reformasi tahun 1998, Soeharto jatuh. Saya satu-satunya orang luar Departemen Penerangan yag ikut dalam pengkajian dan pembahasan Undang-Undang Pers saat itu.
Apakah tantangan jurnalisme saat ini?
Saya menganjurkan kepada media terus meningkatkan mutu, dari sisi kode etik jurnlistik.
Kebebasan pers di Papua masih terkekakang…
Beberapa bulan lalu, saya bertemu Ketua Dewan Pers Stanley (Yosep Adi Prasetyo). Saya minta dia untuk bicara dengan Presiden Joko Widodo agar pejabat dan petugas keamanan di Papua menghentikan tekanan dari kebebasan berekspresi.
Meski OPM bicara, biarkan saja selama tidak melakukan kekerasan. Saya tak rela kebebasan pers yang sudah dibangun dengan susah, akan kembali terkekang, kembali ke masa lalu.
Tentu Jokowi harus merapihkan para pejabat dan keamanan di sana, orang yang ditempatkan harus mengerti soal pers.
Di sisi lain, hanya 1 atau 2 wartawan di Papua yang mendapatkan gaji tetap, lainnya kontributor. Mereka digaji tidak layak.
Biografi singkat Atmakusumah
Atmakusumah Astraatmadja merupakan Ketua Dewan Pers pertama, sejak Mei 2000 sampai Agustus 2003. Ia kini pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), pusat pendidikan dan pelatihan jurnalistik praktis di Jakarta, sejak 1992 sampai sekarang, dan anggota Dewan Pakar LPDS sejak Maret 2003.
Ia adalah mantan direktur eksekutif LPDS (1994-2002) dan ketua Tim Ombudsman harian Kompas (2000-2003). Sebelumnya, ia bekerja sebagai press assistant, kemudian information specialist, pada U.S. Information Service (USIS) (1974-1992); dan redaktur, kemudian redaktur pelaksana, harian Indonesia Raya (1968-1974).
Ia pernah menjadi redaktur kantor berita Antara dan Persbiro Indonesia (PIA) di Jakarta serta penyiar Radio Australia (ABC) di Melbourne, Australia, dan Deutsche Welle (Radio Jerman) di Koeln, Jerman. Juga sebagai komentator masalah dalam negeri dan luar negeri pada Radio Republik Indonesia (RRI) di Jakarta.
Atmakusumah adalah pengarang buku Kebebasan Pers dan Arus Informasi di Indonesia (1981) dan penyunting 9 buku lainnya. Selain itu, tulisan-tulisannya tentang jurnalisme, media pers, dan kebebasan pers dimuat dalam 30 buku.
Ia adalah pemimpin rubrik komunikasi massa dan kontributor untuk Ensiklopedi Nasional Indonesia (18 jilid; pemimpin umum Dr. B. Setiawan, pemimpin redaksi dr. E. Nugroho; penerbit PT Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1988-1991).
Sebagai penulis dan kolumnis, tulisan-tulisannya dimuat antara lain di: harian Kompas, Sinar Harapan, The Jakarta Post, Republika, Suara Karya; majalah Tempo, D & R (Demokrasi & Reformasi), Prisma, Optimis, Femina, X-tra, Intisari, Editor, Forum Keadilan, Independen Watch, Trust; surat kabar mingguan edisi akhir pekan Media Indonesia Minggu, Bisnis Indonesia Minggu; dan media Internet Tempo Interaktif (Jakarta). Juga dimuat di majalah Reflexie (Den Haag, Nederland).
Selama 30 tahun terakhir ia berbicara pada seminar dan lokakarya tentang jurnalisme serta kebebasan pers dan berekspresi di sekira 40 kota besar dan kecil di Indonesia.
Ia memperoleh Penghargaan Ramon Magsaysay Tahun 2000 untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif, yang disampaikan oleh The Ramon Magsaysay Award Foundation di Manila pada 31 Agustus 2000. Atmakusumah dilahirkan di Labuan, Banten, pada 20 Oktober 1938.