Suara.com - Selama hampir 10 tahun berdiri, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merasa belum maksimal mendapatkan dukungan dari negara. Padahal peran lembaga ini sangat besar, intinya melindungi para saksi dan korban kasus-kasus besar, seperti pelanggaran hak asasi, terorisme, sampai kekerasan seksual pada anak.
2008, lembaga ini terbentuk karena banyak para sanksi dan korban rentan menerima ancaman serius di luar pengadilan atau proses hukum. Ancaman itu berupa kekerasan fisik sampai pembunuhan.
Salah satu kasus kekinian yang pernah ditangani LPSK adalah pembunuhan sadis aktivis lingkungan Salim Kancil di Lumajang awal 2016 lalu. LPSK melindungi 14 saksi. Salah satunya Tosan, saksi kunci yang selamat dari pembunuhan dan keluarga Salim Kancil.
Kasus lain, kasus pembunuhan sekeluarga dengan sadis di Pulomas, Jakarta Timur. Sekelompok preman membunuh keluarga di sana, namun ada yang selamat. Mereka dilindungi oleh LPSK agar tidak ikut menjadi korban lanjutan.
Bahkan ramai-ramai kasus penistaan agama Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja purnama, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga kena ‘getahnya’.
LPSK mendapatkan permohonan perlindungan saksi dan korban. Salah satunya Buni Yani, sang pengunggah video pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang mejadi cikal bakal kasus itu.
Hanya saja, di balik peran LPSK yang penting sebagai lembaga penegakan hukum, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai merasa dukungan pemerintah belum maksimal. LPSK membutuhan personel kepolisian atua tentara yang perlu menduduki di jabatan strategis di lembaga yang baru mempunyai kantor sendiri pada 2016 itu.
LPSK membandingkannya dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang langsung dikepalai oleh jenderal polisi. Sedangkan hingga LPSK hanya dibantu oleh personel kepolisian untuk tugas teknis pendampingan saksi dan koran.
Lalu bagaimana dengan jaminan profesionalisme polisi dan tentara jika duduk di LPSK? Sebab banyak juga kasus-kasus intimidasi yang melibatkan oknum-oknum polisi dan tentara. Lalu seperti apa wewenang mereka di LPSK?
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Semendawai akhir pekan lalu:
Hampir 10 tahun Anda pimpin LPSK. Apa tantangan lembaga ini untuk melindungi saksi dan korban?
Tantangan yang sulit adalah dukungan untuk LPSK untuk menjalani tugas dan kewajibannya. Untuk mejalankan mandat Undang-Undang LPSK butuh dukungan. Mulai dari Sumber Daya Manusia, sarana dan uang. Ini berat, karena ternyata membangun organisasi baru itu tidak mudah.
Dalam hal SDM, selama 10 tahun LPSK berdiri belum punya kewenangan untuk merekrut SDM sendiri. Sekarang masih diurus oleh Sekretariat Negara. Kita di bawah Setneg. Makanya PNS di LPSK masih terbatas.
LPSK juga belum mengelola anggaran sendiri. Tapi kita sudah revisi UU LPSK. Tapi itu prosesnya tidak mudah. Di UU itu kita mempunyai kewewenangan pembinaan kepegawaian, dari sisi karier sampai pendidikan mereka.
Selain itu LPSK saat ini bisa dipimpin oleh Sekertaris Jenderal. Proses seleksi untuk cari sekertaris jenderal sedang berlangsung. Kita lagi mencari kandidat yang punya kualitas.
Kewenangan itu semua itu bisa dilakukan setelah Sekjen LPSK ada, mungkin tahun ini. Jadi hampir 10 tahun berdiri, baru bisa realisasikan kewenangan itu.
Dibanding lembaga lain, pembentukannya yang tidak melalui UU, mereka cepat sekali untuk berkembang dari sisi SDM dan struktur. Mereka Eselon 1 ada 4 orang. Misalnya BNPT.
BNPT banyak didukung oleh SDM Polri. Bagaimana dengan LPSK nantinya?
Makanya yang saya bilang tadi, dukungan BNPT dibanding LPSK itu berbeda. Dukungan pemerintah ke LPSK tidak maksimal. Sehingga sulit membuat LPSK berkembang dengan cepat.
Padahal capaiannya luar biasa. Kalau dukungan itu diberikan sebesar dukungan yang diberikan, misalnya, ke BNPT pasti ceritanya akan berbeda.
LPSK mempunyai peran di bidang hukum. Apakah saat ini ada personel Polri yang berkarier di LPSK?
Tidak ada. Kita hanya diperbantukan oleh polisi untuk melindungi saksi dan korban. Saya berikan contoh BNPT lagi, di sana salah satu deputinya dipimpin oleh seorang setara dengan bintang 2.
Misalnya deputi penindakan di LPSK diduduki polisi atau tentara, bintangnya pasti bintang 2. Jadi levelnya setinggi itu.
Apakah LPSK memerlukan polisi atau TNI menduduki jajaran tinggi?
Menurut kami, karena LPSK bergerak di bidang penegakan hukum, ada dua aspek yang harus diperhatikan. Aspek kelembagaan, diisi orang yang mengerti dalam pembinaan kepegawaian, pengelolaan keuangan dan sebagainya.
Di sisi lain kita butuh ahli dalam hal perlindungan secara fisik. Orang yang menguasai hukum dan memahami layanan medis, serta psikologi. Termasuk dalam hal pengembalian korban ke masyarakat, jadi ada rehabilitasi sosial. Jadi perlu juga ahli sosial.
Di LPSK, ada posisi tertentu yang harus ditangani oleh orang-orang yang punya kapasitas untuk melakukan itu. Bisa saja dari polisi aktif atau tentara aktif yang punya jenjang tertentu yang bisa menduduki jabatan itu. Strukturnya lagi kita buat saat ini.
Apa jabatan yang bisa diisi oleh perwira polisi atau tentara?
Di dalam pemenuhan hak asasi korban ada kebutuhan perlindungan. Mungkin ada salah satu Kepala Bironya yang akan dijabat oleh orang-orang yang punya posisi aktif di Polri atau TNI. Tapi orioritas untuk Polri.
Bagaimana LPSK bisa menjamin polisi dan tentara ini bebas kepentingan? Karena tidak sedikit korban menuduh polisi dan tentara adalah pelaku. Misal kasus pelanggaran HAM berat.
Antara oknum dengan pejabat polri atau TNI, kan tidak selalu sama. Banyak polisi atau TNI yang menangani kejahatan orang-orang di internal mereka dengan sikap objektif.
Di kasus-kasus yang kami tangani, ada juga yang pelakunya adalah oknum polisi. Sementara yang melindungi para korban juga polisi. Ini bisa berjalan dengan baik.
Proses penegakan hukum ini, negara punya kepentingan menghukum siapapun yang melakukan kejahatan. Kalau tidak begitu, orang tidak akan hormat dengan hukum. LPSK juga harus melakukan tindakan itu sebaik-baiknya.
Dalam tugas LPSK banyak sekali kita berhadapan dengan orang-orang yang berstatus sebagai polisi dan TNI yang berstatus sebagai pelaku kejahatan, di mana di saksi dan koraban kita lindungi. Yang melindungi kepolisian. Dalam prosesya tidak terjadi benturan konflik. Kita bisa menjaga itu.
Anda pernah diintimidasi oleh oknum polisi atau TNI?
Secara langsung nggak, karena saya tidak dilapangan. Kalau teman-teman yang bertugas di lapangan sering. Bahkan pernah dalam kasus tertentu, didemo oleh orang-orang.
Dalam perkembangannya LPSK baru mendapatkan tugas baru yaitu melindungi korban terorisme. Bagaimana implementasinya?
Sebenarnya, kejahatan terorisme sudah menjadi salah satu mandat yang harus ditangani oleh LPSK dalam UU Nomor 13 Tahun 2016. Yang baru setelah direvisi, para korban punya untuk mendapatkan pelayanan medis, psikologi, dan psiko sosial.
Sejumlah korban sudah mengajukan perlindungan ke LPSK. Di antara mereka sebagian sudah diberikan layanan, khususnya korban teroris yang terjadi baru-baru ini. Peristiwa terorisme sejak tahun 2000-an. Untuk korban terorisme yang lama juga sudah diberikan pelayanan. Bahkan kita fasilitasi untuk mendapatkan ganti rugi dari negara atau kompensasi.
Layanan medis seperti apa?
Mereka mendapatkan layanan langsung. Mereka berobat dan pembayaran berobat diklaim ke LPSK. Kami kerjasama dengan beberapa rumah sakit.
Biaya medis yang dikeluarkan sangat banyak. Mengingat sumber dana LPSK terbatas, maka layanan klaim medis kita batasi untuk jangka waktu tertentu, antara 6 bulan sampai 1 tahun. Selebihnya kerjasama dengan BPJS Kesehatan.