Ichsan Malik: Selangkah Lagi, Krisis Konflik SARA Bisa Terulang

Senin, 30 Januari 2017 | 07:00 WIB
Ichsan Malik: Selangkah Lagi, Krisis Konflik SARA Bisa Terulang
Ichsan Malik. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Konflik berlatarbelakang suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) mengancam Indonesia saat ini. Sumbernya dari hiruk pikuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta.

Jakarta, saat ini sedang panas lapor melapor kasus penistaan agama antara kelompok anti Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur dan yang mendukung Ahok. Baru-baru ini, Pimpinan organisasi radikal FPI Rizieq Shihab bolak balik dilaporkan ke polisi akibat berbagai kasus.

Selain itu di media sosial, belum henti penyebaran informasi hoax yang berisi kebencian antar ajaran agama. Kafir mengkafirkan pun terus bergulir.

Di sisi lain, kelompok pendukung Rizieq terus membela dengan membuat gerakan ‘Aksi Bela Ulama’. Mereka berdemo meminta ‘imam besarnya’ dibebaskan. Sementara mereka terus mendorong Ahok agar dipenjarakan. Gerakan massa ini terjadi beberapa kali saat 4 November 2016 dan 2 Desember 2017.

Tokoh perdamaian konflik SARA di Poso, Maluku, Ichsan Malik menganggap penggalangan massa yang berbalut isu agama sangat berbahaya. Dia khawatir situasi saat ini mengulang krisis konflik SARA di awal tahun 2000-an.

Ditemui suara.com di kediamannya di Bogor, Jawa Barat pekan lalu, penggagas ‘Baku Bae’ saat konflik SARA di Poso itu, menjelaskan alasan ketakutannya. Dia bilang, krisis konflik akan terjadi jika isu kebencian terhadap agama dan ras yang saat ini terjadi tidak dihentikan.

Menurut dia, saat ini masing-masing kelompok yang ‘bersaing’ merasa terancam eksistensinya. Baik kelompok mayoritas dan minoritas.

Doktor psikologi perdamaian itu pun memaparkan hal yang harus segera dilakukan untuk mendamaikan konflik. Meski dia mengakui jika konflik SARA sulit ditanggulangi di Indonesia.

Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Ichsan Malik:

Belakangan menguat isu konflik berlatar agama, terutama menjelang Pilkada. Terakhir isu agama dibenturkan dengan budaya. Bagaimana Anda melihat kejadian ini?

Kita musti lihat akarnya lebih dulu. Intoleransi berkembang ketika setiap kelompok merasa terancam. Tapi jika setiap kelompok di Indonesia merasa aman dan tentram, maka yang berkembang adalah tolerasi.

Menariknya di Indonesia, semua pihak mayoritas maupun minoritas merasa terancam. Islam yang merasa mayoritas di Indonesia, merasa terancam dari sisi ekonomi dan politik. Keterancaman ini karena aspek ekonomi dan politik.

Sehingga sebetulnya tidak relevan jika stadar mayoritas dan minoritas ini dilihat dari jumlah. Sebab untuk melihat keterancaman mereka, perlu dilihat dimensinya. Warga Islam jika dilihat dari jumlah, dia mayoritas. Tapi dia merasa sebagai minoritas dan terancam secara politik dan ekonomi. Ini yang harus kita sadari.

Kedua, ini hal yang menyebalkan. Ada fenomena di wilayah konflik di Indonesia dan berkembang di seluruh negeri. Yang saya sebut sebagai fenomena mereka berlomba-lomba sebagai korban. Jadi kelompok Islam, Kristen, Konghucu dan lain-lain merasa paling menjadi korban. Dulu, ini disebut tumbalisme.

Ini sudah sejak lama ada dan bagian dari budaya Indonesia, budaya tumbal. Ini mental orang kalah, seharusnya kita berlomba-lomba untuk menang. Cuma ketika konflik di Maluku, Poso dan Aceh, saya temukan ini lebih berat dibandingkan tumbalisme itu.

Ketiga, sekarang berkembang steriotip dan prasangka. Ini juga gambaran dari misstrush atau tak ada saling percaya dengan semua. Kadang-kadang Agama turut melestarikan prasangka-prasangka ini. Etnik juga demikian.

Keempat, berkembangnya ekonomi yang untung-untungan. Kenapa Indonesia nggak bisa menunjukan kategori ekonomi sendiri. Sehingga Indonesia tidak maju-maju, kesenjangan semakin melebar. Karena intoleransi ini berkaitan dengan pemenuhan ekonomi. Seharusnya malu dengan Singapura dan Malaysia yang sudah maju.

Di konsep penanganan konflik ada beberapa istilah penting. Pemicu, trigger atau pendorong, dan akar masalah. Saya membuat analogi di konflik Maluku sama dengan kebakaran hutan. Awalnya konflik itu kecil, tapi dipicu oleh angin yang besar.

Di dalam angin itu ada isu agama. Jadi apinya yang kecil menjadi besar dan menyebar ke mana-mana. Di sisi lain fundamental di masyarakat sudah hancur, ini dibaratkan sebagai rumput yang sudah kering.

Jadi persoalan saat ini, pilkada hanya sebagai mentum saja. Sementara pemicunya masih sama, isu agama dan SARA. Sehingga konflik akan terus terjadi, hanya menunggu momentum saja. Misalnya konflik persaingan Joko Widodo dan Prabowo Subianto saat Pilpres 2014 saja masih terasa, masyarakat akar rumput masih terbelah.

Makanya yang bisa terus melanggengkan keterbelahan masyarakat di Indonesia adalah isu agama dan etnik. Kalau konflik berlatar belakang agama dan konflik memang sulit diselesaikan. Saya memprediksi jalan Indonesia masih sangat panjang pasca isu SARA Ahok ini.

Di era Presiden Soeharto, negara tidak akan membiarkan isu SARA menjadi pemicu konflik. Dia langsung kirim tentara untuk menyelesaikannya, 5 menit beres. Soeharto tahu bahaya isu SARA.

Isu apa saja yang bisa memicu konflik di Indonesia?

Isu tentang nasionalisme dan kedaerahan juga bisa menjadi pemicu konflik SARA. Sekarang tengah menguat isu identitas kedaerahaan dan dibenturkan dengan agama. Terakhir soal wayang yang dianggap bukan bagian dari ajaran Islam.

Lalu isu ini juga tengah terjadi di Purwakarta sebenarnya, Bupati Purwakarta tengah menguatkan soal identitas sunda di daerah. Hal itu juga dibenturkan dengan Islam oleh sekelompok orang.

Selain itu isu agama ini bisa dibeturkan dengan pembelakaan ketokohan. Misalnya Aksi Bela Ulama. Tapi untungnya Nahdalatul Ulama bisa meredamnya.

Di Kalimantan Barat sudah menolak datangnya ajaran radikal dengan penguatan unsur kedaerahannya. Apakah acara itu bisa dicontoh oleh daerah lain?

Bisa sebenarnya. Ada kelompok-kelompok rentan seperti FPI dan FBR yang tumbuh subur pada kawasan yang semi krisis atau kondisi tidak stabil. Tapi ketika sistem daerah itu berjalan baik, dua ormas itu tidak akan tumbuh subur.

Di Kalimantan, kelompok Dayak yang paling terorganisir ada di Kalimantan Barat. Dayak lebih mampu untuk menolak. Bali juga akan bisa menolak dari konsolidasi kelompok Hindu seperti dari pecalang. Termasuk etnis Batak juga bisa melakukan hal yang sama. Jadi bukan perkara berapa banyak jumlahnya.

Isu SARA yang menguat saat ini dipicu karena banyak yang tampil adalah kelompok intoleran. Sementara kelompok  moderat dan toleran belum terlihat. Apakah memang sebaiknya mereka tidak muncul agar tidak terlibat benturan dengan kelompok intoleran?

Iya, itu benar sekali. Kelompok tengah ini memang terlambat untuk bereaksi. Karena kita tidak bisa menduga konsolidasi kelompok radikal ini semakin lama semakin kuat. Bahkan saat demo 212, kelompok tengah ini ikut dalam demo. Ini kan aneh. Ini artinya mereka sudah merasa terancam dan akhirnya ikut dalam gerakan ini.

Untungnya NU sudah cepat meredam dan mengambil jarak. Sementara Muhammadiyah terlambat bersikap.

Namun fakta lainnya, NU dan Muhammadiyah dari sisi jumlah sudah pasti besar. Sementara kelompok radikal ini sangat dikit, namun mereka militant. Ini perlu diwaspadai dan jangan dianggap remeh.

Jadi saat ini lebih baik kelompok toleran sudah harus bergerak?

Iya, sekarang sudah harus bergerak. Tapi sekaligus harus menghilangkan prasangka. Harus dibersihkan pemicu-pemicunya, seperti tudingan PKI dan memori sejarah masa lalu. Sebab banyak memori sejarah yang dibuat bias dan diciptakan sebagai pemicu konflik. Ini misalnya terjadi soal pembangkitan isu komunisme.

Saya agak optimis di Jakarta, ini akan cepat reda sementara. Meski di beberapa wilayah lain ‘rumputnya’ masih agak kering. Kondisi ekonomi juga agak kurang.

Mungkin Anda sudah tahu dengan persis latarbelakang kelompok-kelompok radikal yang bergerak saat ini. Bahkan sosok yang menggerakan mereka. Anda juga tahu para tokoh-tokoh mereka. Apakah para tokoh radikal itu bisa diajak dialog untuk menghentikan gerakan radikalisme mereka?

Bisa saja berdialog, tapi ada syaratnya. Untuk berdialog dalam situasi konflik, khususnya konflik berlatar SARA, mempunyai dua syarat. Yaitu mempunyai kesadaran konflik dan kesadaran masyarakatnya. Kita harus kritis melihat masalahnya.

Sehingga perlu konsolidasi atau pertemuan-pertemuan dengan pihak tertentu. Setelah mulai sadar masalah yang terjadi, baru bisa berunding. Sebab untuk berunding perlu kesadaran kritis dan balancing power, selain itu nggak ada intimidasi dan represi.

Tapi memang tergantung kondisinya, jika di Maluku saat itu sudah terbelah dan tercabik-cabik kondisi masyarakatnya. Ada langkah-langkah yang dilakukan, misal forgiveness (saling memaafkan), justice (langkah hukum). Saat saya di konflik Maluku, yang penting adalah togetherness. Jadi harus dikuatkan rasa nasionalisme dengan menjadi orang Maluku, bukan Maluku Islam dan Maluku Kristen.

Analoginya, Munarman dan Rizieq Shibab memang memecah belah. Dia harus tetap diajak terlebih dulu sepakat kalau dia sedang tinggal di Indonesia, ada Pancasila. Baru nanti urusan soal hukum dan urusan lain. Tapi Munarman dan Rizieq ini sudah bilang “nggak”.

Mereka tetap ingin memecah belah dengan alasan syariah. Kalau bicara soal nasionalisme, ini unnegotiable. Jadi bisa berunding tapi harus dimulai dari titik persoalan ini. Pancasila harus sudah final, nggak ada syariat Islam. 

Bagaimana cara konflik SARA bisa dicegah sejak awal?

Kita bisa cegah konflik Indonesia dan mendeteksinya. Karena eskalasi koflik sudah bisa terlihat. Dari ada sebuah sengketa yang tidak bisa dibereskan. Seperti di Indonesia saat ini konfliknya berulang dari tahun 1945 dan 1950, seperti isu syariat Islam, khilafah, negara Islam dan sebagainya. Karena memang tidak pernah tuntas.

Sehingga terjadi ketegangan dan ada proses mobilisasi. Kalau dibiarkan saja, bisa jadi krisis. Kalau sudah krisis, semua sistem sudah ada yang tidak jalan. Ketika krisis dibiarkan, maka akan terjadi kekerasan terbatas dan kekerasan massal. Kalau sudah kekerasan masal, melakukan 1000 kali istigosah juga tidak akan selesai.

Kalau sekarang di Indonesia sudah sampai mana?

Kita sebenarnya baru sampai ketegangan dan mobilisasi yang bisa mendorong kepada krisis. Jadi selangkah lagi menuju krisis. Tapi kita belum.

Kalau TNI sudah ikut bergerak, polisi juga sudah mulai kebablasan, ini bisa konsolidasi jadi krisis. Tapi saya lihat itu belum terjadi. Makanya sengketa-sengketa dasar harus diselesaikan.

Ketika sengketa tidak sengketa itu tidak dituntaskan, maka akan menimbulkan ketegangan. Kalau dibungkus dengan agama, itu jadi konflik abadi dan susah diselesaikan.

Apakah yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah SARA di Indonesia?

Sayangnya, sekarang di Indonesia makin banyak kelompok rentan yang hanya mau mendengar dari omongan provokator. Dia nggak mau mendengar dari kelompok fungsional, seperti polisi. Kelompok fungsional gagal memotong komunikasi itu. Maka kelompok rentan jadi pemicu, sehingga masalah SARA jadi naik lagi.

Selain itu komunikasi di kelompok menengah tidak berjalan. Seperti pergurun tinggi, pers, coorpotate, Pemda dan LSM jalan sendiri-sendiri.

Bisa ditegah kalau deteksi dini dan respon dini jalan. Eskalasi jangan dibiarkan saja. Kelompok rentan harus diatur lagi, jangan dibubarkan. Kelompok rentan ini harus didekati dengan kelompok fungsional. Sebab kelompok ini berkembang besar di kawasan tak terpelajar dan mempunyai ekonomi yang rendah.

Kenapa kelompok itu tidak boleh dibubarkan?

Sebenarnya boleh juga dibubarkan kalau sudah bertindak berlebihan seperti kekerasan, sikat saja.

Kasus Rizieq Shibab dan Munarman sudah masuk ke ranah kepolisian. Tapi dia masih bebas bicara di depan publik dan mengajak masyarakat untuk ‘berjihad’. Apakah seharusnya mereka ditangkap dan dipenjara saja?

Bisa. (Ketika dipenjara) dia sebagai provokator sudah tidak bisa lagi memprovokasi dengan logika-logika tak normalnya kepada kelompok rentan yang membutuhkan. Jadi gizi kelompok rentan adalah provokasi itu. Sebab itu yang bisa membuat kelompok rentan ini mengkonsolidasi.

Tapi memang kelemahan intelijen kita melakukan deteksi dini. Harus diperbaiki untuk membaca pemicu gerakan intoleran.

Biografi singkat Ichsan Malik

Ichsan Malik lahir di Bandung pada 6 September 1957. Dia mendapat gelar Doktor Psikologi Perdamaian di fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tahun 2012. Saat ini Ichsan Malik menjabat sebagai Ketua IM Centre untuk Dialog dan Perdamaian, pembina dari Institut Titian Perdamaian di Indonesia, working group resolusi konflik dari Ikatan Psikologi Sosial seluruh Indonesia.

Dia juga merupakan anggota Tim Kerja Dialog dan Mediasi GPPAC mewakili jaringan Asia Tenggara. Dia merupakan inisiator dan fasilitator dari Gerakan Perdamaian Maluku ‘Baku Bae’, sebuah gerakan yang berlangsung sejak April 2000 hingga 2003 untuk membangun perdamaian di Maluku, Indonesia.

Pada tahun 2009, Ichsan Malik melakukan pelatihan tentang Conflict Early Warning and Early Response untuk kegiatan Shalom Foundation di Myanmar. Pada 2011, dia menjadi fasilitator untuk tim Nahdatul Ulama Indonesia untuk menciptakan perdamaian di Afghanistan.

Ichsan Malik juga merupakan dosen pengajar di Departemen Psikologi Universitas Indonesia sejak tahun 2000, dan dosen pengajar mata kuliah Resolusi Konflik dan Konflik Intervensi di Universitas Pertahanan Indonesia sejak 2012 hingga sekarang.

Bersama dengan GPPAC Asia Tenggara, ia terlibat dalam misi solidaritas ke Thailand Selatan, Kachin, Myanmar, dan Mindanao pada tahun 2013 sampai 2014. Pada tahun 2015, bersama delegasi dari Rusia, Belanda, dan Australia memulai inisiatif dialog untuk perdamaian di Pyongyang, Korea Utara. Ichsan Malik menerima Penghargaan Sani AhuSiwalima dari Pemerintah dan para Pemimpin Adat Maluku pada tahun 2011.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI