Suara.com - Konflik berlatarbelakang suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) mengancam Indonesia saat ini. Sumbernya dari hiruk pikuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta.
Jakarta, saat ini sedang panas lapor melapor kasus penistaan agama antara kelompok anti Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur dan yang mendukung Ahok. Baru-baru ini, Pimpinan organisasi radikal FPI Rizieq Shihab bolak balik dilaporkan ke polisi akibat berbagai kasus.
Selain itu di media sosial, belum henti penyebaran informasi hoax yang berisi kebencian antar ajaran agama. Kafir mengkafirkan pun terus bergulir.
Di sisi lain, kelompok pendukung Rizieq terus membela dengan membuat gerakan ‘Aksi Bela Ulama’. Mereka berdemo meminta ‘imam besarnya’ dibebaskan. Sementara mereka terus mendorong Ahok agar dipenjarakan. Gerakan massa ini terjadi beberapa kali saat 4 November 2016 dan 2 Desember 2017.
Tokoh perdamaian konflik SARA di Poso, Maluku, Ichsan Malik menganggap penggalangan massa yang berbalut isu agama sangat berbahaya. Dia khawatir situasi saat ini mengulang krisis konflik SARA di awal tahun 2000-an.
Ditemui suara.com di kediamannya di Bogor, Jawa Barat pekan lalu, penggagas ‘Baku Bae’ saat konflik SARA di Poso itu, menjelaskan alasan ketakutannya. Dia bilang, krisis konflik akan terjadi jika isu kebencian terhadap agama dan ras yang saat ini terjadi tidak dihentikan.
Menurut dia, saat ini masing-masing kelompok yang ‘bersaing’ merasa terancam eksistensinya. Baik kelompok mayoritas dan minoritas.
Doktor psikologi perdamaian itu pun memaparkan hal yang harus segera dilakukan untuk mendamaikan konflik. Meski dia mengakui jika konflik SARA sulit ditanggulangi di Indonesia.
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Ichsan Malik:
Belakangan menguat isu konflik berlatar agama, terutama menjelang Pilkada. Terakhir isu agama dibenturkan dengan budaya. Bagaimana Anda melihat kejadian ini?
Kita musti lihat akarnya lebih dulu. Intoleransi berkembang ketika setiap kelompok merasa terancam. Tapi jika setiap kelompok di Indonesia merasa aman dan tentram, maka yang berkembang adalah tolerasi.
Menariknya di Indonesia, semua pihak mayoritas maupun minoritas merasa terancam. Islam yang merasa mayoritas di Indonesia, merasa terancam dari sisi ekonomi dan politik. Keterancaman ini karena aspek ekonomi dan politik.
Sehingga sebetulnya tidak relevan jika stadar mayoritas dan minoritas ini dilihat dari jumlah. Sebab untuk melihat keterancaman mereka, perlu dilihat dimensinya. Warga Islam jika dilihat dari jumlah, dia mayoritas. Tapi dia merasa sebagai minoritas dan terancam secara politik dan ekonomi. Ini yang harus kita sadari.
Kedua, ini hal yang menyebalkan. Ada fenomena di wilayah konflik di Indonesia dan berkembang di seluruh negeri. Yang saya sebut sebagai fenomena mereka berlomba-lomba sebagai korban. Jadi kelompok Islam, Kristen, Konghucu dan lain-lain merasa paling menjadi korban. Dulu, ini disebut tumbalisme.
Ini sudah sejak lama ada dan bagian dari budaya Indonesia, budaya tumbal. Ini mental orang kalah, seharusnya kita berlomba-lomba untuk menang. Cuma ketika konflik di Maluku, Poso dan Aceh, saya temukan ini lebih berat dibandingkan tumbalisme itu.
Ketiga, sekarang berkembang steriotip dan prasangka. Ini juga gambaran dari misstrush atau tak ada saling percaya dengan semua. Kadang-kadang Agama turut melestarikan prasangka-prasangka ini. Etnik juga demikian.
Keempat, berkembangnya ekonomi yang untung-untungan. Kenapa Indonesia nggak bisa menunjukan kategori ekonomi sendiri. Sehingga Indonesia tidak maju-maju, kesenjangan semakin melebar. Karena intoleransi ini berkaitan dengan pemenuhan ekonomi. Seharusnya malu dengan Singapura dan Malaysia yang sudah maju.
Di konsep penanganan konflik ada beberapa istilah penting. Pemicu, trigger atau pendorong, dan akar masalah. Saya membuat analogi di konflik Maluku sama dengan kebakaran hutan. Awalnya konflik itu kecil, tapi dipicu oleh angin yang besar.
Di dalam angin itu ada isu agama. Jadi apinya yang kecil menjadi besar dan menyebar ke mana-mana. Di sisi lain fundamental di masyarakat sudah hancur, ini dibaratkan sebagai rumput yang sudah kering.
Jadi persoalan saat ini, pilkada hanya sebagai mentum saja. Sementara pemicunya masih sama, isu agama dan SARA. Sehingga konflik akan terus terjadi, hanya menunggu momentum saja. Misalnya konflik persaingan Joko Widodo dan Prabowo Subianto saat Pilpres 2014 saja masih terasa, masyarakat akar rumput masih terbelah.
Makanya yang bisa terus melanggengkan keterbelahan masyarakat di Indonesia adalah isu agama dan etnik. Kalau konflik berlatar belakang agama dan konflik memang sulit diselesaikan. Saya memprediksi jalan Indonesia masih sangat panjang pasca isu SARA Ahok ini.
Di era Presiden Soeharto, negara tidak akan membiarkan isu SARA menjadi pemicu konflik. Dia langsung kirim tentara untuk menyelesaikannya, 5 menit beres. Soeharto tahu bahaya isu SARA.
Isu apa saja yang bisa memicu konflik di Indonesia?
Isu tentang nasionalisme dan kedaerahan juga bisa menjadi pemicu konflik SARA. Sekarang tengah menguat isu identitas kedaerahaan dan dibenturkan dengan agama. Terakhir soal wayang yang dianggap bukan bagian dari ajaran Islam.
Lalu isu ini juga tengah terjadi di Purwakarta sebenarnya, Bupati Purwakarta tengah menguatkan soal identitas sunda di daerah. Hal itu juga dibenturkan dengan Islam oleh sekelompok orang.
Selain itu isu agama ini bisa dibeturkan dengan pembelakaan ketokohan. Misalnya Aksi Bela Ulama. Tapi untungnya Nahdalatul Ulama bisa meredamnya.
Di Kalimantan Barat sudah menolak datangnya ajaran radikal dengan penguatan unsur kedaerahannya. Apakah acara itu bisa dicontoh oleh daerah lain?
Bisa sebenarnya. Ada kelompok-kelompok rentan seperti FPI dan FBR yang tumbuh subur pada kawasan yang semi krisis atau kondisi tidak stabil. Tapi ketika sistem daerah itu berjalan baik, dua ormas itu tidak akan tumbuh subur.
Di Kalimantan, kelompok Dayak yang paling terorganisir ada di Kalimantan Barat. Dayak lebih mampu untuk menolak. Bali juga akan bisa menolak dari konsolidasi kelompok Hindu seperti dari pecalang. Termasuk etnis Batak juga bisa melakukan hal yang sama. Jadi bukan perkara berapa banyak jumlahnya.
Isu SARA yang menguat saat ini dipicu karena banyak yang tampil adalah kelompok intoleran. Sementara kelompok moderat dan toleran belum terlihat. Apakah memang sebaiknya mereka tidak muncul agar tidak terlibat benturan dengan kelompok intoleran?
Iya, itu benar sekali. Kelompok tengah ini memang terlambat untuk bereaksi. Karena kita tidak bisa menduga konsolidasi kelompok radikal ini semakin lama semakin kuat. Bahkan saat demo 212, kelompok tengah ini ikut dalam demo. Ini kan aneh. Ini artinya mereka sudah merasa terancam dan akhirnya ikut dalam gerakan ini.
Untungnya NU sudah cepat meredam dan mengambil jarak. Sementara Muhammadiyah terlambat bersikap.
Namun fakta lainnya, NU dan Muhammadiyah dari sisi jumlah sudah pasti besar. Sementara kelompok radikal ini sangat dikit, namun mereka militant. Ini perlu diwaspadai dan jangan dianggap remeh.
Jadi saat ini lebih baik kelompok toleran sudah harus bergerak?
Iya, sekarang sudah harus bergerak. Tapi sekaligus harus menghilangkan prasangka. Harus dibersihkan pemicu-pemicunya, seperti tudingan PKI dan memori sejarah masa lalu. Sebab banyak memori sejarah yang dibuat bias dan diciptakan sebagai pemicu konflik. Ini misalnya terjadi soal pembangkitan isu komunisme.
Saya agak optimis di Jakarta, ini akan cepat reda sementara. Meski di beberapa wilayah lain ‘rumputnya’ masih agak kering. Kondisi ekonomi juga agak kurang.
Mungkin Anda sudah tahu dengan persis latarbelakang kelompok-kelompok radikal yang bergerak saat ini. Bahkan sosok yang menggerakan mereka. Anda juga tahu para tokoh-tokoh mereka. Apakah para tokoh radikal itu bisa diajak dialog untuk menghentikan gerakan radikalisme mereka?
Bisa saja berdialog, tapi ada syaratnya. Untuk berdialog dalam situasi konflik, khususnya konflik berlatar SARA, mempunyai dua syarat. Yaitu mempunyai kesadaran konflik dan kesadaran masyarakatnya. Kita harus kritis melihat masalahnya.
Sehingga perlu konsolidasi atau pertemuan-pertemuan dengan pihak tertentu. Setelah mulai sadar masalah yang terjadi, baru bisa berunding. Sebab untuk berunding perlu kesadaran kritis dan balancing power, selain itu nggak ada intimidasi dan represi.
Tapi memang tergantung kondisinya, jika di Maluku saat itu sudah terbelah dan tercabik-cabik kondisi masyarakatnya. Ada langkah-langkah yang dilakukan, misal forgiveness (saling memaafkan), justice (langkah hukum). Saat saya di konflik Maluku, yang penting adalah togetherness. Jadi harus dikuatkan rasa nasionalisme dengan menjadi orang Maluku, bukan Maluku Islam dan Maluku Kristen.
Analoginya, Munarman dan Rizieq Shibab memang memecah belah. Dia harus tetap diajak terlebih dulu sepakat kalau dia sedang tinggal di Indonesia, ada Pancasila. Baru nanti urusan soal hukum dan urusan lain. Tapi Munarman dan Rizieq ini sudah bilang “nggak”.
Mereka tetap ingin memecah belah dengan alasan syariah. Kalau bicara soal nasionalisme, ini unnegotiable. Jadi bisa berunding tapi harus dimulai dari titik persoalan ini. Pancasila harus sudah final, nggak ada syariat Islam.