Suara.com - Banyak ilmuan asal Indonesia yang berkiprah di luar negeri, dan namanya harum. Salah satunya Profesor Josaphat Tetuko Sri Sumantyo.
Uniknya Josh, sapaan karib Josaphat Tetuko, mempunyai obesi mededikasikan temuan Indonesia dengan temuannya itu. Di Universitas Chiba, Josh mengembangkan synthetic aperture radar (SAR) dan menciptakan microsatellite. Temuannya ini dipuji oleh lembaga antariksa dunia karena kecanggihannya.
Karena kejeniusannya, Josh yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Jepang itu dincar lembaga riset seperti NASA (Amerika Serikat), JAXA (Jepang), ESA (Eropa), dan KARI (Korea Selatan). Josh pun sering terlibat dalam pengembangan teknologi radar dengan lembaga riset terkemuka.
Josh menetap di Jepang, namun sering ke Indonesia. “Saya 20-an kali bolak balik Jepang-Indonesia,” kata dia saat berbincang dengan suara.com belum lama ini.
Kisah Josh meniti karier sebagai peneliti di negeri orang sampai menjadi ilmuan kelas dunia menarik diceritakan. Bahkan Josh serius mendirikan lembaga riset di Jepang dengan modal fantastis sampai 1 miliar dolar Amerika Serikat.
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan mantan ilmuan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu:
Saat ini Anda tercatat sebagai orang Indonesia yang menjadi profesor di Chiba University, Jepang. Tentu ini langka. Bagaimana awal Anda berkarir di Jepang?
Lulus dari SMA Negeri 1 Surakarta di Solo tahun 1989, kebetulan saya ikut Beasiswa Habibie dan bersaing dengan 15 ribuan orang. Akhirnya terpilih dengan 25 orang lainnya. Saya seangkatan dengan Prof Nurul Taufiqu Rochman, pakar teknologi nano dari LIPI. Sementara Warsito Purwo Taruno (penemu alat pembasmi kanker) kakak kelas saya.
Kemudian tahun 1997 saya kembali ke BPPT karena sejak 1989 berkarier di BPPT. Di BPPT, tahun 1997 sampai 1999 bekerja untuk Lembaga Pertahanan dan Keamanan di Indonesia dan membangun Pusat Latihan dan Pertempuran di Batu Raja. Saya ikut simulasi pertempuran Kopassus. Saat itu Kepala Pusdiklatnya Luhut Binsar Pajaitan.
Tahun 1999 saya kembali ke Jepang, saat itu krisis moneter. Di Jepang, banyak staf peneliti di sana akhirnya ‘dibuang’. Tahun itu saya kembali ke Jepang karena sedang mengambil S3. Kemudian lulus S3 tahun 2002.
Sekarang status Anda pegawai negeri sipil di Jepang dengan status full professor…
Pertengahan tahun 2012, saya mendapatkan kabar lowongan posisi Guru Besar atau Full Professor di CEReS Chiba University. Saat itu saya 41 tahun, sementara osisi guru besar di Jepang biasanya dialokasikan untuk staff yang berumur lebih dari 50 tahun.
Sejak diangkat sebagai Guru Besar pada tanggal 1 April 2013, masih ada waktu tersisa 24 tahun hingga saya pensiun dari Chiba University. Saya ingin meluncurkan setidaknya 6 microsatellite untuk misi observasi bumi dan permukaan planet lain menggunakan radar-radar yang saya ciptakan selama ini.
Mulai kapan Ada mendalami soal radar dan satelit?
Saat S1 tahun 1991 sampai 1995 membuat sistem radar bawah tanah sendiri. Kemudian saat S2 juga mengambil hal yang sama. Sementara S3 saya mengembangkan synthetic aperture radar (SAR) sampai saat ini.
Sejak saya belajar di Kanazawa University saat studi di S1 dan S2, maka saya membuat sistem radar sendiri, walau simple yaitu radar bawah tanah atau Ground Penetrating Radar (GPR). Sistem sendiri saya buat saat S1 menggunakan circuit yang sederhana tapi berarus tinggi hingga puluhan ribu Ampere di setiap pulsanya, sehingga dapat menembus lapisan tanah beberapa ratus meter menggunakan loop antenna berdiameter 1 hingga 10 meter.
Berangkat dari hasil penelitian ini, saya ingin tahu proses hantaran gelombang di media tanah kering dan lembab atau basah, karena Jepang dan Indonesia mempunyai musim panas / kering dan hujan, sehingga parameter ini perlu diketahui. Maka saya lakukan simulasi penggunakan metoda finite difference time domain (FDTD).
Metoda ini pada tahun 1990an baru mulai berkembang, dan baru sedikit peneliti yang memulai penelitian menggunakan metoda ini. Saat itu saya lakukan simulasi hantaran gelombang di dua lapisan,yaitu lapisan udara dan tanah, berikut beberapa jenis obyek yang ada di dalam tanah. Simulasi GPR dengan menggunakan FDTD dilakukan saat S2 hingga lulustahun 1997.
Pada saat masuk ke program S3, mencari laboratorium yang dapat mengembangkan diri sendiri, maka saya pilih salah satu laboratorium di Center for Environmental Remote Sensing (CEReS), Chiba University. Setelah memilih berbagai alternative radar yang tepat untuk bidang remote sensing, maka saya pilih synthetic aperture radar (SAR), dimana sensor ini dapat dioperasikan di siang dan malam hari, serta segala cuaca karena dapat menembus awan, asap dan kabut.
Hanya pengembangan SAR sensor ini memerlukan dana yang cukup besar, sehingga pada saat studi di program S3 hanya memusatkan diri pada pengembangan teori, tepatnya hamburan gelombang mikro saja. Pada saat studi di program S3 ini berbagai macam teori hamburan gelombang mikro saya kembangkan berikut penerapannya untuk monitoring lahan gambut, diameter pohon, volume biomass hutan dan lain-lain.
Mengapa Anda tertarik mengembangkan sistem radar ini?
Radar Indonesia bawah tanah pertama, saya sendiri yang membuat. Kemudian mengapa saya suka mengembangkan radar? Sejak usia 5 tahun sering diajak diajak ayah, seorang pelatih Kopasgat di Angkatan Udara. Saya sering ditunjukan radar.
Ayah bercerita kalau radar di Indonesia buatan asing. Ada yang dari Prancis, Inggris dan Amerika Serikat. Kenapa nggak buat sendiri? Saya juga ingin sekali buat pesawat terbang sendiri.
Dari cita-cita itu, radar sudah saya buat. Pesawat tanpa awak juga sudah saya buat, Josaphat Laboratory Experimental Unmanned Aerial Vehicle (JX), dimana UAV pertama diberi nama JX- 1 dan JX- 2. Tahun 2012 saya terbangkan dan terbesar di Asia. Saat itu diterbangkan di lembah Gunung Fuji di Fujikawa Jepang.
Anda juga penemu Microsatellite dan pempunyai hak paten tentang ini. Teknologi ini yang pertama di dunia. Bisa Anda ceritakan?
Semua temuan saya terintegrasi dengan teknologi radar.
Apa yang membedakan temuan radar Anda dengan yang lain?
Pertama polarisasi radar saya bentuknya melingkar, gelombang saat ditembakkan betuknya spiral. Kalau sudah kena targetnya bisa dipantulkan kembali dengan membawa informasi. Tapi tergantung dari jenis bendanya. Kita bisa dapat informasi yang sangat detil.
Radar yang saya buat untuk pemetaan atau penginderaan jarak jauh, untuk mencitrakan permukaan bumi atau juga planet. Kalau radar biasa untuk observasi pesawat dan penghasilkan titik saja. Kalau degan menggunakan radar saya bisa dimapping permukaan, bahkan bentuk pesawatnya bisa terlihat jelas bentuknya. Bisa tahu, jenis pesawat dan jumlahnya.
Tapi radar saya ini kegunaan utamanya untuk mapping permukaan. Kalau menggunakan kamera, hanya untuk permukaan bumi datar saja. Kalau dengan radar ini informasi yang dihasilkan bisa sampai menembus permukaan bumi. Di bawah permukaan bumi seperti sungai bawah tanah bisa dimapping.
Berapa lama membuat radar ini?
Mulai dikembangkan sejak tahun 2005, lalu dengan serius dibuat 2007. Saya mulai saya buat panitia persiapan pembangunan Microsatellite. Sejak itu, saya mulai promosi dan mencari sendiri data untuk kembangkan satelit itu. Saya ingin membuat sesuatu tanpa banyak bantuan orang lain.
Saya dapat dari fanding bukan minta-minta, tapi saya berikan bantuan ke orang lain dan orang lain berikan sesuatu ke saya. Seperti bantu desai radar sampai membuatnya.
Di Jepang Anda juga punya lembaga riset…
Iya, Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL) atau Josaphat Laboratory. Ini lembaga penelitian saya.
Sejak diangkat menjadi Associate Professor di Center for Environmental Remote Sensing (CEReS), Chiba University pada tanggal 1 April 2005, yang terpikir dalam diri saya adalah bagaimana membangun pusat penelitian terlengkap, setidaknya di Jepang untuk bidang microwave remote sensing.
CEReS adalah pusat penelitian di bidang penginderaan jarak jauh atau remote sensing di bawah langsung Kementerian Pendidikan dan Teknologi (MEXT) atau Monbukagakusho Jepang yang berada dalam Chiba University.
Sehingga saat mendapat surat pengangkatan sebagai Associate Professor langsung mendapatkan nomor pegawai negeri Jepang di bawah Monbukagakusho (MEXT). Saat itu yang terlintas di kepala saya, tahun 1999 lepas PNS Indonesia dan sekarang malah dihargai oleh negara asing menjadi PNS negara lain.
Saat diangkat sebagai staff pengajar, saya hanya mendapatkan satu kamar staff dan satu kamar mahasiswa di lantai 2 gedung CEReS. Ruang ini merupakan cikal bakal dari Josaphat Microwave Remote SensingLaboratory (JMRSL) atau Josaphat Laboratory.
Setelah diangkat menjadi Associate Professor pada 1 April 2005, bermodalkan pengetahuan SAR sensor dan image signal processing, GPR, hamburan gelombang mikro berikut penerapannya dan teknologi antenna, maka lengkap seluruh ilmu di kepala saya sebagai modal untuk membangun radar sendiri.
Maka pada tahun 2005-2006 saya mengusulkan Circularly Polarized Synthetic Aperture Radar (CP-SAR). Kemudian mendapatkan dana untuk Research Grant Aid (Kakenhi) Young Scientist (A), yaitu dana riset terbesar untuk peneliti muda yang berumur di bawah 40 tahun.
Saya coba bangun fasilitas dan CP-SAR sistem untuk pesawat. Kemudian tahun 2009 saya bersama Prof Nishio Fumihiko coba mengusulkan bantuan teknologi ke Pemerintah Malaysia dalam bentuk CP-SAR onboard UAV, dan diterima untuk mengembangkan sistem ini dan tahun 2015 nanti teknologi ini akan diserahkan ke pemerintah Malaysia untuk monitoring semenanjung Malaya dan Sabah menggunakan L band SAR.
Berapa dana yang Anda keluarkan di proses riset ini?
Kalau untuk membangun lembaga riset, sampai saat ini sudah dikeluarkan dana 1 miliar dolar Amerika Serikat.
Apakah ada bantuan dari pemerintah Jepang?
Pada akhirnya dibantu oleh pemerintah Jepang. Dari Taiwan da Korea Selatan juga membantu. Perusahaan swasta di Jepang juga sangat membantu.
Apakah mudah mendapatkan dana segar untuk riset di Jepang? Di Indonesia sangat sulit…
Mungkin ini tergantung kepercayaan dari orang-orang. Awalnya sangat sulit. Selama 5 tahun masa sulit untuk mencari dana. Akhirnya setelah itu bisa saya bangun lab sendiri untuk bangun penelitian.
Bahkan Anda diincar NASA (AS), JAXA (Jepang), ESA (Eropa), dan KARI (Korea Selatan) untuk merekrut Anda. Apa betul?
Kalau untuk NASA dan Seoul University kerjasamanya untuk membuat radar microsatellite untuk observasi di bulan dan Mars.
Apakah ciptaan Anda ini sudah dimanfaatkan Indonesia?
Radar saya ini akan dipasang di satelit LAPAN A-5, ini bagian dari cita-cita saya untuk Indonesia. Ini seri tanah air untuk Indonesia. Radar ini untuk observasi tanah dan air. Radar ini digunakan untuk pemantauan illegal fishing dan memantau perdagangan manusia di lintas batas.
Sebab gambar yang dihasilkan sangat detil sekali. Bahkan bisa menggambarkan objek di bawah pohon dan beroperasi di saat malam.
Anda memberitakan cuma-cuma untuk Indonesia?
Iya cuma-cuma, saya sendiri yang biayai. Saya membuatkan sistemnya saja.
Pembuatan 1 unit radar ini berapa lama dan berapa biayanya?
Kira-kira 1 sampai 2 tahun membuatnya, karena kita sudah punya teknologinya.
Kapan diluncurkan?
2019 atau 2020.
Selama ini Anda bekerja di Jepang. Kenapa tidak mengabdi di Indonesia?
Tahun 1997 itu saya membawa ide ini ke Indonesia. Tapi waktu itu ekonomi kurang baik, dukungan dari atasan kurang. Dulu apa sih saya ini, usia 27 tahun saat itu dianggap apa. Jadi tidak diterima. Sebab untuk bangun teknologi ini harus banyak dukungan.
Selain itu saya perlu fasilitas-fasilitas dan dukungan komponen. Banyak komponen yang sensitive, nggak bisa keluar dari negara ‘putih’ atau white country. Indonesia ini grey country. Kalau dikembangkan di Indonesia, komponen sensitive nggak bisa didapatkan di sini. Komponen itu biasa dipakai untuk militer.
Banyak juga ilmuan Indonesia yang tidak didukung oleh Indonesia…
Saya ingin juga berkarir di Indonesia. Tapi saya harus siapkan dulu secara politik dan prosedural. Saya ingin sekali kembangkan di Solo.
Sejauh mana peneliti di Jepang bisa leluasa mengembangkan riset yang nantinya hasil temuan itu bisa dipakai di pasar umum?
Nggak semua peneliti di Jepang bisa dapat akses dukungan yang mudah. Paling hanya 1-2 persen. Jadi sama sulitnya. Tidak semua peneliti bisa melakukan riset teknologi tinggi. Sama susahnya dapat dana penelitian.
Kalau di Indonesia banyak sekali potensi dukungan riset, dari swasta dan pemerintah. Sekarang ada 15 orang Indonesia di lab saya, dari LAPAN.
Ini masalah trust saja. Dan tanggungjawab peneliti dari apa yang sudah dipercayakan.
Kebijakan riset di Indonesia jangan berubah-berubah.
Biografi lengkap Josh
Josaphat Tetuko Sri Sumantyo tahun 1970. Dia menerima gelar B. Eng dan M.Eng di Fakultas Teknik Elektro dan Komputer Universitas Kanazawa, Jepang pada tahun 1995 dan 1997. Gelar doktor Ph.D dia raih di Chiba University, Jepang pada tahun 2002. Dari tahun 1990 hingga 1999, Josh peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta.