Josaphat Tetuko: Diincar Dunia karena Ciptakan Microsatellite

Senin, 23 Januari 2017 | 07:00 WIB
Josaphat Tetuko: Diincar Dunia karena Ciptakan Microsatellite
Profesor Josaphat Tetuko Sri Sumantyo. (dok pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Di Jepang Anda juga punya lembaga riset…

Iya, Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL) atau Josaphat Laboratory. Ini lembaga penelitian saya.

Sejak diangkat menjadi Associate Professor di Center for Environmental Remote Sensing (CEReS), Chiba University pada tanggal 1 April 2005, yang terpikir dalam diri saya adalah bagaimana membangun pusat penelitian terlengkap, setidaknya di Jepang untuk bidang microwave remote sensing.

CEReS adalah pusat penelitian di bidang penginderaan jarak jauh atau remote sensing di bawah langsung Kementerian Pendidikan dan Teknologi (MEXT) atau Monbukagakusho Jepang yang berada dalam Chiba University.

Sehingga saat mendapat surat pengangkatan sebagai Associate Professor langsung mendapatkan nomor pegawai negeri Jepang di bawah Monbukagakusho (MEXT). Saat itu yang terlintas di kepala saya, tahun 1999 lepas PNS Indonesia dan sekarang malah dihargai oleh negara asing menjadi PNS negara lain.

Saat diangkat sebagai staff pengajar, saya hanya mendapatkan satu kamar staff dan satu kamar mahasiswa di lantai 2 gedung CEReS. Ruang ini merupakan cikal bakal dari Josaphat Microwave Remote SensingLaboratory (JMRSL) atau Josaphat Laboratory.

Setelah diangkat menjadi Associate Professor pada 1 April 2005, bermodalkan pengetahuan SAR sensor dan image signal processing, GPR, hamburan gelombang mikro berikut penerapannya dan teknologi antenna, maka lengkap seluruh ilmu di kepala saya sebagai modal untuk membangun radar sendiri.

Maka pada tahun 2005-2006 saya mengusulkan Circularly Polarized Synthetic Aperture Radar (CP-SAR). Kemudian mendapatkan dana untuk Research Grant Aid (Kakenhi) Young Scientist (A), yaitu dana riset terbesar untuk peneliti muda yang berumur di bawah 40 tahun.

Saya coba bangun fasilitas dan CP-SAR sistem untuk pesawat. Kemudian tahun 2009 saya bersama Prof Nishio Fumihiko coba mengusulkan bantuan teknologi ke Pemerintah Malaysia dalam bentuk CP-SAR onboard UAV, dan diterima untuk mengembangkan sistem ini dan tahun 2015 nanti teknologi ini akan diserahkan ke pemerintah Malaysia untuk monitoring semenanjung Malaya dan Sabah menggunakan L band SAR.

Berapa dana yang Anda keluarkan di proses riset ini?

Kalau untuk membangun lembaga riset, sampai saat ini sudah dikeluarkan dana 1 miliar dolar Amerika Serikat.

Apakah ada bantuan dari pemerintah Jepang?

Pada akhirnya dibantu oleh pemerintah Jepang. Dari Taiwan da Korea Selatan juga membantu. Perusahaan swasta di Jepang juga sangat membantu.

Apakah mudah mendapatkan dana segar untuk riset di Jepang? Di Indonesia sangat sulit…

Mungkin ini tergantung kepercayaan dari orang-orang. Awalnya sangat sulit. Selama 5 tahun masa sulit untuk mencari dana. Akhirnya setelah itu bisa saya bangun lab sendiri untuk bangun penelitian.

Bahkan Anda diincar NASA (AS), JAXA (Jepang), ESA (Eropa), dan KARI (Korea Selatan) untuk merekrut Anda. Apa betul?

Kalau untuk NASA dan Seoul University kerjasamanya untuk membuat radar microsatellite untuk observasi di bulan dan Mars.

Apakah ciptaan Anda ini sudah dimanfaatkan Indonesia?

Radar saya ini akan dipasang di satelit LAPAN A-5, ini bagian dari cita-cita saya untuk Indonesia. Ini seri tanah air untuk Indonesia. Radar ini untuk observasi tanah dan air. Radar ini digunakan untuk pemantauan illegal fishing dan memantau perdagangan manusia di lintas batas.

Sebab gambar yang dihasilkan sangat detil sekali. Bahkan bisa menggambarkan objek di bawah pohon dan beroperasi di saat malam.

Anda memberitakan cuma-cuma untuk Indonesia?

Iya cuma-cuma, saya sendiri yang biayai. Saya membuatkan sistemnya saja.

Pembuatan 1 unit radar ini berapa lama dan berapa biayanya?

Kira-kira 1 sampai 2 tahun membuatnya, karena kita sudah punya teknologinya.

Kapan diluncurkan?

2019 atau 2020.

Selama ini Anda bekerja di Jepang. Kenapa tidak mengabdi di Indonesia?

Tahun 1997 itu saya membawa ide ini ke Indonesia. Tapi waktu itu ekonomi kurang baik, dukungan dari atasan kurang. Dulu apa sih saya ini, usia 27 tahun saat itu dianggap apa. Jadi tidak diterima. Sebab untuk bangun teknologi ini harus banyak dukungan.

Selain itu saya perlu fasilitas-fasilitas dan dukungan komponen. Banyak komponen yang sensitive, nggak bisa keluar dari negara ‘putih’ atau white country. Indonesia ini grey country. Kalau dikembangkan di Indonesia, komponen sensitive nggak bisa didapatkan di sini. Komponen itu biasa dipakai untuk militer.

Banyak juga ilmuan Indonesia yang tidak didukung oleh Indonesia…

Saya ingin juga berkarir di Indonesia. Tapi saya harus siapkan dulu secara politik dan prosedural. Saya ingin sekali kembangkan di Solo.

Sejauh mana peneliti di Jepang bisa leluasa mengembangkan riset yang nantinya hasil temuan itu bisa dipakai di pasar umum?

Nggak semua peneliti di Jepang bisa dapat akses dukungan yang mudah. Paling hanya 1-2 persen. Jadi sama sulitnya. Tidak semua peneliti bisa melakukan riset teknologi tinggi. Sama susahnya dapat dana penelitian.

Kalau di Indonesia banyak sekali potensi dukungan riset, dari swasta dan pemerintah. Sekarang ada 15 orang Indonesia di lab saya, dari LAPAN.

Ini masalah trust saja. Dan tanggungjawab peneliti dari apa yang sudah dipercayakan.

Kebijakan riset di Indonesia jangan berubah-berubah.

Biografi lengkap Josh

Josaphat Tetuko Sri Sumantyo tahun 1970. Dia menerima gelar B. Eng dan M.Eng di Fakultas Teknik Elektro dan Komputer Universitas Kanazawa, Jepang pada tahun 1995 dan 1997. Gelar doktor Ph.D dia raih di Chiba University, Jepang pada tahun 2002. Dari tahun 1990 hingga 1999, Josh peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI