Suara.com - Maraknya informasi bohong atau hoax, alias fake news membuat Presiden Joko Widodo bicara ‘keras’. Bahkan pemerintah mulai bergerak memblokir situs-situs yang dinilai radikal, sampai berencana membentuk badan khusus untuk mengawasi dunia siber.
Sebenarnya, hoax sudah lama ada sebelum media sosial marak di Indonesia sekitar tahun 2008. Namun kemunculan Facebook dan Twitter membuat informasi bohong mudah menyebar dan menjadi perhatian publik atau viral. Ditambah perilaku jurnalisme cyber menyebarkan informasi itu tanpa proses konfirmasi yang kuat.
Pakar sekaligus peneliti teknologi komunikasi dan informasi atau Information and Communication Technology (ICT), Donny Budi Utoyo pun memandang serius hoax yang sudah semakin parah. Namun menurut dia itu bagian dari fenomena kecil di jagad media.
Donny yang sejak tahun 1999 mendalami ICT menilai permasalahan utama munculnya informasi palsu sampai meresahkan publik adalah kurangnya pendidikan internet di kalangan masyarakat. Pemerintah Indonesia sudah menyadari ini, namun belum bergerak serius.
Ditemui suara.com di kawasan Bekasi, Jawa Barat pekan lalu, mantan jurnalis teknologi ini banyak cerita alasan pemerintah belum bergerak serius. Donny banyak memberikan masukan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika di bidang ICT.
Dia juga cerita perbandingan negara-negara maju yang berhasil mengatasi gagap teknologi yang menyebabkan hoax subur. Dia menilai hoax sudah menjadi industri di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Seperti apa industri ini? Berikut perbincangan Suara.com dengan Donny BU berikut ini:
Informasi hoax menjadi sorotan, bahkan muncul gerakan anti hoax di Indonesia. Bisa Anda cerita sejak kapan fenomena hoax ini muncul di media sosial?
Sebenarnya informasi hoax sudah lama ada sebelum ada sosial media. Misal dulu ada batu milik Ponari yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Di isu kesehatan pernah ada isu obat atau vaksin yang menyebabkan autis.
Informasi itu ada di tengah masyarakat. Hoax biasanya berhubungan dengan hal dekat dengan kita sehari-hari. Terkait masalah kesehatan, keamanan, ekonomi, dan sebagainya. Hanya saja saat ini lebih seru karena ada internet. Informasinya bisa cepat viral.
Sebenarnya informasi lebih cepat viral itu ada dua efek. Informasi itu bisa cepat berkembang dan cepat matinya. Informasi hoax bisa cepat mati karena orang bosan dan seseorang mudah untuk menangkalnya. Misalnya informasi air bisa jadi bahan bakar dan manusia robot atau Iron Man di Bali.
Jadi informasi hoax ini akan cepat turun jika masyarakatnya bergerak. Tapi kalau masyarakatnya tidak gerak, maka yang terjadi informasi ini akan terus jalan.
Karena terus ‘disundul’ oleh orang-orang yang membenarkan informasi hoax itu. Jadi sebenarnya yang menjadi masalah, bukan si pembuatnya. Namun banyak orang baik yang sudah pada tahu tapi diam dan tak mau ambil pusing.
Jadi kondisinya jadi seperti ini bukan saja karena hoax ini menjadi industri dan semakin banyak orang membuat berita palsu, tapi banyak orang yang baik, ngerti dan paham tidak melakukan apapun. Yang membuat berita paling hanya 2 pihak, namun yang menyebarkan puluhan.
Kalau dulu kan berita hoax apa yang terjadi masyarakat dan tidak sengaja di konstruksi informasi itu benar. Kalau saat ini berita hoax sudah dikonstruksi atau sengaja dibuat. Sehingga saat ini sudah bicara soal agama, pondasi bangsa, indikasi mendorong makar, dan sudah mulai gawat. Sementara masyarakatnya belum punya sensitivitas untuk mencari tahu kebenarannya.
Apakah kemunculan informasi hoax hanya jadi tren sementara, namun nanti hilang dengan sendirinya?
Iya. Karena keluarnya informasi itu hanya muncul untuk kaitan tertentu. Misal goal dari informasi itu untuk Pilkada. Jadi untuk memenangkan kelompok tertentu. Jadi yang disebarkan adalah kampanye hitam dan menjelek-jelekan pihak tertentu.
Misal kasus Ahok dari sisi penodaan agama, HAM, dan sifat Ahok. Isu ini terus digoreng. Lalu untuk menyerang Joko Widodo dihembuskan informasi kedatangan tenaga kerja Cina sampai isu keturunan PKI. Isu itu sengaja dimunculkan, dan kalau tren-nya sudah tidak ada akan hilang sendiri.
Anda menyebut sebaran informasi hoax ini sudah jadi industri. Bagaimana pola industri hoax ini berjalan?
Bisa dilihat saat pertarungan antara calon presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Hillary Clinton. Ada dugaan Rusia melakukan peretasan dan mempengaruhi hasil pemilu. Tapi sebenarnya yang di-hack bukan sistem pemilunya, tapi komunikasi privatnya Clinton. Lalu kelihatan semua pembicaraan Clinton yang publik nggak tahu.
Informasi hasil retasan itu diambil dan dilempar ke luar. Yang menangkap informasi itu salah satunya adalah kelompok-kelompok yang tidak ada hubungannya dengan Amerika Serikat, tidak tinggal di AS, dan bukan warga AS. Mereka menjadikan itu industri.
Misalnya ada mahasiswa di Negara Balkan (Eropa) membuat puluhan situs yang pro Trump. Mereka membuat berita dalam bahasa Inggris dan hoax menjelekan Clinton. Mereka promosikan di berbagai kanal. Ketika banyak orang klik berita itu, mereka dapat uang dari Google AdSense. Mereka dapat perhari sekitar 1.000 dolar AS.
Jadi secara global, tren fake news sebagai industri bisa dilakukan seperti itu. Dan itu bisa dilakukan oleh siapapun dan di mana pun.
Jadi apakah industri itu baru dugaan? Tidak, itu nyata.
Berapa jumlah industri hoax di Indonesia?
Banyak, tapi jumlahnya tidak tercatat. Di Indonesia industri hoax ada yang untuk cari uang dan ada juga yang beraliansi ke politik. Misalnya beberapa situs yang bawa nama Islam lalu diblokir, itu bisa jadi tidak cari uang.
Sebenarnya sebelum ramai pencapresan di 2014, lalu fake news dan menjadi industri, jumlah blogger Indonesia banyak, jumlah pengguna Facebook juga banyak. Dari dulu, para blogger diinformasikan bisa mencari uang dari menulis.
Mereka sudah mempunyai kemampuan berinformasi, cara mempromosikannya, mereka tahu jika pasang google Adsense bisa dapat uang, tapi mereka kelimpungan dan nggak siap menulis konten yang baik. Sebagian mereka mencari uang dengan asal paste dan masukan keyword tertentu agar muncul di Google dan diklik.
Jadi kalau ditanya, ada berapa orang yang berpotensi membuat fake news? Banyak banget. Makanya berapa banyak situs yang diblokir, sementara banyak situs baru yang bermunculan. Sehingga orang-orang ini kemungkinan kemudian diajak bicara oleh yang punya uang. Mereka diberikan modal, misalnya dibelikan hosting dan dibayar untuk menulis tentang hal-hal tertentu.
Di Facebook sering muncul postingan yang meminta "Like" begitu banyak. Informasinya ini menjadi ladang bisnis. Bisa Anda jelaskan bagaimana teknis "Like" di Facebook bisa menguntungkan?
Itu yang namanya selectism. Analoginya begini, secara umum kita sudah merasa membantu dengan men-share sebuah informasi. Orang Indonesia sifatnya banyak yang ingin membantu. Sementara di sosial media, selemah-lemahnya iman untuk membantu adalah men-share.
Spiritnya memang membantu, tapi ingin dipahami oleh mereka yang mengkontruksi gagasan itu. Tapi informasi itu disisipi tujuan tertentu dengan iming-imingi rasa nasionalisme dan agama. Hal ini dimanfaatkan oleh industri hoax.
Tahun 2000 saya sudah menulis, bahwa nantinya belajar tentang agama akan banyak didapat di internet, terutama blog. Dulu ada myquran.com yang menyediakan forum, orang bertanya dan langsung mendapatkan jawaban tentang agama.
Ke depan dakwah dan orang belajar tentang Islam akan melalui internet dan kejadian saat ini. Tapi berapa banyak pendakwah yang benar dan menggunakan sosial media? Berapa banyak pendakwah yang benar dan tidak menggunakan sosial media? Jadi ini bicara perimbangan yang menggunakan media sosial. Orang yang baik memang lebih banyak, tapi kebanyakan diam.
Apakah semakin mendapatkan “Like” di Facebook, pemilik akun itu akan mendapat uang?
Facebook itu hanya etalase, penggunanya harus kumpulkan banyak orang. Orang itu posting sebuah link di sana untuk dibaca orang. Sehingga orang itu akan mendapatkan uang dari artikel yang diklik itu. Kembali ke Google Adsense. Selain itu, ada iklan yang sengaja dipasang dalam postingan Facebook itu. Si pengiklan yang bayar si pemilik akun.
Sosial media seperti Friendster, Facebook dan Twitter mulai muncul sekitar tahun 2007-2008. Apakah saat itu ada prediksi sosial media akan dipenuhi informasi hoax?
Iya, sudah banyak. Tapi efeknya tidak separah seperti sekarang. Dulu yang pakai sosial media sangat sedikit. Sebab harga ponsel masih mahal, internet masih mahal, infrastruktur jaringan internet masih jarang. Sekarang ponsel sudah murah, internet makin cepat dan keterjangkauan sosial media makin dekat.
Dewan Pers akan memberikan barcode atau tanda khusus kepada media yang sudah terverifikasi. Menurut Anda apakah ini efektif?
Niat itu baik dan perlu didukung. Mereka akan melakukan register dan verifikasi. Gagasannya bagus, kalau publik ingin berita yang benar, maka lihat dulu media itu ada penandanya atau tidak. Media yang tidak terdaftar, tidak dijamin medianya itu benar. Sehingga muncul konstruksi, bahwa media yang tidak mempunyai tanda itu kemungkinan beritanya hoax.
Tapi jangan-jangan setelah aturan registrasi dan verifikasi, media itu harus mempunyai lisensi. Jika itu terjadi, maka akan kembali ke zaman orde baru yang mengharuskan media mempunyai SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan).
Saya bilang, ini harus hati-hati. Jangan-jangan nanti Dewan Pers meminta lisensi. Tapi untuk saat ini Dewan Pers yang diduduki Nezar Patria dan Stanley bilang tidak mungkin balik ke zaman orde baru. Tapi masalahnya syaratnya sudah dua terpenuhi, register dan verified, selain itu nggak dijamin.
Ini harus hati-hati mudah tergelincir. Kalau orang-orang seperti Nezar Patria atau Stanley sudah tidak di sana bagaimana? Jangan sampai penanganan seperti ini jadi top down. Saya belum mendengar usaha dari Dewan Pers dan Kominfo bergerak di sisi hulu, seperti literasi digital. Apa sih berita yang kredible? Yah harus dilihat informasi awal dan kredible.
Anda melihat pemberian label di media ini tidak efektif…
Mundur sih nggak, teknologi maju terus. Hanya saja cara berpikirnya yang tidak selaras dengan kecepatan teknologinya. Kenapa tidak kita bikin kampanye bersama di Facebook dan Twitter. Beri Twitter dan Facebook diskon pajak 80 persen. Tapi pasang iklan hoax semasiv mungkin, itu misalnya.
Kemudin upaya di hilir tadi harus berbarengan dengan upaya di hulu dengan mencerdaskan masyarakat dan membentuk kritis membaca informasi. Presiden Joko Widodo harus panggil Menkominfo dan Menteri Pendidikan.
Dibuat kurikulum tentang teknologi informasi, bukan kurikulum cara pakai komputer. Tapi bagaimana mereka bisa aman di internet. Sekarang pemerinth lebih sibuk di hilir. Jangan-jangan nanti berita hoax-nya akan lebih canggih lagi.
Negara juga akan membentuk Badan Siber Nasional untuk mengatasi hoax. Sejauhmana badan ini bisa berhasil? Apa masukan Anda untuk konsep badan ini?
Badan Siber Nasional penting. Badan ini akan masuk di bawah Lemsaneg. Penting untuk menjaga infrastruktur IT di Indonesia. Tapi kalau badan ini untuk melawan hoax, yah terlalu ecek-ecek. Tapi nggak apa-apa, mungkin nanti akan berkembang. Jadi hoax akan menjadi salah satu tujuan kerja mereka. Tapi yang lebih besar adalah membangun infrastruktur teknologi informasi Indonesia.
Jangan-jangan badan ini akan menjadi tukang blokir…
Itu dia yang harus kita kawal bareng. Sekarang di UU ITE sudah masuk pasal 40 tentang pemerintah bisa putuskan akses. Pertanyaannya, yang belum beres dibahasa adalah bagaimana prosedur pemutusan akses itu.
Sebenarnya ada aturan menteri tentang penanganan konten negatif, atau Permen Blokir. Permen itu dirilis pada zamannya Tiffatul Sembiring yang dinilai masih perlu disempurnakan. Terkait tentang prosedur yang transpran, akuntabel dan professional. Jika perlu harus lewat pengadilan untuk kasus-kasus tertentu. Saya pernah ngobrol sama Kominfo, katanya Permen ini jadi prioritas untuk direvisi. Jadi jangan semena-mena pemerintah memblokir.
Bagaimana perbandingan negara lain seperti di Eropa, Australia atau di Amerika untuk mengatasi persoalan keamanan internet?
Kalau di negara maju, fake news itu juga jadi ancaman. Tapi masyarakatnya tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya teknologi. Di Indonesia, sebelum tahun 1998 belum bisa bicara apa-apa. Begitu ‘keran’ berpendapat dibuka pasca1998, ini bablas. Mereka yang tidak biasa berdebat dan menyaring informasi.
Tahun 1999-2000 internet mulai ramai di Indonesia, jadi ada gegar teknologi. Negara maju, ngaconya sama. Tapi masyarakatnya termasuk lebih nature terhadap teknologi. Di Amerika sudah banyak edukasi tentang internet sudah ada.
Bahkan Amerika mengatur penggunaan internet untuk melindungi anak. Jadi sejak kecil sudah dibangun kultur pakai internet. Jadi bukan bicara soal internet siap atau tidak siap, tapi ini soal masyarakatnya harus lebih siap. Banyak yang bicara soal literasi digital, tapi tidak ada yang mengerjakan.
Tahun 2016, survei Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) mencatat 132 juta orang Indonesia adalah pengguna Intenet. Naik 50 persen di banding 2014. Bagaimana mendidik mereka agar Bisa menggunakan internet dengan cerdas dan aman?
Yang harus dilakukan intervensi masuk ke kurikulum. Kurikulum sekolah itu kan investasi. Investasi cara berpikir, nalar dan akal budi kan investasi. Tapi kata Kemendikbud, nggak mudah mengubah kurikulum. Saya sudah bilang dengan Anies Baswedan dan Mendikbud sekarang. Bahkan Mendikud Muhajir mengatakan penting kurikulum.
Apa yang dimasukan ke dalam kurikulum itu?
Di era teknologi saat ini, murid harus diberikan pilihan. Memperlakukan siswa untuk memandang teknologi dengan berpikir kritis. Tidak bisa mendoktrin kebenaran yang tunggal. Literasi digital adalah kemampuan anak untuk memilah dan memilih informasi menggunakan ICT. Bukan bicara soal bagaimana bisa pakai komputer.
Di Internet Sehat, kami sedang menerjemahkan buku literasi digital yang dipakai di Uni Eropa. Buku itu untuk guru dan murid. Buku itu gratis, dan tanpa harus bayar. Jadi bisa dipakai siapa saja. Saya ingin tunjukan ke Mendikbud. Buku itu sudah lama di UN dan banyak diadopsi negara lain. Judul bukunya ‘Web We Want’.
Selain kurikulum, lewat mana lagi pendidikan literasi media bisa dilakukan?
ICT Wacth bersama Wacthdoc akan merilis film dokumenter ‘Lenteramaya’. Film ini mengisahkan tantangan merawat demokrasi dan toleransi di internet. Selain menjadi catatan sejarah tentang pergulatan antara para penyampai kebijakan dan toleransi versus penyebar hoax dan radilalisme di dunia maya.
Film dokumenter ini diharapkan juga menjadi pengingat dan penyemangat bagi netizen Indonesia untuk berupaya merawat toleransi di Indonesia.
Jadi kami mendorong masyarakatnya yang berdiskusi, jadi mereka mendiskusikan masalah internet ini di kalangan mereka. Sehingga dengan sendirinya membentuk anti-body dan sel sendiri. Jadi jangan sampai pertempuran hoax antar orang di sosial media. Akun A bicara begini, lalu akun B bicara begini. Itu tidak akan selesai. Kan yang menyebarkan informasi hoax juga unlimited jumlahnya.
Makanya kami terpikir, yah tidak apa-apa kalau ada komunitas anti hoax dan sebagainya. Tapi kita bikin proses imunisasi dengan cara seperti itu. Itu kita buat sejak 6 tahun lalu. Tiap tahun selalu ada isu dan buat dokumenter.
Dokumenter itu tentang isu-isu internet. Tahun lalu kita buat tentang internet masuk desa, bagaimana desa berdaya dengan ICT. Sebab tahun lalu ada isu tentang dana desa. Makanya kita buat film dokumenter, bagaimana mereka bisa pakai ICT.
Profil singkat Donny Budi Utoyo
Donny Budi Utoyo atau yang biasa disapa DBU merupakan Direktur Eksekutif ICT Watch, sebuah lembaga yang banyak bekerja di bidang literasi kegiatan dunia maya atau intenet. DBU salah satu pelopor gerakan Internet Sehat di Indonesia. Lulusan Computer Engineering di Universitas Gunadarma, Jakarta itu memang pakar di dunia maya. DBU pernah berkarir menjadi jurnalis teknologi dan membesarkan sebuah media cyber.
Sejak tahun 2000, Donny sudah mulai terlibat dalam aktivitas literasi internet sebagai penyiar radio dan kolumnis di tengah kesibukannya sebagai jurnalis media online. Saat ini lelaki lulusan master Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia itu menjadi pengajar di beberapa universitas.
Hingga kini Donny pun aktif menjadi peneliti di Citizen Lab, Universitas Toronto. Dia merupakan inisiator beberapa pertemuan teknologi informasi tingkat internasional. Di antaranya Rights Con Southeast Asia, Manila (2015), Indonesia CSOs Network for Internet Governance, Jakarta (2012), Southeast Asia Freedom of Expression Network, Jakarta (2013), Indonesia Secretariat, IGF XII, Bali (2012 –2013), dan Indonesia Internet Governance Forum, Jakarta (2012). Donny aktif memberikan pemikiran dan masukan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di bidang teknologi informasi, terutama media sosial dan internet.